REPUBLIKA.CO.ID, Turki dan Indonesia sering disebut para ahli ilmu politik dan juga petinggi banyak negara demokrasi di Eropa dan Amerika sebagai dua negara berpenduduk mayoritas Muslim di mana demokrasi dapat tumbuh dan terkonsolidasi baik.
Karena itu pula kedua negara sering disebut sebagai contoh sukses (showcase) kompatibilitas Islam dan demokrasi, di mana keduanya dapat berjalan seiring.
Kedua negara ini kebetulan adalah berpenduduk Muslim non-Arab, sehingga memunculkan pertanyaan yang sering menjadi perdebatan di kalangan akademisi.
Apakah masyarakat Muslim non-Arab-seperti Turki dan Indonesia-karena pemahaman dan praksis keislaman yang berpadu dengan budaya lokalnya masing-masing lebih kondusif bagi tumbuhnya demokrasi.
Pada pihak lain, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia Arab, Asia Selatan, dan Afrika tidak menimbulkan optimisme bagi tumbuh dan konsolidasi demokrasi.
Pengalaman sejumlah negara Arab dalam 'Arab Spring'-musim semi Arab untuk tumbuhnya demokrasi sejak 2011 sampai sekarang (2016) memperlihatkan indikasi langkah mundur (setback). Ini terlihat dengan kembalinya militer ke panggung kekuasaan di Mesir, atau konflik dan perang internal yang berkelanjutan di Libya, Yaman, Suriah, dan Irak.
Skeptisisme juga ada terkait konflik yang terus pula terjadi di Asia Selatan sejak dari Afghanistan, Pakistan dan Bangladesh. Negara-negara ini tak memberikan harapan yang meyakinkan bagi tumbuhnya demokrasi secara berkelanjutan.
Sebab itulah, harapan banyak kalangan bagi demokrasi untuk terkonsolidasi baik hanya ada di Turki dan Indonesia. Tetapi, usaha kudeta yang dilakukan segelintir militer, yang gagal menumbangkan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan dinihari Sabtu (16/7) mengisyaratkan adanya ancaman serius terhadap demokrasi di Turki.
Kudeta yang gagal di Turki mengandung sejumlah perkembangan dan kecenderungan campur aduk (mixed signal). Keadaan ini mestinya dapat menjadi pelajaran bagi negara-negara-khususnya di Dunia Muslim, termasuk Indonesia-yang terus sedang berusaha menumbuhkan dan mengkonsolidasi demokrasi.
Pada satu segi, kegagalan kudeta ini bukan hanya disebabkan sebagian besar militer tidak mendukung, juga karena kekuatan rakyat (people power) memenuhi jalanan di kota-kota Turki-ramai-ramai menolak kudeta.
Meski banyak juga di kalangan massa beroposisi terhadap rejim Presiden Recep Tayyip Erdogan, warga Turki umumnya lebih memilih demokrasi daripada kekuasaan militer.
Pada segi lain, usaha kudeta militer itu menunjukkan salah satu titik kulminasi ketidakpuasan terhadap Presiden Erdogan.
Terpilih sebagai Presiden dalam Pemilu langsung pertama pada 2014, Erdogan sukses sebagai perdana menteri sejak 2003 berkat kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dia dirikan pada 2001 yang didukung jaringan Gerakan Gulen, organisasi sosial-keagamaan yang dipimpin Fethullah Gulen.
Menjabat perdana menteri selama tiga kali (2003, 2007, dan 2011), Turki di bawah pemerintahan PM Erdogan berkembang fenomenal. Erdogan berjaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Turki rata-rata 3,6 persen setahun.
Ia secara besar-besaran membangun infrastruktur, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Erdogan juga berhasil melunasi utang Turki ke IMF sebanyak 23 miliar dolar AS. Dalam masa ini pula Erdogan berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan pribadinya-menuju penguasa otokratik.
Ia berhasil tidak hanya menyingkirkan lawan-lawan politiknya-yang sebagian adalah mantan teman dan sekutunya-tetapi juga menguasai militer yang hampir selalu potensial melakukan pembangkangan.
Erdogan melakukan langkah-langkah positif untuk menyelesaikan masalah Kurdi yang membayangi Republik Turki sejak waktu lama. Erdogan memberikan amnesti parsial pada tahanan anggota Partai Buruh Kurdistan (PKK); dan sekaligus meminta maaf atas nestapa yang diderita warga Kurdi selama ini.
Tetapi langkah PM Erdogan ini gagal menyelesaikan masalah warga Kurdi; sejumlah pemboman dan kekerasan beberapa tahun terakhir dinyatakan pemerintah terkait dengan PKK. PM Erdogan juga membuka kemungkinan permintaan maaf negara Turki kepada warga Armenia yang disebut mengalami genosida pada masa Perang Dunia II.
Permintaan maaf itu hanya mungkin setelah penyelidikan menyeluruh yang dilakukan para ahli dan akademisi. Tanpa bukti dari para ahli, Erdogan menolak meminta maaf. Erdogan akhirnya menyatakan 'rasa duka' (condolences) pada 23 April 2014 atas jatuhnya korban warga Armenia, tetapi tidak mengajukan permintaan maaf.
Masih menyangkut komunitas minoritas, Erdogan pada 2011 melakukan pembaruan hukum untuk mengembalikan harta benda warga Kristianitas dan Yahudi yang dirampas negara pada 1930-an. Nilai harta benda yang dikembalikan mencapai sekitar 2 miliar dolar AS.
Sejak periode ketiga sebagai PM, Erdogan mulai kian intensif melakukan langkah kontra-produktif terhadap demokrasi dan dinamika Turki. Perkembangan ini meningkatkan ketidakpuasan kalangan masyarakat baik yang diungkapkan secara terbuka maupun tersembunyi-termasuk kudeta 15 Juli 2016.