Selasa 26 Jul 2016 06:00 WIB

Tak Peduli Ramadhan, Bom Itu Terus Saja Menyalak

Red: Maman Sudiaman
Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Masih ada catatan bulan Ramadhan 1437 Hijriah yang perlu diingat lagi. Dalam jawaban terhadap SMS Prof. Azyumardi Azra yang memuji artikel saya dalam Kompas, 5 Juli 2016, saya katakan: “Jika tidak ada Alquran yang menghibur, rasanya beban menjadi umat ini hampir tak tertanggungkan.” 

Jawaban ini dijawab lagi: “Benar Buya; kelakuan biadab mereka membuat akal dan hati kita sulit memahami. Ada lagi orang kita yang meniru kebiadaban itu; bom bunuh diri di Mapolresta Solo.” Sudah berjalan hampir satu setengah dasa warsa sejak Bom Bali pada 2002 yang menggoncangkan jagat raya dan serentekan bom-bom sesudah itu, komentar apa lagi yang patut kita sampaikan? Kita seperti tak berdaya mencegahnya.

Itu baru di Indonesia, di bumi Muslim yang lain, bom itu tak berhenti menyalak sampai detik ini. Bulan Ramadhan ini digoncangkan lagi oleh ledakan bom di Istanbul, Madinah, Jeddah, Baghdad, Bangladesh, dan entah di bumi mana lagi. Sebagian bumi Muslim sudah tidak lagi aman dan nyaman untuk didiami. Media sosial Barat dengan penuh semangat menyimpulkan bahwa Islam itu adalah agama teror, tidak lebih dan tidak kurang. Padahal yang terlibat dalam tindakan teror ini hanyalah segelintir manusia putusasa, baik terhadap penguasa Muslim, ulama, dan pihak Barat yang mengendalikan penguasa di bumi panas yang selalu bergolak itu.

Pada saat dunia Muslim sedang jatuh terpuruk, rupanya sangat mudah bagi sebagian kecil umat ini kehilangan keseimbangan, akal sehat dan hati nurani tidak lagi berfungsi. Bahwa Barat benci Islam, kita semua sudah faham, dan kebencian itu sudah berjalan berabad-abad. Ada sentimen politik, sentimen agama, dan sentimen sejarah yang melatari semuanya