REPUBLIKA.CO.ID, Ahok-Djarot banyak menang mutlak di banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS), bahkan ada TPS yang bersuara nol untuk Anies-Sandi dan Agus-Sylvi. Sedangkan Anies-Sandi memenangkan TPS yang lebih banyak dibandingkan dengan kemenangan Ahok-Djarot. Kemenangan Ahok-Djarot yang mutlak itu di kantong-kantong Tionghoa dan Kristen/Katolik. Juga di kantong-kantong kemiskinan. Yang pertama memperlihatkan militansi karena kesamaan etnik dan agama, maka untuk yang kedua karena pilihan pragmatis. Pragmatisme itu karena faktor program pembersihan selokan, bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, dan yang menentukan karena faktor mobilisasi. Soal kesamaan etnik dan agama ini sudah teridentifikasi sejak jauh-jauh hari seperti terpantau di banyak jajak pendapat, jadi sebelum ada aksi demo-demo umat Islam terhadap Ahok. Bahkan fenomena ini sudah terekam saat Pilkada DKI 2012 ketika Jokowi-Ahok melawan Foke-Nara.
Pemilih Anies-Sandi adalah pemilih yang sejak awal tak menghendaki Ahok lagi. Pendukung awal pasangan ini sekitar 20-23 persen, namun meningkat drastis semenjak Anies-Sandi melakukan identifikasi diri sebagai pendukung Aksi Bela Islam, yang ditandai dengan kunjungan ke sejumlah ulama penggerak aksi-aksi tersebut, dan sejak berani bersikap soal reklamasi serta penggusuran. Hingga akhirnya Anies-Sandi mampu meraih suara sekitar 40 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa pasangan ini juga didukung pemilih ideologis. Sedangkan separonya lagi adalah pendukung pasangan ini karena faktor rekam jejak, pesona personal, dan hal-hal rasional lainnya seperti citra bersih dan visinya tentang pendidikan. Tentu pemilih rasional juga ada di pendukung Ahok-Djarot, karena menyukai citra bersih dan tegas serta program-program penataan lingkungan.
Lalu bagaimana format pertarungan kedua pasangan ini pada putaran kedua April nanti? Ahok-Djarot atau pendukungnya akan tetap menyerang Anies-Sandi dengan isu kebinekaan, pluralisme, NKRI, Pancasila, yang hal itu seiring dengan membangun persepsi bahwa pasangan tersebut sebagai didukung kaum radikal, Wahabi, Islam transnasional, bahkan isu Syiah. Tentu di bagian ini ada paradoks, di satu sisi radikal dan Wahabi tapi di sisi lain Syiah. Padahal keduanya saling bermusuhan. Selain itu, tokoh-tokoh Syiah juga ada di barisan PDIP, dan Syiah pun tentu transnasional juga. Sebagai catatan, mana ada aliran agama yang tidak transnasional? Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha, Islam adalah agama non-lokal dan memiliki kaitan dengan jamaah di negara-negara lain. Pengangkatan salah seorang menteri di kabinet Jokowi pun salah satunya karena sinyal dari induk agamanya.
Pasangan Anies-Sandi juga akan dicari-cari untuk isu korupsi dan kesalahannya sebagai mendikbud. Isu ini akan menjadi lebih efektif karena Ahok-Djarot adalah bagian dari kekuasaan saat ini. Sehingga isu ini akan efektif seperti ketika Sylvi dihancurkan dengan cara yang sama.
Sedangkan pasangan Anies-Sandi atau pendukungnya akan menyerang Ahok-Djarot tetap dengan menggunakan isu penodaan dan penistaan agama Islam oleh Ahok. Apalagi persidangan kasus Ahok masih belum selesai. Angka dukungan mutlak ke Ahok-Djarot oleh Tionghoa dan Kristen akan menjadi peluru baru. Ternyata yang sektarian bukan umat Islam, begitu argumennya. Bahkan ternyata mereka lebih militan dan lebih kental, namun senyap dan tak terpantau. Argumen bahwa wajar saja minoritas akan selalu terkonsolidasi juga mudah dibantah. Etnik Tionghoa di Indonesia adalah etnik nomor tiga terbesar di Indonesia, hanya di bawah Jawa dan Sunda. Pada sisi lain, etnik Tionghoa tak harus inferior karena mereka penguasa mutlak ekonomi Indonesia. Di era modern dan negara demokratis, uang lebih berkuasa dari apapun.
