REPUBLIKA.CO.ID, Ahok keceplosan atau sejati ketika berbicara tentang Al Maidah: 51? Jika sejati, apakah itu memang bertujuan untuk meraih suara dan merusak suara lawan atau memang dia gemar saja berbicara soal agama? Ya, dalam video yang diunggah Pemprov DKI Jakarta di Youtube Ahok memang gemar berbicara agama, bahkan dalam nada minor tentang agama lain. Tapi tulisan ini tak hendak memberi kepastian tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Kita tak bisa menilai apa yang ada di hati orang, yang bisa kita lakukan hanyalah menganalisa berdasarkan fakta yang ada.
Ini adalah tulisan ketiga tentang Al Maidah: 51. Sekaligus tulisan terakhir tentang tema ini. Tulisan pertama melihat dari sisi timpa menimpa isu, tulisan kedua tentang aksi-reaksinya, maka tulisan ketiga ini fokus ke Buni Yani. Ya, ini sangat menarik untuk diulas. Dosen di London School of Public Relation ini tiba-tiba menjadi fokus pemberitaan maupun menjadi trending di facebook dan twitter. Buni adalah pria kelahiran Lombok. Ia meraih gelar sarjana dari Universitas Udayana, Bali. Meraih gelar master dari Universitas Ohio, Athens, Amerika Serikat. Kini sedang menempuh program doktoral di Universitas Leiden, Belanda. Ia tinggal di Depok, Jawa Barat.
Pada pilgub DKI yang lalu ia menjadi pendukung Jokowi-Ahok, bukan pendukung Foke-Nara. Pada pilpres 2014 ia mendukung Jokowi-JK, bukan pendukung Prabowo-Hatta. Ia mengaku berubah kritis terhadap Ahok sejak April 2016 ketika tim Ahok memainkan isu agama dan ras. Misalnya lebih baik pilih non-muslim tapi tidak korup daripada pilih Muslim tapi korup, dan seterusnya. Hal itu bisa dilihat dari statusnya di facebook pada 6 April 2016. Buni juga mulai mengkritisi kebijakan-kebijakan Ahok lainnya.
Buni masuk menjadi pusaran berita sejak Komunitas Muda Ahok Djarot (Kotak Adja) mengadukan Buni ke Polda Metro Jaya pada Jumat (7/10). Mereka menuduh Buni melanggar UU ITE tentang penyebaran kebencian dan rasa permusuhan. Dalam pernyataannya, mereka juga menyebut Buni ikut menyebarkan formulir dukungan untuk satu pasangan kandidat yang bukan Ahok-Djarot. Serangan terhadap Buni juga bisa dilihat di media sosial. Pada Sabtu (8/10), dalam sebuah diskusi, Guntur Romli, yang juga tim sukses Ahok-Djarot menyebut Buni adalah sahabat, tim, dan satu almamater dengan Anies Baswedan. Anies adalah lulusan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Gelar master dan doktor diraih di Amerika Serikat, yaitu di Universitas Maryland dan Universitas Northern Illinois.
Pada Ahad (9/10) malam, kantor berita Antara membuat wawancara tanya-jawab dengan Buni. Sebuah perlakuan yang istimewa. Wawancara ini kemudian dimuat utuh oleh wartakota.tribunnews.com. Wawancara itu dimuat antaranews.com pada Senin (10/10) pukul 06.38 dan dimuat wartakota.tribunnews.com pada pukul 06.59. Di antaranews.com hingga Kamis (27/10) pukul 10.35 sudah ada 147.022 viewer. Sedangkan di wartakota.tribunnews.com sudah ada 303 komentar. Komentar itu umumnya mengecam Buni sebagai rasis, menyebar kebencian dan SARA, serta agar Buni segera dipenjarakan. Memang ada yang mendukung Buni namun segera diserang balik. Para komentator itu juga menyerang umat Islam.
Wawancara itu berisi 23 pertanyaan. Pada pertanyaan ke-15 dan ke-16 tentang penyebaran formulir dukungan seperti yang dikatakan Kotak Adja, sedangkan pertanyan ke-17 dan ke-18 tentang hubungan Buni dengan Anies seperti yang dikatakan Guntur.
Pada Senin itu juga Buni melaporkan Guntur dan Muanas Alaidid (Kotak Adja) ke Polda Metro Jaya. Guntur dilaporkan Buni karena menuduh Buni menyebarkan SARA. Sedangkan Muanas dilaporkan Buni karena sebelumnya Muanas melaporkan Buni ke polisi. Esok harinya, Selasa (11/10), Immanuel Ebenezer dari Basuki Tjahaja Purnama Mania (Batman), seperti dikutip wartakota.tribunnews.com menyebut Buni sebagai pendukung Anies-Sandi. Juga mempertanyakan konsistensi sikap Anies yang dalam kampanyenya untuk tak menyebarkan SARA. Immanuel juga menuduh Buni sebagai fasis, rasis, memprovokasi, dan menyebarkan kebencian. Ia juga meminta agar Buni segera dipenjarakan.
Semua ini bermula dari pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada Selasa (27/9). Pidato itu kemudian diunggah secara resmi oleh Pemprov DKI dalam kanal milik Pemprov DKI di Youtube pada Rabu (28/9). Namun Selasa itu juga, pada hari dia berpidato, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) melaporkan Ahok ke Bawaslu DKI atas tuduhan rasis dan penghinaan terhadap agama. Rabu, Ahok menanggapi pengaduan dan tuduhan terhadap dirinya. Pada Rabu (5/10), sepekan berikutnya, ada yang mengunggah potongan 30 detik pidato Ahok ke Youtube. Sebuah akun mengunggah potongan itu ke facebook. Pada Kamis (6/10) dinihari, Buni Yani juga mengunggahnya di facebook.
Namun dalam perkembangannya kemudian, yang muncul adalah Buni sebagai penyebar kebencian, memprovokasi, dan juga mengedit pidato tersebut. Juga terjadi framing bahwa Buni sebagai tim Anies. Ahok dicitrakan sebagai korban politik SARA, dan Buni sebagai pelakunya. Anies seolah menjadi sutradaranya. Dan Islam sebagai basis nilai dan ideologinya. Maka lengkap sebagai sebuah sekuel: ada korban, ada pelaku, ada dalang, ada ideologi.
Politik narasi memang sangat dahsyat, lebih nendang daripada politik massa. Dalam teori pembentukan opini publik, seperti dikatakan Walter Lippmann, ada yang disebut propaganda. Dalam teknik propaganda ada yang dinamakan frustration spacegoat, menciptakan kambing hitam untuk membangun kebencian. Juga ada teknik menciptakan ketakutan atas keterancaman serta teknik seleksi, yaitu memilih fakta agar sesuai dengan tujuan.
Kita sebagai pemilih yang bebas agar selalu waspada dengan berbagai teknik propaganda dan teknik pembentukan opini.