REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Satu dasawarsa berlalu sejak Bali Democracy Forum (BDF). Pertama kali diselenggarakan pada 2008, BDF memainkan peran penting dalam berbagi pengalaman terbaik tentang demokrasi khususnya di antara negara yang akan dan sedang mengalami transisi menuju demokrasi atau sedang mengkonsolidasikan demokrasinya.
Tak ragu lagi, BDF merupakan bagian sangat penting diplomasi publik Indonesia di tingkat internasional. Kenyataan demokrasi bisa tumbuh dan menguat di Indonesia —negara Muslim terbesar di dunia— menunjukkan demokrasi kompatibel dengan Islam. Banyak negara Muslim di Asia Selatan, Asia Barat, Timur Tengah, dan Afrika masih bergulat dengan isu ini: apakah demokrasi bisa diterima Islam atau tidak.
Demokrasi Indonesia sendiri belum terkonsolidasi sepenuhnya. Masih banyak kelemahan yang perlu diatasi sejak dari masih merajalelanya korupsi di kalangan politisi, makin meluasnya politik uang yang membuat proses demokrasi kian mahal sampai terus bertahannya oligarki elite partai politik.
Meski demikian, demokrasi Indonesia tetap saja menjadi contoh keberhasilan penumbuhan demokrasi dalam negara mayoritas Muslim. Meski demokrasi Indonesia juga sering riuh rendah dan kelihatan sedikit kacau, negara ini berhasil menjaga stabilitas politik.
Hasilnya, Indonesia berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi, yang membantu penguatan demokrasi. Para pakar sepakat: “Tidak ada demokrasi jika massa rakyat lapar”. Kelaparan karena kemiskinan dan pengangguran adalah salah satu hambatan konsolidasi demokrasi.
Dalam konteks itu, pengalaman Indonesia berbagi pengalaman terbaik dalam demokrasi melalui BDF sangat menarik dan penting bagi banyak negara lain, khususnya negara-negara Muslim. Dengan begitu mereka dapat berharap sukses pula dalam konsolidasi demokrasi masing-masing.
Tunisia adalah salah satu negara Arab di wilayah Maghribi atau Afrika Utara yang pertama kali dilanda gelombang demokrasi pada Desember 2011. Revolusi massa yang mengusung aspirasi demokrasi berhasil menumbangkan kekuasaan otoriter dan korup Presiden Ben Ali yang berkuasa lebih dua dasawarsa.
Dengan segera gelombang demokrasi menyebar ke berbagai negara Arab lain: Libya, Mesir, Yaman, dan Suriah. Berhasil menumbangkan rezim-rezim otoriter, gelombang demokrasi itu kemudian disebut sebagai ‘Arab Spring’ (Musim Semi Arab).
Tetapi kini setelah enam tahun, demokrasi di negara-negara Arab bukan kian terkonsolidasi. Sebaliknya. mengalami langkah mundur dengan berlanjutnya konflik dan perang yang memberikan peluang besar kembalinya otoritarianisme militer atau sipil ke panggung kekuasaan. Karena itu banyak ahli dan pengamat menyebut perkembangan ini sebagai ‘Arab Autumn’ (Musim Gugur Arab).
Tetapi Tunisia dipandang banyak ahli sebagai ‘pengecualian’. Para ahli mengklaim Tunisia sebagai satu-satunya harapan bagi menguatnya demokrasi di Dunia Arab. Negara-negara Arab lain mereka pandang sebagai sudah ‘tidak memberi harapan’ bagi tumbuhnya demokrasi.
Tunisia serius memperkuat demokrasinya. Untuk itu, bersama Kemlu RI, Pemerintah Tunisia membentuk BDF Tunis Chapter. Tujuan pembentukan BDF Tunis Chapter ini antara lain: Pertama, menjadi forum berbagi pengalaman yang efektif untuk dialog dan promosi demokrasi yang bertumbuh dari dalam negeri sendiri tidak hanya di Tunisia, tetapi juga di kawasan Afrika Utara lain; kedua, memberi kontribusi bagi pendewasaan demokrasi dan stabilitas di kawasan Afrika Utara.
Untuk menandai pembukaan BDF Tunis Chapter itu, Kemlu RI bersama Kemlu Tunisia dan Tunisian Institute for Strategic Studies menyelenggarakan konferensi bertajuk ''Home-grown Democracy: The North African Experience''. Konperensi yang dibuka dengan keynote speech Menlu RI Retno LP Marsudi menghadirkan pembicara dari Indonesia —termasuk penulis Resonansi ini— dan dari Tunisia, Maroko, dan Aljazair.
Dalam pembicaraan terungkap, ada optimisme kuat demokrasi dapat terus bertumbuh di Tunisia. Power sharing antara Partai an-Nahdah pimpinan Rasyid Gannouchi dan partai-partai lain menghasilkan pemerintah koalisi nasional yang diharapkan mampu mewujudkan stabilitas politik.
Tetapi juga jelas, tantangan serius—terutama ekonomi—juga dihadapi Tunisia dalam penguatan demokrasinya. Ekonomi Tunisia masih belum bangkit; laju pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir kurang dari satu persen. Kemiskinan dan pengangguran meningkat, sementara parawisata—sumber pokok pemasukan Tunisia—belum pulih.
Di sinilah perlu kesabaran warga Tunisia diuji. Pemerintah pun diharapkan bekerja lebih baik. Sekali lagi, demokrasi hanya bisa tumbuh dan kuat jika rakyat tidak kelaparan.