REPUBLIKA.CO.ID, Dalam cerita dongeng tentang sihir, biasanya ada adegan ketika kekuatan sihir itu lenyap begitu saja. Tiba-tiba sapu tak bisa terbang, berubah ke wujud asli, tangan tak lagi bisa mengeluarkan kekuatan gaib, dan seterusnya.
Dalam kehidupan politik, sihir itu berupa narasi dan persepsi. Ketika persepsi dan narasi tertentu berhasil menyelubungi kehidupan politik maka sihir narasi dan persepsi itu menghipnotis seluruh konstituen dalam bahasa yang sama. Nah, setiap pihak yang bertarung akan membangun sihir masing-masing. Ada kalanya mereka berada dalam satu frekuensi, ada kalanya berbeda frekuensi.
Awalnya, pilkada DKI dipersepsikan bakal berada dalam satu tarikan napas dengan gelombang politik negatif seperti yang dilakukan Donald Trump: agresif, menyerang, frontal, dan masuk ke wilayah sensitif. Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama berada dalam frekuensi yang mirip dengan Trump. Dia agresif dan menyerang.
Secara kebetulan, Ahok beretnis Tionghoa dan beragama Kristen. Etnis Tionghoa sering dilihat secara pejoratif. Politik agresif dan ofensif itu dibalas lawan-lawannya dengan cara yang agresif dan ofensif juga. Tak hanya kebijakannnya –yang menguntungkan pengembang dan berdimensi fisikal serta nir-humanitiy-- yang diserang, tapi juga faktor agama dan etnisnya. Dua pihak berada dalam satu frekuensi dan berhadap-hadapan. Banyak yang khawatir pilkada bakal panas dan bisa ada insiden yang keras.
Karena itu, ada upaya untuk menarik PDIP agar tak ikut mendukung pencalonan Ahok. Hal ini selain cara mudah untuk mengalahkan Ahok juga sekaligus untuk mengurangi ketegangan politik dan sosial.
Jika PDIP tak ikut mendukung Ahok maka partai-partai yang mengusung calon penantang Ahok bisa keluar dari sihir konfrontasi yang berdimensi SARA. Namun upaya ini gagal. PDIP yang berkali-kali dikecewakan manuver Ahok – maju lewat independen dan menyerang partai serta menolak untuk mendaftar ke PDIP – akhirnya tetap ikut mendukung Ahok, dipasangkan dengan Djarot Saiful Hidayat. Dengan bergabungnya PDIP dalam koalisi pengusung Ahok maka kekhawatiran bahwa pilkada akan panas seolah menjadi tak terelakkan.
Benar saja. Dalam dua hari, setelah PDIP menyatakan dukungan ke Ahok, isu agresif mulai muncul. Partai pendukung Ahok dinilai sebagai partai pluralis – Hanura, Nasdem, Golkar, dan PDIP. Ahok disimbolkan sebagai figur pluralis. Sihir pluralisme akan dihadapkan dengan sihir “kafir dan Cina”. Klaim pluralisme melawan anti-pluralisme sebetulnya gegabah dan simplistis.
Namun politik adalah soal persepsi. Dan dalam konteks keindonesiaan, jelas sihir pluralisme yang akan menang. Namun kejutan itu datang. Upaya mencari lawan tanding Ahok yang tidak dalam frekuensi itu mendapat hasilnya. Susilo Bambang Yudhoyono memunculkan anaknya sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono.
Agus yang masih berpangkat mayor pun harus pensiun dini dari TNI. Selain didukung Demokrat, Agus didukung PAN, PPP, dan PKB. Agus dipasangkan dengan Sylviana Murni. Sedangkan Gerindra dan PKS mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Figur Agus-Sylvi dan Anies-Sandi tentu tak bisa ditembak dengan isu anti-pluralisme. Karena itu sihir tersebut lenyap seketika. Lahirnya Agus dan Anies diharapkan bisa menghilangkan kekhawatiran bakal ada insiden pada pilkada pada Februari 2017 nanti.
