Kamis 21 Apr 2016 06:00 WIB

Tunisia; Antara Demokrasi dan Terorisme

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Memasuki Orient Hotel, di kota Sousse (Arab, Susa), di pesisir timur laut Tunisia, siang yang sejuk (11/4/16) yang terlihat hanyalah kelengangan dan kesepian. Hampir tidak terlihat tamu hotel dan pegawai yang lalu lalang. Lapangan parkiran kendaraan nyaris kosong; hanya  beberapa mobil terparkir di depan hotel.

Itulah akibat aksi terorisme di Sousse, kota pariwisata terkenal di pantai Laut Tengah. 28 Juni 2015, Saifeddine Rezqui (23) yang menyembunyikan senapan Kalashnikov dan granat di dalam payung pantai secara membabi buta menembaki para turis. Tak kurang 38 turis asal Eropa yang sedang menikmati keindahan pantai Sousse tewas di tempat sebelum Saifeddin diberondong aparat Tunisia.

Aksi terorisme itu diklaim ISIS sebagai tindakan agennya. Sejak saat itu, pantai Sousse dan seluruh tempat wisata lain di Tunisia dijauhi para pelancong. Melihat sepinya pantai Soussa penulis Resonansi ini segera ingat ketika datang ke Nusa Dua untuk ikut menentramkan keadaan setelah bom Bali I (12 Oktober 2002) dan bom Bali II (1 Oktober 2005. Ketika itu, Bali sangat sepi; para turis baik domestik maupun mancanegara menjauhi Pulau Dewata.

Bali berbeda dengan Sousse atau Tunisia secara keseluruhan. Aksi-aksi kekerasan yang seolah sambung menyambung di Sousse, Tunis dan sejumlah kota lain di Tunisia membuat pariwisata sangat sulit pulih kembali. Padahal, sektor pariwisata menghasilkan 7,5 persen total GDP dan 14 persen lapangan kerja.

Dengan kondisi demikian, Tunisia jelas terlihat belum stabil. Seperti diketahui, Tunisia adalah negara di mana ‘Arab Spring’ bermula ketika Mohammad Buazizi, penjual asongan di pinggir jalan dikasari polisi (17/12/2010). Segera ia membakar dirinya sampai tewas yang secara instan memicu ‘Jasmine Revolution’ (Revolusi Melati) di seluruh Tunisia. Pergolakan di seluruh negeri paling kecil di kawasan Maghrib ini memaksa Presiden Zine el-Abidine Ben Ali yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa melarikan diri ke Arab Saudi

Lima tahun lebih setelah gelombang demokrasi melanda Tunisia, negara ini kini dianggap sebagai satu-satunya di mana masih bersemi harapan bagi tumbuhnya demokrasi di Dunia Arab. Negara-negara lain yang juga mengikuti Tunisia terlanda ‘Musim Semi Arab’ yang mencapai puncaknya pada 2011-12, tepatnya gelombang demokrasi sejak dari Libya, Mesir, Yaman dan Syria memperlihatkan kandasnya demokrasi di tengah konflik, kekerasan dan perang.

Kini kekacauan terus melanda Libya dengan konflik dan kekerasan di antara berbagai kelompok paramiliter; di Mesir militer kembali ke panggung kekuasaan dengan mengorbankan Ikhwanul Muslimin; Syria lebih kacau balau di tengah kehancuran akibat ISIS dan kelompok radikal lain; sedangkan Yaman menjadi kancah peperangan antara pemberontak Hauthi versus Arab Saudi dan koalisinya.

Dengan keadaan mengenaskan itu, Tunisia demokrasi bertumbuh lambat. Pertarungan dan kontestasi di antara partai Islamis el-Nahda pimpinan Rachid el-Ganouchi pada satu pihak dengan partai-partai sekuler dan partai loyalis Presiden Habib Bourghiba (wafat 6 April 2000 dalam usia 96 tahun) pada pihak lain terus berlanjut. Setelah memenangkan Pemilu demokratis pertama pada 23 Oktober 2011, el-Nahda mengundurkan diri kepemimpinan politik Tunisia pada Januari 2014 untuk meratakan jalan bagi amandemen Konstitusi.

Dengan demikian, jelas transisi dan konsolidasi demokrasi di Tunisia juga tidak mudah. Dalam percakapan dengan Profesor Moncef Ben Abdeljelil, Dekan Fakultas Sastra dan Ilmu Humaniora, Universite de Sousse, penulis Resonansi ini menyampaikan pengamatan dan kesan, transisi Tunisia menuju demokrasi terkonsolidasi menempuh jalan panjang dan pedih.

Dalam perspektif komparatif, Tunisia tidak seberuntung Indonesia yang lebih cepat dan lancar dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasinya. Meski transisi demokrasi Indonesia juga diwarnai banyak gejolak, tetapi ekonomi lebih cepat pulih sehingga mendorong penguatan kembali ketenangan dan kohesi sosial.

Seperti di Indonesia, euforia demokrasi juga melanda Tunisia. Ketika Pemilu demokratis pertama diselenggarakan pada 2011, tidak kurang 100 partai politik menandai kehidupan politik negara yang berpenduduk hanya sekitar 11 juta jiwa. Dalam kenyataannya, hanya sekitar 15 partai yang berhasil memiliki kursi di parlemen—lima partai paling banyak memiliki antara 86 sampai delapan kursi; dan 10 partai lain memperoleh antara empat sampai satu kursi.

Kekerasan dan terorisme yang sebagian besar limpahan dari Libya—dengan menguatnya faksi ISIS dan Alqaidah—jelas menghadang konsolidasi demokrasi dan pertumbuhan ekonomi Tunisia. Pada satu segi, demokrasi menawarkan kesejahteraan lebih baik; tapi ini sulit tercapai karena ekonomi tidak bertumbuh alias zero growth akibat aksi terorisme’

Karena itu, dalam percakapan dengan kalangan masyarakat Tunisia, penulis Resonansi ini menekankan pentingnya keteguhan dan kebulatan tekad untuk bertahan dengan demokrasi dan Islam yang damai. Tanpa itu, bukan tidak mungkin Tunisia tergelincir ke dalam kekerasan dan kegelapan seperti para tetangganya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement