REPUBLIKA.CO.ID, Santri tak mampu bersatu. Ditakdirkan untuk bercerai-berai dan menjadi buih peradaban. Karena itu, walau santri merupakan mayoritas di Indonesia, tak pernah menjadi kepala dan selalu puas menjadi 'ekor macan'. Bahkan untuk bersikap pun tak. Namun tunggu dulu!
Pada 1937, umat Islam mendirikan wadah bersama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Organisasi ini semacam konfederasi 13 ormas Islam. Pucuk pimpinan utamanya dari NU, Muhammadiyah, dan Syarikat Islam.
Pada 1943 Jepang membubarkan MIAI dan menggantinya dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) - oleh Yusril Ihza Mahendra nama Masyumi ini dinilai lebih akrab di telinga orang Jepang, seperti Mayumi nama orang.
Namun, menjelang pemilu 1955, Masyumi pecah. NU mendirikan partai sendiri, demikian pula Syarikat Islam dan Perti. Lain-lainnya tetap bergabung dalam Masyumi. Walau sudah terpecah, pemilih santri tetap terkonsolidasi dengan baik dan hanya terbagi ke Masyumi dan NU.
Pada masa kini, semua itu seolah menjadi masa lalu. Semenjak Orde Baru, persatuan Islam seolah menjadi kemustahilan. Sehingga hampir-hampir tak ada mimpi lagi menyatukan umat. Di masa reformasi, tak ada partai santri yang menjadi partai papan atas.
Semuanya masuk di papan tengah. Namun, tiba-tiba, hasil Pemilihan Presiden 2014 mulai menyadarkan sebagian pihak. Inilah untuk kali pertama pemilih santri relatif terkonsolidasi ke dalam satu pilihan, mungkin sekitar 80 hingga 90 persen.
Mereka umumnya memilih pasangan Prabowo-Hatta. Sedangkan sebagian lagi, pemilih santri memilih Jokowi-Kalla. Inilah kali pertama sejak Orde Baru pemilih santri relatif terkonsolidasi. Namun, kenyataan ini masih dianggap kebetulan.
Apalagi, yang menyatukan adalah Prabowo, bukan figur santri. Keluarganya pun lebih banyak non-Muslim, ini karena ibunya non-Muslim. Bahkan pada masa kampanye sering dibandingkan Jokowi yang dinilai lebih Islami.
Hal itu dipertontonkan dengan baik: Jokowi menjadi imam shalat, umrah menjelang hari pencoblosan. Bahkan ada yang bilang bila perlu adu membaca Alquran antara Jokowi dan Prabowo. Sang pengusul yakin Jokowi yang menang.
Persatuan santri kembali terjadi. Kali ini dipicu kontroversi al-Maidah ayat 51 yang disampaikan Ahok. Kali ini yang menyatukan tokoh-tokoh yang tergabung di GNPF MUI. Aksi 411 dan 212 menjadi saksi sejarah bersatunya santri.
Beragam latar belakang keagamaan, dari garis keras hingga dan tentu saja yang terbanyk adaalah orang-orang berpandangan keagamaan moderat tumplak di depan Istana dan Monas.
Mereka adalah orang-orang tua hingga generasi muda, dari laki-laki maupun ibu-ibu, dari rakyat jelata hingga kelas menengah. Semuanya mengambil sikap yang sama: Aksi Bela Islam. Inilah persatuan yang kedua. Namun, terus ada penyangkalan.
Sikap akar rumput ini coba dinegasikan dengan dibenturkan realitas di elitenya. Ya, penggerak aksi bukanlah dari ormas-ormas arus utama. Elite ormas arus utama menjadi gagap. Sudah menjadi tabiat kaum di zona nyaman selalu lambat merespons kenyataan di akar rumput.
Terlalu banyak pertimbangan, kepentingan, dan terlalu besar gerbong yang harus dibawa. Bahkan ekstremnya, sudah terlalu sering menjadi bagian kemapanan, walaupun menjadi buntut macan belaka.
Karena itu, respons terhadap tuntutan perubahan akan mudah ditangkap oleh orang-orang yang berada di luar zona nyaman. Hanya saja, Rizieq Syihab menghadapi kendala tak enteng.
Rekam jejaknya sebagai pimpinan tertinggi FPI sebagai organisasi nahi munkar dengan cara keras -bukan hanya kata-kata tapi juga fisik- membuat langkah ke depannya tak mudah.