Tak salah dengan penilaian bahwa pilkada DKI ini adalah pilkada rasa pilpres. Tak hanya DKI merupakan ibukota negara, tapi juga terjunnya semua kekuatan di sini.
Empat pusat gravitasi politik nasional ikut terjun langsung: Jokowi, Megawati, SBY, dan Prabowo. Ada upaya menarik pertarungan 2019 ke 2017. Tentu di luar empat gravitasi itu masih ada pusat-pusat kekuatan yang cair, yang bisa in and out ke dalam kelompok-kelompok adhoc. Mereka bisa dari mana saja: pengusaha, ormas, LSM, dan seterusnya. Dalam konteks ini, Anies dan Sandi lahir berkat adanya kelompok-kelompok adhoc yang secara persisten menolak Ahok. Mereka berasal dari civil society.
Kelompok itu tak mesti mengenal langsung, karena kuatnya dukungan terhadap Anies memang genuine dari masyarakat yang merasa tak cocok dengan Ahok. Sebetulnya, tak hanya kepada Anies, mereka juga berharap pada Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini. Namun Ridwan dan Risma batal untuk maju.
Dalam kontestasi ini, Anies dan Sandi bisa maju karena mewakili civil society. Tanpa adanya dukungan dari publik, Gerindra dan PKS tak akan mencalonkan mereka. Dalam konteks Indonesia yang masih patrimonial dan tingkat ketimpangan yang parah sulit sekali ada figur yang lahir tanpa dukungan patron.
Namun Anies dan Sandi masih bisa menghimpun dukungan civil society yang umumnya tak bisa menyatu. Sehingga ia bisa ditangkap Gerindra dan PKS, yang tentu ada dukungan dari sedikit pemodal. Mereka inilah the rest, yang tersisa. Civil society Indonesia memang tak ada yang mengurus. Semua bancakan sendiri. LSM yang sering disebut sebagai wakil civil society kini pun meninggalkan mereka.
Kini banyak aktivis LSM berada di Istana dan tersebar di BUMN. Tak ada lagi kegempitaan menolak penggusuran seperti di masa lalu. Selain itu, Anies-Sandi didukung oleh sedikit partai, setelah yang lain sudah lebih dulu beraliansi. Benar-benar the rest.
Sedangkan Agus-Sylvi benar-benar mewakili corak pemerintahan SBY di masa lalu: oligarkis, persekutuan elite. Agus bisa dicalonkan karena murni anak SBY. Namanya tak pernah disurvei. Sylvi juga bukan figur populer.
Satu-satunya kekuatan adalah karena dia birokrat tulen di Pemprov DKI. Tentu karena dia satu-satunya kandidat perempuan, Sylvi memiliki keunggulan dari aspek gender. Bisa dipastikan, kekuatan oligarkis – hal ini tecermin benar lewat figur ketua tim suksesnya, yakni Wisnu Wardana, pengusaha muda yang besar di masa SBY berkuasa -- akan berada di belakang Agus-Sylvi.
Faktor birokrasi dan militer akan ikut memengaruhi. Benar sekali bahwa figur Agus dan Sylvi punya potensi nilai jual. Namun bukan hanya itu yang utama.
Ahok sendiri merupakan tipikal pemerintahan Jokowi. Dia mewakili kaum plutokrat, persekutuan pemodal, terutama pengusaha properti.
Karena itu benar sekali yang dikatakan Ahok bahwa dia tak membayar partai, tak membayar teman Ahok, maupun tak membayar tim medsos. Itu bukan urusan Ahok. Kebijakan-kebijakannya memberikan keuntungan yang besar terhadap pengusaha properti.
Salah satu contoh nyata adalah reklamasi Teluk Jakarta. Tagline Agus-Sylvi – Jakarta untuk Rakyat -- jelas sekali terarah ke Ahok. Tagline itu bisa ditarik menjadi Jakarta bukan untuk pengembang, Jakarta bukan untuk orang kaya, dan seterusnya.
Pilkada nanti akan menjadi pertarungan kaum plutokrat, oligarkis, dan the rest. Kita saksikan siapa yang akan menjadi pemenangnya.