REPUBLIKA.CO.ID, Entah kenapa serangan teror di Barcelona 17 Agustus 2017, mengingatkan saya pada lagu Bon Jovi, You Give Love a Bad Name. Hanya saja istilah cinta dalam judul lagu tersebut diganti kata lain.
Ketika seorang muslim melakukan kejahatan terorisme, maka tidak hanya dirinya yang menjadi cacian dan hujatan, tapi juga Islam. Terlebih jika para pelaku menganggap aksinya berlandaskan agama.
Pemahaman mereka yang bergeser dari kebenaran, dangkalnya pikiran hingga menjurus pada kesesatan, justru membuat citra Islam terus tergerus.
You Give Islam a Bad Name.
Jika ada satu atau dua kejadian, orang bisa menganggap kebetulan. Akan tetapi ketika aksi teror terjadi berkali-kali dan dilakukan muslim, otomatis akan tertanam citra Islam yang buruk di mata dunia.
You Give Muslim a Bad Name.
Sebut saja tersangka pelaku serangan 11 September 2001 yang menelan korban hingga 3.000 orang dan mengakibatkan kerusakan fatal. Sebanyak 19 tersangka semua muslim berkebangsaan Arab, 16 orang berasal dari Saudi Arabia, seorang dari Mesir, Lebanon dan Uni Emirat Arab.
Lalu Bom Bali 12 Oktober 2002 yang memakan korban meninggal 202 orang dan 209 luka-luka juga dilakukan Muslim yang dipercaya sebagai anggota jaringan Jamaah Islamiyah.
Berselang hampir dua tahun setelahnya pada 11 Maret 2004 terjadi serangan bom di komuter kereta di Madrid Spanyol yang menewaskan 192 orang dan melukai 2.000 orang. Terang-terangan diklaim oleh juru bicara Al Qaeda di Eropa sebagai aksinya.
Masih tahun yang sama, di Belanda seniman Theo van Gogh yang dianggap menghina Islam dibunuh oleh Mohammed Bouyeri.
Lalu pada 7 Januari 2015, dua kakak beradik Saïd Kouachi dan Chérif Kouachi, muslim keturunan Aljazair, bersenjata menyerang kantor Charlie Hebdo di Perancis dan membunuh 12 staf yang sedang bekerja di lokasi. Selama menyerang penduduk sipil tak bersenjata, mereka berteriak, “Allahu Akbar.”
You Give Allah a Bad Name. Kali ini nama Allah yang terimbas citra buruk.
Pada 14 Juli 2016, Mohamed Lahouaiej-Bouhlel, seorang muslim keturunan Tunisia, menabrakkan truk kontainer ke kerumunan massa yang sedang merayakan Bastille Day. Sebanyak 86 nyawa melayang dan 458 warga terluka.
Perhatikan namanya! Dimulai dengan Muhammad. Pelaku 11 September, empat orang di antaranya bernama Muhammad atau Ahmad. Pelaku Bom Bali pun demikian bernama Ahmad, Muhammad, juga nama-nama berunsur islami. You give Muhammad a bad name. Nama Muhammad yang seharusnya terpuji, kini dicemarkan.
Branding adalah modal utama dakwah. Salah satu hal yang mempermudah Rasulullah berdakwah karena beliau SAW sudah mempunyai brand sebagai sosok jujur dan amanah. Sehingga ketika menyampaikan dakwah, sebab mereka percaya, mereka menerima, sedangkan yang menolak memang sudah tertutup hatinya.
Kini brand Islam telah dirusak, nama Muhammad dicemarkan, citra nama Allah dinodai. Semakin sering ini terjadi, semakin sulit dunia melihat Islam sebagai ajaran kebaikan.
Branding memang tidak selalu sama dengan kenyataan. Umat Islam yang baik jauh lebih banyak, umat yang cinta damai berjumlah miliaran. Tapi karena segelintir orang yang berperilaku seenaknya menebar teror dan merasa hanya dirinya yang benar keislamannya, maka citra Islam menjadi buruk.
Ini membentuk kesadaran yang kemudian menjadi misi tersendiri setiap kali Allah memberi kesempatan bagi saya menjelajah bumi-Nya.
Alhamdulillah, sejauh ini Dia telah memperjalankan saya ke lebih dari 60 negara dan menghadiri puluhan pertemuan internasional. Salah satu yang menjadi catatan adalah pentingnya menjaga sikap, memberikan citra baik terkait Islam kepada mereka yang belum paham. Menjadi sosok muslim yang ramah, akrab dan terbuka. Muslimah yang tegas menolak minuman keras saat disodorkan, tapi tetap bisa berteman dengan siapa saja.
Beberapa rekan penulis yang belum mengenal Islam tak jarang memberi respons positif.
“Oh, perempuan berjilbab tidak harus kaku, ya.”
“Aku kira wanita Muslim terkekang, tapi ternyata bisa melakukan banyak hal.”
“Sebelum mengenalmu, saya kira perempuan muslim tidak mungkin bahagia.”
Saya berharap dengan demikian suatu ketika jika ada yang mengatakan bahwa muslim itu kasar, picik, dan lain-lain, semoga mereka akan menampik,
“Jangan menyamaratakan.”
Atau, “Teman saya muslimah berjilbab, baik dan ramah.”
Bukan perkara mudah. Sebagai muslimah, saya pun menemukan tantangan saat di negeri orang.
Di Korea ketika sedang menyusuri sisi sungai Han, seorang ibu tua berteriak sambil menunjuk-nunjuk.
“Teroris… teroris…!”
Ketika saya mendekat untuk menjelaskan, ia menghindar.
Di Brazil sewaktu saya bermaksud menanyakan lokasi subway terdekat, seorang nenek langsung lari ketakutan bahkan sebelum saya sempat membuka mulut. Barangkali dia terpapar berita-berita buruk, hingga semua muslim berbahaya di matanya.
Nampaknya tugas kita masih panjang.
Semoga pekerjaan rumah ini disadari berbagai pihak hingga kian banyak Muslim berjuang memanfaatkan kesempatan yang ada, untuk berkontribusi memperbaiki citra Islam, dan sebaliknya semakin sedikit yang mencoba merusak Islam dengan akhlak buruk dan aksi kekerasan.
Let’s give Islam a good name.
Mari bersama menjaga kebaikan yang terpancar dari nama-Nya juga Rasul-Nya, agar senantiasa indah bercahaya di mata dunia.