Karena dia yang berada di pucuk tertinggi maka Bachtiar Nasir dan M Zaitun Rasmin berada dalam lingkup aura tersebut. Titik lemah ini yang terus dieksploitasi pemerintah dan orang-orang yang tak menyukainya. Bukan hanya diterjang melalui opini tapi juga melalui upaya hukum.
Selain itu, mereka juga dihadapkan pada tantangan lain. Mereka harus mampu merumuskan isu lebih luas, lebih inklusif, dan lebih konkret tentang problem kebangsaan, ekonomi, dan problem sosial.
Jika mereka gagal lolos dari sergapan opini dan hukum serta dari visi yang lebih luas, maka gerakan mereka hanya berhasil pada isu Ahok semata.
Padahal tuntutan publik adalah tentang masa depan Indonesia dalam hal pemerataan ekonomi, perbaikan kehidupan politik, dan pergaulan sosial yang lebih bermartabat. Dalam situasi yang demikian maka akan lahir persatuan yang ketiga.
Seperti yang sudah saya jelaskan dalam resonansi sebelumnya, bahwa lahirnya gerakan ini merupakan suatu keharusan sejarah karena lahirnya generasi baru. Generasi santri yang telah sekolah di masa Orde Baru dan berhasil mencapai mobilitas sosial yang lebih baik.
Mereka menuntut peran yang lebih luas. Generasi ini berbeda dengan generasi santri yang bersekolah setelah kemerdekaan. Generasi santri pertama ini berasal dari kelas menengah, sedangkan generasi santri kedua ini berlatar belakang yang lebih beragam, terutama dari kelas bawah yang kini telah mengalami perbaikan sosial ekonomi.
Generasi pertama inilah yang kemudian melahirkan ICMI, sehingga wajar jika organisasi kaum cendekiawan ini bersifat elitis. Selain sumber dayanya masih terbatas, juga karena mereka memang berlatar belakang kaum elite santri.
Sedangkan generasi santri kedua ini benar-benar berasal dari akar rumput, sehingga bersifat masif. Persatuan santri kali ini merupakan kehendak akar rumput, bukan kehendak elite seperti masa MIAI. Karena itu, elite santri sangat gagap dalam menghadapi 411 dan 212.
Perlu dicatat, kelahiran ICMI adalah enam tahun setelah Tragedi Priok (1984). Tuntutan perubahan itu ditangkap pertama kali oleh orang-orang dari garis keras juga. Tragedi itu menyadarkan kaum moderat, mereka tak boleh diam dan harus mengambil alih prakarsa perubahan.
Apakah kaum moderat kembali akan mengambil alih prakarsa perubahan dan berhenti menjadi buntut macan? Apakah prakarsa itu akan mencuat setelah ada tragedi terlebih dahulu? Tentu masih banyak pertanyaan lain yang bisa kita ajukan.
KH Ahmad Dahlan serta duet KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah adalah figur-figur visioner. Mereka bisa mengambil prakarsa atas dasar keyakinan dan panggilan jiwa. Dari situlah lahir Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Dua ormas inilah yang kini menjadi perahu besar para santri. Apakah generasi baru Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mampu menangkap denyut tuntutan perubahan akar rumputnya tentang perluasan peran di bidang sosial dan ekonomi? Atau?
Seorang sejarawan terkemuka menulis, pada masa lalu, rakyat Jawa bisa menjadi warga kerajaan lain jika rajanya lalim. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa masa lalu bukan hanya terletak pada penguasaan teritori, tapi juga pada kepatuhan manusianya.
Jika rajanya lalim, mereka bisa bermigrasi ke kerajaan lain. Konversi masif manusia Jawa menjadi Muslim adalah karena orang-orang Islam yang memimpin pemberontakan terhadap penjajahan Barat.
Mereka menderita akibat penjajahan. Begitu juga konversi masif manusia Jawa ke dalam Kristen adalah setelah tragedi G30S/PKI, terutama di Jawa Tengah. Aksi balas dendam terhadap PKI oleh sebagian kalangan Islam membuat para pengikut PKI menjadi Kristen.
Kini, gejala serupa mulai bermunculan. Problem sosial ekonomi yang menimbulkan friksi politik membutuhkan respons baru dari generasi santri masa kini. Manusia Indonesia memiliki independensinya tersendiri dalam menghadapi tantangan zaman.
Mereka bisa dengan mudah menanggalkan baju lamanya begitu saja jika dianggap tak cocok lagi. Mampukah pemimpin Islam moderat memandu desakan perubahan ini dan berhenti menjadi 'buntut macan'? Bukankah sungguh tak nyaman menjadi pemadam kebakaran?