Selasa 12 Apr 2016 06:00 WIB

Tamu Itu Jenderal Polisi

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 31 Maret 2016 sore di rumah Nogotirto Elok 2, dengan didampingi oleh dua aktivis Muhammadiyah, saya kedatangan tamu penting: para jenderal polisi. Hampir 90 menit kami berbincang tentang berbagai masalah bangsa, seperti Densus 88, hubungan polisi dan tentara, serta masalah kematian Siyono.

Di antara yang bertamu itu adalah Komjen Polisi Dr Tito Karnavian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru Brigjen Polisi Eddy Hartono, Kepala Densus 88 Brigjen Pol (Purn) Suya Dharma, mantan kadensus, dan beberapa perwira menengah polisi lainnya, umumnya dari divisi reserse.

Di antara jenderal polisi yang paling lama saya kenal adalah Surya Dharma yang telah menangani masalah terorisme selama bertahun-tahun, termasuk nyaris mengorbankan nyawanya pada suatu peristiwa di Palembang. Dengan Tito sudah agak lama juga kenal, tetapi jarang berjumpa.

Adapun dengan Eddy sebagai kadensus 88, baru sore itu saya berkenalan. Ini SMS Eddy yang saya terima, “Ass.Wr.Wb..Mhn maaf sebelumnya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, apabila berkenan kami ingin bersilaturahmi dengan Prof sore ini di kediaman Prof, rencana kami bersama Kepala BNPT, Pak Surya Dharma, demikian Prof terima kasih (Eddy Hartono).”

Rasanya, saya terlalu dihormati oleh kadensus ini, padahal guru besar itu sudah pada posisi emeritus (profesor pensiun) yang sudah tidak betah-betah lagi mengajar karena cabang perhatiannya sudah menjadi liar ke mana-mana, tidak fokus lagi. Dalam usia yang sudah senja ini, tentu saya bersyukur didatangi oleh pejabat-pejabat penting. Sebab, dua hari kemudian mereka berkunjung pula ke rumah Ketua DPD RI Irman Gusman bersama stafnya.

Sebagai pejabat penting, mereka tentu dikawal mobil polisi yang memang bertugas untuk itu. Biasanya, masyarakat sekitar sudah paham akan ke mana para tamu itu bergerak sebab sudah berkali-kali berlaku. Kadang-kadang para tamu meninggalkan suatu titipan untuk saya, tetapi tidak pernah mengubah sikap saya sebagai seorang sepuh yang merdeka. Mereka tampaknya sangat mengerti pendirian saya itu.

Pembicaraan dibuka oleh Komjen Tito tentang maksud kunjungan, yaitu meminta masukan dan saran untuk kinerja Polri, khususnya dalam menangani masalah terorisme yang sudah cukup lama menggelisahkan masyarakat luas. Para jenderal ini tampaknya sudah kenal sikap saya berhadapan dengan para teroris sebagai penganut teologi maut: “Berani mati karena tidak berani hidup” sebagaimana telah sering dikutip oleh Republika sejak 10 tahun yang lalu.

Sekalipun menganut teologi maut, penangkapan terhadap tersangka teroris tidak boleh semena-mena, harus melalui prosedur hukum yang benar dan manusiawi. Pendekatan semacam inilah yang kadang-kadang dipertanyakan publik terhadap kerja Densus 88.

Bahwa terorisme adalah musuh kemanusiaan, kita harus sepakati, apalagi jika itu membawa bendera Islam. Bahwa merebaknya terorisme sejak 2001 tidak bisa dipisahkan dari politik luar negeri Amerika Serikat yang neoimperialistik, juga tidak bisa dikesampingkan. Saya sudah lebih dari sekali menulis tentang fenomena ini.

Pada saat giliran saya bertanya kepada Komjen Tito menyangkut kelompok Santoso di Poso yang belum berhasil dipatahkan selama 17 tahun, jawaban yang diberikan perlu dicatat. Tito mengakui bahwa sejak berpisahnya polisi dengan ABRI pada 1998, kemampuan tempur Brimob untuk “bermain” di pegunungan memang sudah melemah, sekalipun untuk kawasan perkotaan, mereka masih tangguh. Ungkapan “bermain” saya kutip dari Tito, karena enak didengar, sekalipun berurusan dengan maut bagi mereka yang sedang saling berhadapan.

Menurut Tito, kemampuan tempur para teroris itu jangan dipandang enteng karena mereka terus belajar bagaimana berhadapan dengan aparat keamanan. “TNI," ujar Tito, “Sangat terlatih untuk bertempur di kawasan pegunungan, seperti di Papua dan Poso.”

Itulah sebabnya mengapa Polri perlu dibantu TNI untuk “menaklukkan” musuh di pegunungan, sekalipun mereka sesungguhnya adalah saudara kita sendiri yang merasa benar di jalan yang sesat.

Banyak catatan lain yang bisa diturunkan sebagai hasil pembicaraan dengan para jenderal polisi itu, tetapi tentu tidak semua bisa dikatakan di sini. Sore itu saya kutip kembali penegasan Surya Dharma yang disampaikan kepada saya beberapa tahun yang lalu.

”Selama keadilan sosial tidak menjadi kenyataan di Indonesia, terbunuhnya seorang teroris bisa melahirkan 1.000 teroris lainnya.” Peringatan Surya Dharma patut benar diperhatikan oleh negara kita secara sungguh-sungguh. Tentu, faktor eksternal juga turut bermain bagi kambuhnya terorisme di Indonesia.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement