REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ihwanul Kiram Mashuri
Jarak Amerika Serikat (AS) dengan Iran--dihitung secara garis lurus antara pusat geografis kedua negara--11.665 km (kilometer). Sedangkan bila ditempuh dengan maskapai penerbangan, misalnya, dengan kecepatan rata-rata 900 km per jam, akan dibutuhkan waktu 12 jam 57 menit. Jika dengan kecepatan 500 km per jam akan perlu waktu tempuh 23 jam 19 menit.
Artinya, jarak AS dengan Iran sangat jauh, melintasi lautan, samudra, bahkan benua. Namun, mengapa Presiden AS Donald Trump ingin memiting pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei dan Presiden Hassan Rouhani? Adakah AS mempunyai kepentingan langsung dengan Iran? Misalnya kekhawatiran rudal Iran bisa menjangkau wilayah Amerika?
Memiting, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna mengapit atau menjepit dengan kaki atau lengan. Dalam dunia gulat, apitan atau jepitan itu tidak akan dilepaskan seorang pegulat hingga lawannya menyatakan menyerah kalah.
Upaya Presiden Trump memiting Iran dimulai pada 2018, setahun setelah ia bersinggasana di Gedung Putih. Yakni, ketika ia secara sepihak memutuskan menarik diri dari penjanjian nuklir Iran.
Perjanjian yang dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) disepakati pada masa Presiden Barack Obama pada 2015, antara Iran dengan Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, dan Cina.
Konsekuensi dari perjanjian itu adalah pencabutan sanksi-sanksi terhadap Iran, dengan catatan negara itu tidak boleh mengembangkan senjata nuklir, dengan pengawasan PBB.
Namun, Presiden Trump tampaknya tak puas dengan pernjanjian yang telah ditandatangani pendahulunya itu. Ia menilai, perjanjian itu bukanlah pitingan kuat untuk melemahkan, dan apalagi, melumpuhkan Iran. Sebaliknya, ia menganggap Iran kini justru makin kuat.
Dengan pembatalan secara sepihak penjanjian itu, berikut sanksi-sanksi baru AS terhadap Iran, maka secara praktis akan memaksa negara-negara lain turut mengembargo negara Imam Khamenei tersebut. Bila ada ‘negara lain’ yang mbalelo, maka mereka juga akan kena sanksi dari Trump.
Pembatalan perjanjian nuklir Iran itu pun diikuti dengan penambahan kekuatan militer AS di Timur Tengah. Tujuannya, antara lain untuk mengawasi gerak-gerik Iran dan negara-negara lain yang masih menjalin kerja sama dengannya. Namun, Iran tentu bukan negara cemen yang gampang tunduk kepada kemauan pihak lain, kendati itu Amerika, yang dianggap banyak pihak sebagai sheriff dunia. Ia punya harga diri, kehormatan, dan kedaulatan sebagai negara merdeka.
Itu sebabnya Iran tidak segan-segan menembak jatuh drone militer AS dengan rudal darat-udara pada 20 Juni lalu. Pesawat tanpa awak itu merupakan drone pengintai militer AS bernama Global Hawk, yang mampu terbang hingga ketinggian 18.300 meter. Perang kata-kata pun terjadi. Pihak AS menyatakan drone itu terbang di atas perairan internasional. Iran menegaskan, drone itu telah melanggar wilayah udara mereka.
Presiden Trump pun memerintahkan serangan balasan terhadap beberapa sasaran militer Iran. Namun, ia membatalkan perintahnya itu 10 menit sebelum serangan dilancarkan. Ia mengatakan, jumlah korban jiwa yang diakibatkan serangan itu akan tidak sebanding dengan penembakan drone militer AS oleh Iran.
Meskipun serangan balasan batal, Trump mengingatkan agar para pemimpin Iran tidak main-main dengan AS. Ia menyatakan bila konflik dua negara terjadi, maka akan jatuh korban jiwa yang sangat banyak di pihak Iran.
Lalu mengapa Trump ingin memiting Iran? Pertama, banyak pihak menghubungkan perseteruan abadi AS-Iran dengan Revolusi Islam Iran pada 1979. Pada waktu itu, menyusul kemenangan revolusi yang dipimpin Ayatullah Khomeini, Kedubes AS di Teheran pun diduduki oleh para demonstran dan para diplomat disandera.
Pendudukan Kedubes AS itu berlangsung hingga 444 hari dan tercatat sebagai krisis penyanderaan terlama dalam sejarah. Setelah para sandera dibebaskan, Kedubes AS dialihfungsikan sebagai museum.
Hingga kini, setiap rakyat Iran memperingati kemenangan revolusi, ada yang tidak berubah: ketidaksukaan mereka terhadap AS, meskipun yang bersinggasana di Gedung Putih silih berganti. "Matilah Kau, Amerika", "Enyahlah Amerika dan Zionis Israel ke neraka", dan nada-nada kebencian lain kepada dua negara itu terus mereka teriakkan. Perseteruan dengan Amerika seolah tak beranjak dari tahun 1979.