REPUBLIKA.CO.ID, oleh Azyumardi Azra
Menyedihkan dan memprihatinkan. Bahkan sebagian orang menjadi emosional dan marah dengan kejadian terakhir di Wamena pekan lalu (23/9/2019). Peristiwa Wamena adalah puncak eskalasi kegalauan warga Papua dan Papua Barat setelah insiden berbau rasisme terkait bendera merah putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya (16/8/2019).
Rasisme. Inilah yang membangkitkan kemarahan di Papua dan Papua Barat di beberapa kota episode terakhir ini. Kemarahan dengan kekerasan di tempat-tempat itu yang kemudian dilengkapi kejadian di Wamena menghancurkan banyak gedung pemerintahan, toko dan kedai.
Tetapi peristiwa Wamena pekan lalu agaknya meninggalkan luka yang lebih pedih dan luas dalam waktu panjang; bukan di Papua saja, tapi juga di daerah-daerah lain di tanah air. Kepedihan datang dari kenyataan, sekitar 33 warga berasal dari Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa dan Madura, NTB, juga warga Papua sendiri dan entah dari mana lagi.
Selain itu ratusan warga mengalami luka-luka, dan ribuan mengungsi—keluar dari Wamena menuju ke Jayapura. Banyak mereka boleh jadi kembali ke tanah asal masing-masing. Atau pergi ke tempat lain di tanah air lebih aman.
Tidak ada yang tahu pasti, berapa banyak warga non-Papua atau penyintas (survivors) yang akhirnya bertahan di Wamena atau daerah sekitarnya—meski boleh jadi mereka sangat traumatik. Gubernur Papua Lukas Enembe mengimbau para penyintas jangan meninggalkan Wamena yang menurut dia secara ekonomi sangat tergantung pada warga non-Papua.
Keragaman warga yang tewas dan penyintas dalam asal daerah asal dan sekaligus suku mereka masing-masing memperlihatkan Wamena, seperti juga banyak kota dan kabupaten lain di Papua dan Papua Barat pada dasarnya dunia Indonesia kosmopolitan. Kota-kota dan daerah lain di tanah air juga sudah campur aduk dengan berbagai suku dan ras.
Banyak warga Indonesia asal non-Papua telah menetap di bumi Papua selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Baik secara individu maupun kelompok asal mukimin memainkan peran dan memberikan sumbangan bagi penting pengembangan berbagai aspek kebudayaan lingkungan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Penulis Resonansi ini dalam satu kesempatan kunjungan ke Jayapura Papua pernah menemukan nenek yang sudah menetap di wilayah Skouw dekat perbatasan dengan Papua Nugini sejak awal 1970an. Sang nenek asal Lintau, Batusangkar, Sumatera Barat, membuka restoran padang. Bayangkan, di masa awal Orde Baru gadis yang kini sudah nenek merantau ke Papua; penduduk belum banyak, dan kehidupan juga masih sangat sulit.
Putrinya menikah dengan laki-laki Bugis yang menggarap kebun sayur—hibah dari Raja Suku Papua tempatan. Pasangan Bugis-Minang ini punya satu putra dan satu putri yang benar-benar Indonesia di Tanah Papua.
Apakah nenek betah di Papua? Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu penulis ajukan. Jawabannya sudah terang benderang dengan kenyataan pengalaman, dia telah menjadi mukimin sejak awal 1970an. Tapi dia tetap bercerita, sejak munculnya penerbangan berbiaya rendah, dia, anak dan menantu serta kedua cucunya bisa pulang ke tanah asalnya secara periodik.
Jadi para perantau yang datang ke Wamena dan tempat lain di Papua, sejak awalnya sudah punya modal dasar kuat; etos kerja yang tinggi untuk bisa maju di perantauan. Mereka bisa dan mau bekerja apa saja; sesuai keahlian masing-masing jika memungkinkan, atau pekerjaan lain yang halal dan bermanfaat bagi lingkungannya.
Para pendatang, perantau dan kemudian menjadi pemukim dalam generasi sambung menyambung adalah aktor-aktor pertumbuhan ekonomi; kemajuan sosial-budaya, agama, politik dan administrasi pemerintahan; pembentukan dan peningkatan kebudayaan dan peradaban. Negara atau wilayah yang menutup diri dari pertukaran warga (sekaligus mencakup pertukaran kehidupan ekonomi, sosial-budaya, agama dan politik) sulit dapat mencapai kemajuan.
Negara semacam AS maju karena gelombang migran dan pemukim yang datang dari banyak bagian dunia; mereka memberi kontribusi pada ‘The American Dream’. Presiden Donald Trump dianggap membawa Amerika ke alam setback ketika mengambil kebijakan anti-migran, khususnya dari Dunia Muslim dan juga dari Amerika Tengah (seperti Meksiko) dan Amerika Latin (seperti Argentina).
Wamena, Papua dan Papua Barat atau Indonesia secara keseluruhan adalah kepulauan yang fluid sejak zaman azali. Kenyataan sebagai Benua Maritim membuat Indonesia penuh dengan interaksi dan pertukaran yang intens di antara suku-suku dan ras-ras yang berbeda. Inilah yang membuat Indonesia bisa menyatu dan maju.