REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Nania memutuskan memilih Rafli sebagai suami, seluruh keluarga tersentak. Bagaimana mungkin seorang gadis berparas cantik, dengan prestasi gemilang, memilih Rafli,--seorang lelaki biasa--dan mengabaikan Tyo, dokter lulusan luar negeri. Hanya karena cinta. Hanya karena percaya lelaki itu akan menjaganya seumur hidup.
Tidak ada yang mendukung keputusan Nania--bagi orang tua dan saudara-sadaranya, ini mustahil. Semua berkata, pernikahan ini tak sepadan. Si lelaki biasa sangat beruntung mendapatkan Nania.
Namun waktu kemudian menjawabnya.
Sebuah peristiwa membuat Nania tidak dapat melakukan apa-apa, kehilangan nyaris semua hal yang sebelumnya menjadi kelebihan serta kebanggaannya. Namun lelaki biasa yang dinikahinya merawat Nania dari bangun tidur hingga kembali tidur. Mengurus semua kebutuhannya tanpa keluh kesah, tak kenal lelah.
Mereka yang dulu mencela Raflli, kini memuji. Sungguh beruntung Nania menikahi lelaki biasa yang memiliki cinta luar biasa.
Bagian di atas merupakan penggalan cerita dari Cinta Laki-laki Biasa. Sebuah kisah yang terinspirasi kejadian nyata, yang membawa saya pada perenungan betapa hidup adalah pilihan.
Beragam pilihan harus dibuat dalam hidup, kadang ditentang lingkungan sekitar, akan tetapi kemudian waktu membuktikan. Tepatkah, kelirukah pilihan yang diambil? Dan hidup memang selalu tentang pilihan. Setiap kita dituntut untuk mampu menetapkan pilihan yang tepat. Bahkan freedom of will, kebebasan memilih yang membuat manusia karenanya lebih mulia, atau sebaliknya lebih hina dari ciptaan Allah lainnya.
Saat kecil manusia memang tidak mempunyai kekuasaan penuh untuk memilih, masih dikendalikan orang dewasa di sekitar. Sebagian besar dari kita, dulu tidak diberi pilihan, harus sekolah. Tapi dalam keadaan demikian pun punya pilihan, apakah mau belajar sungguh-sungguh atau malas-malasan. Berteman atau lebih suka menyendiri, ingin mendengarkan nasihat guru atau mengabaikan.
Semakin bertambah usia, kita kian punya kebebasan memilih. Saat kuliah, kita bebas mau kuliah di jurusan apa pun yang kita suka. Lalu setelah menjadi sarjana, juga bebas memilih ingin bekerja di mana. Tidak mesti sesuai latar belakang pendidikan.
Bagaimana dalam beragama? Kebanyakan kita hanya mengikuti apa yang diajarkan orang tua. Akan tetapi setelah beranjak dewasa kita pun mulai memilih. Apakah ingin menjadi orang yang mengimani kepercayaannya atau sekadar menyandangnya sebagai status. Apakah ingin menjalankan ajaran agama, atau sebatas simbolis saja.
Dalam kehidupan cinta kita juga memiliki kebebasan memilih. Bebas memilih untuk mencintai atau menolak cinta seseorang. Kita berhak memilih pasangan yang ingin dinikahi.
Demikian juga dengan dunia politik, sebagai warga negara kita bebas akan mendukung partai politik mana. Kita bebas menentukan calon pemimpin. Apakah kepercayaan kita letakkan pada sosok yang memberikan kinerja terbaik untuk masyarakat atau hanya sibuk dengan kekuasaan. Apakah pemimpin yang bekerja atau sekadar mengumbar janji saat kampanye. Memilih yang memberi ketenangan atau justru yang menciptakan kecemasan. Bahkan kebebasan berpolitik, termasuk di dalamnya kebebasan tidak memilih, kebebasan berpendapat di muka umum.
Akan tetapi penting diingat bahwa setiap pilihan tentu memiliki konsekuensi.
Jika salah memilih menu di restoran, mungkin kita hanya kehilangan selera tapi tetap mendapatkan energi. Kalau salah memilih pasangan, maka bisa jadi akan mengalami lika-liku pedih dalam kehidupan rumah tangga. Bila salah memilih pemimpin mungkin akan banyak yang menanggung kerusakan yang diakibatkannya.
Juga perlu diingat bahwa pilihan kita dibatasi oleh pilihan orang lain. Jika kita berseberangan dengan pilihan orang lain, maka sangat memungkinkan akan terjadi gesekan. Karena itu pula dalam kehidupan masyarakat kita mengenal toleransi, aturan, serta hukum. Hukum adalah aturan yang mengatur batas-batas pilihan seseorang. Menghormati hukum berarti menghormati pilihan sendiri dan pilihan orang lain.
Kita tidak pernah bisa menjamin bahwa pilihan yang diambil selalu benar. Kadang, pilihan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengetahui tepat atau melesetnya.
Beberapa pilihan lebih mudah dan bisa diprediksi kemungkinannya, akan tetapi banyak pilihan memberikan hasil yang berbeda dari perkiraan.
Pada akhirnya, hidup bukan hanya soal memilih keputusan yang tepat bagi kebahagiaan di dunia, melainkan juga mempertimbangkan apakah pilihan tersebut sekaligus akan menyelamatkan kita di akhirat