Sabtu 06 Oct 2018 08:53 WIB

Gempa, Tsunami, Likuifaksi, dan Revolusi Kurikulum

Pengetahuan gempa berdampak dalam meminimalisasi jumlah korban bencana

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Bencana gempa yang terjadi di Sulawesi Tengah tidak hanya meninggalkan jejak duka mendalam, tetapi sekaligus seharusnya mengingatkan kita kembali betapa materi atau kurikulum pendidikan harus direvolusi, berubah orientasi dari pengetahuan yang sebagian tidak jelas tujuannya menjadi pengajaran ilmu aplikatif, dan jelas manfaatnya dalam kehidupan.

Ungkapan saya mungkin terdengar lancang, tapi bukan tanpa alasan. Indonesia membutuhkan perubahan sesegera mungkin dan tidak boleh ditunda terkait pendidikan.

Sebelum membahas lebih lanjut, izinkan saya kembali pada memori tsunami di Aceh. Saat itu, menurut cerita suami yang bertugas di sana, seorang jurnalis dari stasiun televisi NHK Jepang yang ditemui menyimpulkan betapa sebagian besar masyarakat Aceh sama sekali tidak tahu apa pun tentang tsunami. Sebagian lagi bahkan baru pertama kali dalam hidup mendengar istilah tsunami.

Ironis sebab mereka harus menjadi korban dahulu sebelum memahami fenomena alam yang dahsyat tersebut. Suami sendiri menemukan tulisan berbeda-beda di banyak tenda. Ada yang menulis korban sunami, korban stunami, dan banyak salah eja lain.

Seharusnya, pendidikan di Tanah Air sudah mengajarkan dan menyosialisasikan hal ini sedini mungkin. Saya ingat, sejak kecil tahu bahwa Jepang merupakan negara yang sering diserang gempa. Pendapat saya dengan segera terkoreksi obrolan suami dan si jurnalis. Menurut dia, gempa di Indonesia jauh lebih sering daripada di Negeri Sakura.

Artinya, Jepang lebih peduli dan paham pengetahuan apa saja yang dibutuhkan para pelajar. Sedangkan pembuat kurikulum di Indonesia malas atau takut mengubah kurikulum, menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan dan membuang yang tidak penting. Padahal, jika bencana alam menjadi bagian dari kurikulum wajib, insya allah akan lebih banyak jiwa terselamatkan.

Terbukti, ketika terjadi tsunami di Serambi Makkah, ternyata jumlah korban di daerah sana tidak sama. Sabang contohnya, termasuk yang relatif sedikit. Salah satu sebab jumlah korban lebih minim, yaitu sewaktu air laut tiba-tiba menyurut, ratusan ikan menggelepar di sepanjang pantai, membuat penduduk berhamburan memunguti. Namun, seorang tetua cepat-cepat mengingatkan, “Hati-hati, kalau air laut surut tiba-tiba, nanti akan datang gelombang besar.”

Peringatan itu mengembalikan penduduk ke daratan. Ditambah kontur tanah di pulau, tempat dataran tinggi tidak jauh dari pantai sehingga lebih banyak yang selamat. Hal sebaliknya terjadi di Banda Aceh, ketika air laut di pantai mendadak surut dan ikan berserakan dalam jumlah tak terbilang, tidak ada yang mengingatkan bahaya tsunami.

Akibatnya, ribuan orang terempas ombak keras. Kejadian semakin buruk ditambah kondisi tanah di Banda Aceh yang datar. Seandainya informasi dan pengetahuan di atas diajarkan sejak SD atau SMP mungkin ceritanya berbeda. Stasiun TV NHK juga meliput Pulau Simeulue yang posisinya jauh lebih dekat dari pusat gempa, tapi korban tsunaminya pun relatif sedikit. Menurut berita, ada tetua yang turut mengingatkan hal serupa.

Ketika suami meliput gempa di Yogya, dan berkesempatan bertemu jurnalis lain dari Negeri Matahari Terbit, ia menemukan penyebab banyak rumah ambruk karena sudut dindingnya hanya dibuat dari tumpukan bata silang tanpa besi penyangga. Konstruksi yang sama sekali tidak disiapkan untuk mampu menahan guncangan keras.

Beberapa ilustrasi di atas menjadi bukti betapa pengetahuan, bisa mengurangi jumlah korban.

Setelah apa yang terjadi di Aceh masyarakat Indonesia baru berkenalan dengan tsunami, dan pemerintah mulai serius menyiapkan langkah-langkah antisipasinya, meski belum maksimal.

Akan tetapi, gempa di Sulawesi Tengah memopulerkan kata baru, likuefaksi tanah atau pencairan tanah menjadi lumpur. Ini fenomena yang tidak banyak diketahui masyarakat.

Dan kini sekali lagi terjadi, masyarakat harus menjadi korban lebih dulu sebelum sekadar mengetahui istilah tersebut. Walau dampak likuefaksi tidak separah tsunami, tapi ketidaktahuan atas ancaman yang berpotensi menyerang dan merenggut nyawa, sangat penting.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement