REPUBLIKA.CO.ID, Hari Buku Sedunia sudah seminggu berlalu. Ada terdengarkah gaungnya? Sebagian besar bangsa Indonesia bukan mustahil tidak menyadari. Atau, jangan-jangan malah tidak tahu ada Hari Buku Sedunia.
Sayangnya, itu bukan hal yang mengagetkan. Pada Maret lalu, Most Literate Nations in the World merilis pemeringkatan literasi internasional di antara 61 negara dan Indonesia berada di urutan ke-60 atau satu peringkat lebih baik dibanding Botswana yang ada di posisi terbawah.
Membaca memang belum benar-benar menjadi bagian budaya bangsa secara keseluruhan. Padahal, sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas Muslim, semestinya membaca menjadi bagian tradisi yang mengakar kuat. Perintah untuk itu ada di ayat pertama Alquran: Iqra! Bacalah!
Ya, sejatinya peradaban Islam sangat menghargai budaya baca. Ketika Perang Badr, tawanan perang justru dibebaskan dengan syarat diharuskan mengajarkan anak Muslim baca tulis. Begitu juga tradisi ulama dan ilmuwan pada masa keemasan Islam, mereka sangat aktif menulis dan membaca. Termasuk juga, ulama nusantara, di antaranya, Syekh Nawawi al-Bantani yang menghasilkan karya hingga 115 kitab dan Syekh Yusuf al-Makassari.
Ketika bangsa ini belum merdeka, membaca menjadi kebiasaan orang-orang tertentu, kaum intelektual, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Hamka, dan lain-lain. Namun, justru sedikit orang yang suka membaca tersebut memiliki peran luar biasa dalam kemerdekaan bangsa, terutama di meja perundingan, selain tentu saja para pejuang yang bertempur langsung di medan perang.
Begitu banyak pekerjaan rumah dalam menumbuhkembangkan budaya baca di Tanah Air. Belum sempat budaya baca terbangun, industri televisi mulai masuk dan aktivitas menonton menjadi kegemaran baru setelah sebelumnya radio menjadi sumber informasi serta hiburan.
Berpuluh tahun penggerak literasi Indonesia berjuang untuk membangun minat baca di Tanah Air. Alhamdulillah, cukup berhasil di kalangan anak-anak meski jumlahnya belum signifikan. Namun, belum juga sempat mengakar, kini budaya baca mulai tergeser kegemaran baru, hadirnya teknologi informasi internet--yang kian berkembang. Media sosial yang sekilas seperti kegiatan baca tulis, hanya mengubah budaya obrolan konvensional menjadi obrolan digital, bukan baca tulis sesungguhnya.
Ancaman generasi muda yang tidak suka membaca bukan hanya sinyal buruk bagi Indonesia. Dunia, secara keseluruhan, terutama negara berkembang, pun merasakan melunturnya budaya baca.
Karena itu, bukan tanpa alasan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mencanangkan Hari Buku Sedunia (World Book Day) dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat. Hari buku ditentukan pada 23 April, mengambil tanggal meninggalnya William Shakespeare, 23 April 1616. Beberapa penulis terkenal lain, uniknya juga wafat pada tanggal tersebut.
Melalui ditetapkannya Hari Buku Sedunia, seolah ingin mengatakan, penulis mungkin mati, tapi karyanya akan abadi. Sebagai penulis, yang prihatin dan ingin berbagi semangat menulis hingga hadir lebih banyak pejuang pena, saya, dan Helvy Tiana Rosa, serta beberapa teman, pada 1997 mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP).
Melalui Komunitas Bisa Menulis (KBM) yang baru tiga tahun ini suami dan saya dirikan, kami menggerakkan moto \"Satu Buku Sebelum Mati\". Gerakan lain yang dimotori juga oleh cukup banyak sosok sastrawan adalah maraknya perpustakaan gratis.
Sementara, lewat kerja keras dan ketulusan relawan, yang juga tak ingin generasi muda Indonesia gagap membaca, alhamdulillah berdiri 219 RumahBaca AsmaNadia di Tanah Air. Semoga terus istiqamah dan mimpi 1.000 perpustakaan dhuafa di Tanah Air terwujud.
Insya Allah buku masih memiliki harapan. Jika dulu dunia buku babak belur berhadapan dengan dunia pertelevisian, kini di dunia internet, buku masih punya ruang, yaitu e-book. Sepanjang buku versi digital dipublikasikan secara legal, dunia baca dan kepenulisan semoga bisa terus dilestarikan.
Walaupun, khususnya di Indonesia, masih ada tantangan lain yang tak kalah sadis menyerang industri perbukuan, yaitu maraknya pembajakan. Sekalipun didefinisikan sebagai tindakan kriminal, pembajak buku dan pengedar buku bajakan melenggang dengan bebas di Tanah Air. Lapak-lapak buku bajakan berjualan bebas di pusat keramaian, bahkan bertetangga dengan kantor aparat penegak hukum. Kondisi yang sangat memprihatinkan.
Betapa miris nasib penulis juga penerbit. Mereka begitu sulit masuk ke pasar yang masih minim, masih harus ditambah dengan para pencuri yang leluasa menjual buku bajakan berkualitas rendah, dengan kertas koran dan halaman tidak jelas, dengan harga sangat murah.
Saya jadi teringat seri terbaru, Catatan Hati Seorang Gadis yang terbit bulan lalu. Data dari beragam curhat para gadis, saya kumpulkan selama bertahun-tahun. Perlu waktu enam bulan lebih mengumpulkan data pendukung. Ditambah, rapat aktif dengan redaksi selama tiga bulan intensif untuk memperbaiki pengeditan dan pengemasan buku. Lalu, mengatur pembayaran penulis, kontributor, dan persiapan lain.
Banyak pihak bekerja keras mengerjakan proyeknya sampai akhirnya buku tersebut berhasil kami terbitkan. Sayangnya, hanya dalam hitungan hari, versi bajakannya sudah beredar di pasaran. Bahkan, ada yang berani menjual secara daring, melalui lapak daring besar. Penjualan buku bajakan secara daring adalah tantangan baru yang kian mempersulit mereka yang bergerak di dunia buku dan penerbitan.
Menyadari kondisi memilukan ini pula, menggerakkan UNESCO menambahkan World Book Day dengan menggandeng embel-embel lain, yaitu Hari Buku dan Hari Hak Cipta (World Book and Copyright Day).
UNESCO memahami, pelanggaran hak cipta terhadap buku akan mengancam kreativitas penulis dan penerbit hingga bisa jadi membuat profesi tersebut tidak diminati karena tidak dilindungi. Jika dibiarkan terus, hal ini dipastikan menimbulkan bahaya besar karena sumber ilmu akan semakin menipis.
Pertanyaannya sekarang, apakah pemegang wewenang kekuasaan di Indonesia akan membiarkan buku tergilas zaman dan orang-orang kreatif yang terlibat dalam industri perbukuan berguguran satu per satu karena maraknya pembajakan ini? Semoga bukan itu yang terjadi.
Sekali lagi, selamat Hari Buku Sedunia, selamat membaca buku--tentu yang asli dan bukan versi curian alias bajakan--hingga denyut perbukuan dan aktivitas literasi di Tanah Air abadi.