REPUBLIKA.CO.ID, Pembahasan “meja bundar” tentang “Soft Power and Public Diplomacy in the Indo-Pacific: Emerging Models and Trends” (Griffith University Brisbane, 18-20/5/2016), memperlihatkan peningkatan minat dalam mengeksplorasi berbagai aspek diplomasi publik.
Pembahasan terutama terkait dengan teori dan praktik yang pas dalam diplomasi di kawasan Indo-Pasifik, yang membentang sejak dari Samudra India sampai Lautan Teduh, dari daratan Cina sampai Selandia Baru-yang terletak jauh di bawah (down under).
Indo-Pasifik relatif merupakan kawasan cukup terintegrasi. Wilayah ini ditandai sejumlah perbedaan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan agama. Perbedaan dan keragaman itu tidak urung lagi dapat menjadi sumber pertikaian dan bahkan konflik.
Dalam keragaman itu, negara-negara di kawasan Indo-Pasifik menghadapi banyak tantangan dan peluang yang sama. Kawasan Indo-Pasifik dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis, umumnya aman, damai, dan stabil dibandingkan kawasan Asia Barat,Timur Tengah, dan Afrika.
Gejolak dan konflik politik, etnis, dan agama di Korea Utara, Myanmar, Thailand Selatan (Patani), dan Filipina Selatan (Mindanao) tidak menimbulkan instabilitas di kawasan Indo-Pasifik secara keseluruhan.
Namun, ancaman terhadap stabilitas kawasan Indo-Pasifik juga meningkat dengan adanya peningkatan radikalisme atas nama agama. Ini terlihat dalam radikalisme Buddhis di Myanmar atau bertahannya kelompok radikal Abu Sayyaf di Mindanao.
Pembebasan sejumlah ABK Indonesia yang ditahan kelompok Abu Sayyaf belum lama ini melibatkan berbagai pihak melalui soft power, bukan hard power.
Ancaman terhadap stabilitas kawasan Indo-Pasifik juga datang dari penyebaran paham ISIS. Pihak terakhir ini bahkan mampu merekrut orang-orang dari kawasan Indo-Pasifik; mereka kemudian pergi ke Suriah; banyak di antara mereka tewas; tapi sebagian lagi kembali ke negara masing-masing-menciptakan ancaman terhadap stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
Pemeliharaan stabilitas jelas merupakan faktor penting untuk peningkatan kemajuan ekonomi, sosial-budaya, dan politik kawasan Indo-Pasifik. Untuk itu, perlu penguatan saling pengertian dan kerja sama, tidak hanya pada tingkat pemerintah, tetapi juga pada berbagai lembaga dan segmen masyarakat.
Dalam konteks itulah, terletak urgensi peningkatan diplomasi publik di antara berbagai negara Indo-Pasifik khususnya. Melalui cara ini, sekaligus terjadi peningkatan penggunaan soft power yang “lebih murah” daripada hard power-militer dan persenjataan-yang jauh lebih mahal.
Sekali lagi, dalam pembicaraan Brisbane, publik diplomasi dipahami sebagai “diplomasi total”. Dengan begitu, diplomasi publik tidak hanya dilakukan instansi pemerintah, khususnya Kementerian Luar Negeri, tetapi juga berbagai lembaga nonpemerintah dengan para aktor nonnegara (non-state actors).
Diplomasi total, jelas tidak terbatas pada politik baik di dalam ranah domestik ataupun di kancah internasional. Berbagai instrumen yang tercakup dalam soft power dapat diarahkan sebagai bagian dari diplomasi total dalam menciptakan kawasan atau lingkungan dunia yang lebih aman dan harmonis.
Karena itu, pendidikan, kebudayaan, kesenian, tradisi keagamaan, olahraga, dan seterusnya dapat diberdayakan untuk kepentingan diplomasi total di tingkat internasional. Di sini, negara dapat menggerakkan berbagai potensi yang ada dalam bidang ini melalui kerja sama dengan organisasi dan lembaga nonpemerintah.
Indonesia sejak masa pasca-Soeharto telah menggiatkan diplomasi publik. Sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan sekaligus sebagai negara Muslim terbesar di dunia-sama sekali bukan negara kecil-Indonesia perlu memproyeksikan diri secara asertif ke kancah internasional.
Tak kurang pentingnya, sebagai negara demokrasi mayoritas Muslim, Indonesia juga semakin diharapkan banyak kalangan internasional memainkan peran lebih besar. Dalam konstelasi internasional, Indonesia termasuk ke dalam tipologi middle power, kekuatan menengah yang memiliki peran penting sebagai kekuatan mediasi dan penengah.
Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terlihat seolah tidak memiliki pretensi untuk memenuhi harapan tersebut. Terlihat kian berkurang kegiatan diplomasi publik Indonesia yang melibatkan masyarakat madani di kancah dunia internasional.
Sebagai contoh, pada masa Presiden SBY, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara-bahkan satu-satunya negara berpenduduk mayoritas Muslim-yang aktif dalam introduksi dan konsolidasi demokrasi.
Hal ini dilakukan melalui Bali Democracy Forum (BDF). Akan tetapi, Presiden Jokowi menurunkan BDF dari tingkat kepala negara/kepala pemerintahan ke tingkat menteri.
Sebagai negara besar, Indonesia mesti memainkan peran internasional sesuai bobotnya (punch its weight). Karena itu, Indonesia tidak pada tempatnya jika bersikap inward looking--lebih melihat ke dalam negeri dengan tidak atau kurang mewujudkan peran internasionalnya.
Karena itu, perlu revitalisasi diplomasi publik Indonesia untuk menciptakan dunia lebih tertib, aman, dan berkeadaban.