Apa yang diperebutkan dengan semua isu itu? Atau lebih jelasnya, suara dari segmen mana yang akan mereka tarik untuk mendukung dirinya? Ke mana para pemilih Agus-Sylvi akan berlabuh?
Perilaku pemilih itu dibedakan ke dalam tiga kelompok: emosional, rasional, dan pragmatis (termasuk pemilih alay). Pemilih emosional dibagi lagi ke dalam aspek kesamaan etnik, agama, kekerabatan, kedaerahan, maupun kelompok. Pemilih rasional mendasarkan pilihannya karena visi, kinerja, dan rekam jejak. Sedangkan pemilih pragmatis karena penggalangan dan ikut arus saja. Ada yang berpendapat bahwa pemilih pragmatis dan alay yang mendukung Agus-Sylvi sudah rontok di putaran pertama. Mereka sudah pindah ke Ahok-Djarot. Jika pun masih ada, hanya menyisakan sangat sedikit saja. Sedangkan pemilih emosional, hanya menyisakan sedikit pemilih Tionghoa dan Kristen/Katolik yang mendukung Agus-Sylvi yang kemungkinan besar akan mengalihkan dukungannya ke Ahok-Djarot. Sisanya, yang jauh lebih besar, akan memberikan dukunganya ke Anies-Sandi.
Kampanye Agus-Sylvi yang tak banyak menggunakan simbol-simbol agama secara terbuka memperlihatkan bahwa pemilih ini secara emosional dan kekentalan masih ada peluang untuk ditarik ke Ahok-Djarot. Pada titik inilah, mereka akan menggunakan isu radikalisme, NKRI, kebinekaan, dan pluralisme secara lebih maksimal. Namun serangan dahsyat, kasar, dan bertubi-tubi yang dilakukan tim Ahok-Djarot terhadap Agus-Sylvi dan SBY telah membuat luka yang cukup dalam dan perih pada mereka. Tentu bukan sesuatu yang gampang untuk diobati. Inilah tantangannya. Karena itu, Ahok-Djarot akan berusaha menggerogoti pemilih Anies-Sandi, terutama yang rasional dan akar rumput. Untuk yang rasional akan digempur dengan isu radikalisme, NKRI, kebinekaan, pluralisme, dan korupsi, sedangkan yang akar rumput akan digempur dengan cara door to door melalui pendekatan pragmatis.
Pada sisi lain, Anies juga akan mengambil suara dari pemilih Ahok-Djarot pada putaran pertama, terutama pemilih pragmatis dan alay. Mereka tentu tak bisa menggunakan pendekatan logisltik, karena pasti tak akan mampu menandinginya. Satu-satunya cara adalah melalui pendekatan emosional dan edukasi. Butuh kerja keras tersendiri.
Putaran kedua ini akan berlangsung sangat keras dan ketat karena selisihnya yang sekitar 2 persen saja. Upaya memasukkan pemilih tak terdaftar dan tak memiliki kartu keluarga akan menjadi titik panas tersendiri. KPU dan pendukung Ahok-Djarot sudah berbicara soal pemilih jenis ini. Kita tak bisa berharap banyak pada KPU dan Bawaslu. Mereka akan mencari aman dan mencari nyaman. Maka tekanan publik akan menjadi senjata andalan. Pada titik inilah yang sangat berbahaya. Pada putaran pertama saja sudah muncul percikan-percikan api akibat masalah ini.
Hawa panas itu juga muncul pada level wacana. Akan terjadi duel idelogis. Reklamasi vs anti reklamasi. Penista agama vs anti pluralisme. Kapitalisme vs keadilan ekonomi. Formalisme hukum vs kemanusiaan. Pilkada DKI ini bukan hanya pertarungan basis sosial tapi juga pertarungan gagasan dalam mengelola pemerintahan. Sebetulnya ini sangat sehat. Pertarungan gagasan tanpa sambungan ke pengelompokan sosial adalah kosong belaka, tak mengakar, dan elitis. Namun nyambungnya pertarungan wacana dengan basis sosial menimbulkan kerawanan tersendiri. Untuk itu kita membutuhkan kejujuran, fairness, dan netralistas birokrasi dan pejabat negara. Juga berikan ruang wacana di media massa; ada kebebasan dan independensi. Di situlah indahnya demokrasi.
Jika proses politik ini dibiarkan tanpa intervensi maka Indonesia yang sehat, maju, dan sejahtera serta demokratis dan berkeadilan akan tercapai. Itulah yang dicita-citakan para founding fathers sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Berdemokrasi butuh kesabaran, kejujuran, fairness, dan sikap bijak.