REPUBLIKA.CO.ID, Jika Swiss, Vatikan, Afghanistan, Austria, Nepal, Ceko, Laos, Liechtenstein, Luxembourg, Hongaria dan negara landlocked lainnya harus mengimpor garam, sangat masuk akal. Negara-negara tersebut tidak memiliki pantai. Wilayah mereka dikelilingi daratan.
Tapi jika Indonesia yang menyimpan lebih dari 17 ribu pulau dan semua dikelilingi lautan, harus mengimpor garam, bukankah ini menjadi pertanyaan?
Indonesia mempunyai panjang pantai 54.716 kilometer dan menempatkannya sebagai negara dengan pantai terpanjang di dunia urutan kedua setelah Kanada yang mempunyai garis pantai 202.080 kilometer.
Akan tetapi, hasil garamnya terpuruk di bawah negara-negara dengan garis pantai jauh lebih pendek. Setiap tahun Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5 sampai 2 juta ton garam.
Bandingkan dengan Ukraina yang memiliki garis pantai sepanjang 2.782 kilometer saja atau nyaris seperduapuluh dari panjang pantai Indonesia. Mereka bisa menghasilkan garam sebanyak 6 juta ton atau tiga kali lipat dari Indonesia.
Jerman yang garis pantainya 2.389 km, sanggup menghasilkan 12,5 juta ton per tahun. Padahal panjang pantai Indonesia 22 kali lipat dari negeri produsen teknologi tinggi tersebut.
Brazil dengan panjang pantai 7.491 km dapat memproduksi 7,5 juta ton garam. Sementara 9.330 kilometer garis pantai yang menghiasi Mexico membuahkan 10,5 juta ton garam. Chile dengan panjang pantai 6.435 kilometer pun menghasilkan 11 juta ton garam. Garis pantai mereka jauh di bawah Indonesia, tapi memproduksi garam berlipat lebih banyak.
India bisa menghasilkan 19 juta ton garam, meski pantainya 7.000 kilometer saja. Amerika bahkan sanggup menghasilkan 42 juta ton garam atau 21 kali lipat lebih banyak dari Indonesia sekalipun garis pantainya hanya 19.924 kilometer atau sepertiga Indonesia.
Persoalan di atas lebih mudah diterima jika saja bangsa kita bukan pengkonsumsi garam. Seperti Kanada yang menghasilkan 10 juta ton per tahun, terbilang kecil dibanding panjang pantainya, tapi jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Sedangkan bangsa Indonesia termasuk penggemar makanan asin. Sebut telur asin, ikan asin, dan berbagai makanan tidak lengkap jika belum dibubuhi garam.
Semakin terasa janggal. Kita punya sumber daya melimpah, sekaligus kebutuhan tinggi hingga 3,3 juta ton garam yang anehnya tidak tercukupi. Akibatnya setiap tahun pemerintah harus mengimpor.
Tahun ini kita mengimpor garam dari Australia yang mempunyai garis pantai setengah dari Indonesia, alias 25.760 kilometer, namun menghasilkan garam 5 kali lebih banyak atau sekitar 12 juta ton.
Dua tahun lalu lebih parah. Kita bahkan mengimpor garam dari Singapura yang mempunyai panjang pantai hanya 193 kilometer saja. Indonesia yang memiliki pantai 280 kali lipat lebih panjang mengimpor dari Singapura yang wilayahnya hanya sebesar salah satu pulau kecil di tanah air. Miris.
Pemberitaan menyebutkan salah satu kelangkaan garam tahun ini disebabkan curah hujan. Garam yang dijemur tidak mengkristal karena tersiram hujan.
Benarkah? Excuse atau dalih membuat kita punya pembenaran atas kelalaian, membuat kita nyaman dalam kegagalan. Dalam kasus ini, kehilangan motivasi untuk bangkit walau sembilan belas tahun sudah berlalu sejak pertama pemerintah memutuskan mengimpor garam. Terlalu lama.
Perhatikan negera penghasil garam di atas, terutama yang berasal dari Eropa. Sebagian besar bahkan tidak punya cukup matahari untuk menjemur garam, tapi mahir menghasilkan garam begitu banyak, dengan memanfaatkan teknologi.
Industri garam yang merosot, bukan salah matahari, bukan salah hujan, bukan pula salah awan. Tapi salah urus. Padahal potensi Indonesia sangat besar. Selalu saja masalahnya miss management. Sebagaimana pepatah, ayam mati di lumbung padi, inilah yang terjadi.
Visi bangsa, di situ letak masalah utama.
Persoalan garam hanya akan selesai jika semua anak bangsa, pemerintah, pengusaha, wakil rakyat, dan professional duduk bersama, menetapkan visi ke depan menuju industri garam berkesinambungan yang bisa diandalkan tanpa mengenal cuaca.