Sabtu 24 Jun 2017 06:00 WIB

Berpisah denganmu

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Saya tahu, perpisahan ini harus terjadi, walau hati tak menginginkan. Meski rindu masih memberati.

“Saya akan kembali,” janjimu, persis seperti tahun-tahun lalu.

Saya tahu, selama ini dia selalu menepati. Rutin kembali  dan mengisi perasaan kehilangan, setelah menjalani hari-hari  tanpanya.

“Kamu, harus.”

Ucap saya dengan bibir gemetar.

Allah, saya tak siap berpisah. Saya kira, orang lain bisa memahami beban perasaan saat harus melepas dia yang dicintai. Saat tak lagi menghabiskan waktu dengan keberadaannya di sisi. Tersentak menemukan tangan kita yang terus melambai meski sosoknya telah lenyap dari pandangan mata.

Hari-hari setelahnya adalah perasaan hampa. Memandangi jari jemari yang selama beberapa waktu pernah menggenggamnya.

“Insya allah.” Ujarmu dengan senyum, “saya akan kembali.”

Dari interaksi kami sebelumnya saya tahu, percuma bersikeras memintanya tinggal. Sia-sia memohon agar dia tak beranjak. Ketegasan sikapnya untuk pergi tidak mungkin  goyah. Tidak peduli seberapa erat usaha saya mendekapnya. Atau seberapa deras air mata yang tumpah.

Perpisahan, salah satu momen paling mendung dalam hidup.

Dulu saya mengira, hanya anak-anak yang akan sangat terbebani sebuah perpisahan. Saat melepas ayah atau bunda yang setiap pagi harus bekerja. Ketika mainan kesayangan rusak. Atau mendadak kehilangan kucing lucu yang menjadi teman sehari-hari.

Tetapi jenjang usia telah mengantar saya pada pemahaman berbeda. Akibat yang harus ditanggung sebuah perpisahan tak menjadi lebih ringan, sebaliknya justru kian menyakitkan memasuki dunia  remaja.

Luka ketika cinta bertepuk sebelah tangan, dan terpaksa berpisah bahkan sebelum berbagi kenangan. Perih sebab kekasih mengucapkan selamat tinggal. Atau duka yang tergores menyaksikan ayah bunda memutuskan bercerai.

Berpisah selalu menggoreskan nyeri. Menyadari jarak yang kini terbentang dengan dia yang kamu cinta, terlepas apa yang menjadi  penyebabnya.

Mustahil mengharapkan perpisahan akan berlalu dengan damai tanpa rasa sesak. Tidak selama jantung masih berdetak. Bagi saya, termasuk perpisahan rutin dengannya ini.

Ah, tidak bolehkah saya mengenyam lebih banyak hari bersamamu?

Pertanyaan itu kembali digemakan batin. Sungguh, saya tahu tidak seperti kasus-kasus lain, saya dan banyak orang masih beruntung, sebab meski telah berkali-kali terjarak, berkali-kali pula kami akan kembali berjumpa.

Bukan soal berapa lama bersamanya. Pikir saya menghibur diri. Yang terpenting, bagaimana saya menikmati dan memanfaatkan setiap detik yang kami lewati.

Seharusnya saya lebih bersyukur. Namun begitu perpisahan kami membayang di depan mata, kepanikan kembali menghinggapi.

Saya mohon, jangan pergi. Jangan tinggalkan saya sekarang. Saya belum siap. Tunggulah sekejap saja lagi….

Kedua tangan saya meraihnya. Seperti bisa diduga dia tidak bergeming.

“Sampai jumpa tahun depan.” Tegasnya.

Biasanya saya menerima saja jawabannya. Berjuang meneguhkan hati, meski batin terguncang hebat, walau  rinai pecah. Kali ini saya tak yakin akan cukup kuat melepasnya.

Dia tersenyum mencoba mengalirkan ketenangan.

“Kita sudah bersama hampir sebulan ini, saya pasti kembali.”

Detik-detik kepergiannya kian dekat. Dia tampak bersiap.

Allah, belum, saya belum sanggup mengantarnya pergi.

Sepasang tangan berusaha menggapainya. Kedua kaki saya tertatih mengejar, seiring langkahnya yang pelan tapi pasti berlalu.

Seperti anak kecil saya mulai merengek memintanya tinggal, sebentar lagi saja. Jawabannya tak berubah. Seharusnya saya tenang. Saya tahu dia akan kembali. Tak sedikit pun saya meragukan janji yang selama ini selalu dia tepati.

“Tinggallah sebentar lagi, Ramadhan.”

Serupa rintihan suara saya kali ini, hanya berbalaskan lengang.

Dia sungguh-sungguh telah pergi. Persoalannya, ketika dia kembali nanti, apakah saya masih di sini?


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement