Sabtu 01 Jul 2017 06:00 WIB

Pelajaran 'Kecil' dari Mami

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Saya tidak tahu apakah   cukup syukur saya kepada Allah, sebab Dia telah menitipkan saya ke rahim perempuan yang mewariskan begitu banyak pelajaran. Bersama dua saudara lain, kami memanggilnya Mami.  Sosok keturunan Tionghoa yang memutuskan menjadi mualaf sebelum menikah dengan Papa, agar anak-anaknya kelak tumbuh dalam satu arahan, punya satu tujuan.

   

“Hidup sudah banyak tantangan, tidak perlu ditambah dengan beda keyakinan dalam satu keluarga.”

   

Prinsip beliau yang semasa remaja dan menjelang dewasa kemudian saya garis bawahi. Tapi bukan hanya itu yang saya pelajari dari Mami. Perempuan sederhana yang ringan tangan dan siap membantu siapa saja, meski dulu besar dari keluarga berada, juga mengajari kami pentingnya belajar. Tidak peduli kerepotan di dapur, beliau tidak akan mengusik anak-anaknya yang dilihatnya sedang membaca buku. Kehidupan kami dahulu miskin, namun mami percaya pendidikan bisa mengangkat masa depan anak-anaknya dari keprihatinan hidup.

   

“Mbak Asma dulu tinggal di samping rel kereta api, makan pun susah, sakit-sakitan pula, tetapi kenapa tumbuh percaya diri dan menjadi pribadi yang riang?”

   

Pertanyaan senada di kemudian hari saya jumpai dalam beberapa pertemuan dengan media, pertanyaan serupa juga diungkapkan Raef,  musisi muslim yang tinggal di Washington dan suatu hari berkunjung ke rumah terkait satu acara.

   

“Dari mana semua sikap positif itu?”

Jawabannya: Mami.

Bagi saya pertolongan Allah saya kecap lewat banyak hal tapi salah satunya melalui kehadiran Mami. Lewat perempuan yang terbilang cengeng dan mudah meneteskan air mata setiap melihat kesulitan orang lain, namun luput mengeluh untuk masalahnya sendiri, saya ditempa untuk selalu bersikap positif.

   

Mami yang tabah, tidak pernah mengeluh di depan anak-anaknya. Mami yang mengajak kami hidup prihatin namun di sisi lain memberikan suntikan semangat hingga ketiga anaknya memiliki keberanian menggenggam cita-cita.

   

Dan lebaran kemarin, saya menyaksikan sebuah pelajaran lain, meski sebenarnya sesuatu yang tidak asing di mata kami dan mereka yang mengenal Mami. Tekad perempuan berusia hampir tujuh puluh tahun itu dalam menjaga silaturahim. Kenyataan tubuhnya semakin ringkih dan kakinya mulai sulit berjalan, tidak menyurutkan langkah Mami.

   

Tidak hanya beliau masih menjaga hubungan dengan teman dan guru semasa sekolah dasar, juga semua kenalan yang singgah dalam kehidupannya. Mami mengingat nama mereka, alamat, nama saudara, orang tua, bahkan sepupu, juga mencatat setiap kebaikan yang pernah diterimanya.

   

Sedikitnya setahun sekali Mami  mengunjungi daerah tempat kami sepuluh hingga tiga empat puluh tahun lalu mengontrak.  Di antaranya di daerah  Gang Mantri,  Kebon Kosong Gang 8, lalu Kebon Kosong Gang 1, dll. Agenda silaturahim baru berhenti setelah tak ada lagi wajah yang diakrabi  Mami di sana, sebab berpindah rumah.

   

Setelah saya dalami, salah satu yang menggerakkan Mami rajin bersilaturahim adalah rasa syukur dan terima kasih.

“Dokter Adri pernah merawat Eron yang tipus (adik kami-red), hampir sebulan setiap hari ke rumah, dan tidak mau menerima imbalan apa-apa.”

   

“Tante Nita dan Tante Yus  dulu sering memberi bantuan untuk kita.”

“Anak-anak Mami nggak boleh lupa sama Tante Irene dan..."

         

Tante Merry, Vero, Lien Pin, Lina Lin...

Masih banyak nama lain yang kemudian benar-benar tertanam di benak kami, saking seringnya diulang Mami. Belum termasuk deret keluarga besar yang meninggalkan jejak kebaikan.

   

Sehari setelah Iedul Fitri, saya menemani Mami menelusuri Kemayoran, dari Kebon Kosong Gang 1 sampai Pasar Nangka. Napak tilas melewati SD Kartini II tempat saya dulu belajar.

   

Silaturahim memperpanjang usia, juga membuahkan rejeki. Amal kebaikan yang diutamakan dalam Islam. Silaturahim mendinginkan hati, pertemuan meredakan kemarahan dan menggerakkan kita untuk lebih mudah memaafkan. Hikmahnya bagi saya dan dua saudara yang sering mendampingi Mami, terasa di depan mata. Termasuk membukitnya rasa syukur.

   

Sebagian dari yang kami kunjungi, ada yang sudah tidak bisa lagi ditemui sebab telah berpulang ke hadirat Allah. Ada yang sakit keras,   kehilangan pengelihatan, atau tak mampu lagi berjalan, ada yang dulu hidup mapan namun kini berjuang bahkan untuk makan sehari-hari.

   

“Mami bahagia, sedikit-sedikit sekarang bisa membantu, sebab mami dulu yang susah, sering ditolong orang.”

Alhamdulillah.

   

Lebaran hari kedua, langit sudah memerah ketika kami menaiki kendaraan yang tak lama bergerak perlahan meninggalkan Kemayoran. Di sisi, mami menggenggam tangan saya erat seraya membisikkan beberapa patah,

“Kita harus lebih banyak bersyukur.”

Saya mengangguk. Mami menghela napas, sebelum kembali mengulang kalimatnya,

“Kita harus lebih banyak bersyukur.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

The Best Mobile Banking

1 of 2
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement