REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
"Mimbar taklim yang kita gunakan sekarang ini sejatinya milik Rasulullah SAW. Jika tidak karena beliau, mimbar-mimbar seperti ini tidak akan ada." Begitu kira-kira yang disampaikan Dr Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi beberapa bulan lalu saat ia berceramah di Masjid Agung An-Nur, Pekanbaru. Kata-kata itu kemudian ia ulang beberapa kali dalam berbagai kesempatan bersafari dakwah.
Pria yang akrab dipanggil TGB ini agaknya sedang risau dengan kondisi Indonesia kini. Mimbar taklim dan dakwah yang semestinya digunakan untuk menyeru masyarakat pada kebaikan untuk memupuk keimanan dan hal-hal lain yang bermanfaat justru oleh sebagian orang dimanfaatkan untuk sesuatu yang negatif, misal untuk mencerca, memaki, menghina, merendahkan, bahkan mengafirkan orang atau pihak lain. Ada juga yang memanfaatkan agama untuk kepentingan sesaat, untuk tujuan praktis.
Mimbar yang digunakan pun kemudian melebar dan meluas ke mana-mana, termasuk media daring (online) dan forum-forum atau grup di media sosial. Maka, sebuah pesan dalam hitungan menit atau bahkan detik dengan mudah bisa sampai ke masyarakat. Hasilnya adalah kegaduhan. Ujaran kebencian pun berseliweran di sekitar kita, tepatnya di telepon genggam kita. Kegaduhan oleh ujaran kebencian dan saling serang ini ternyata tidak berhenti bersamaan dengan usainya pemilu tetapi terus berlangsung hingga kini.
Menurut TGB, mimbar keagamaan—taklim, khutbah Jumat, pengajian-pengajian umum, dan seterusnya—pada hakikatnya adalah "meminjam dari Rasulullah Muhammad SAW\". Meminjam berarti kita harus menggunakan "barang" itu sebaik-baiknya. Apalagi, kita meminjamnya dari Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan sosok teladan yang harus kita contoh dalam perilaku kita sehari-hari. Inna fi Rasulillahi uswatun hasanah.
Mimbar dakwah, kata TGB, harusnya dimanfaatkan untuk menebarkan kebaikan seperti dicontohkan Rasulullah, kebaikan kepada siapa saja. Islam itu rahmatan lil ‘alamin. Islam itu kedamaian. Bukankah setiap kali mengakhiri shalat kita mengucapkan as-salamu ‘alaikum… sambil menengok kanan dan kemudian kiri?
Hal itu bermakna kita diserukan untuk menciptakan kedamaian; kedamaian dari yang paling kecil di lingkungan jamaah shalat, keluarga, saudara, tetangga, teman-teman, masyarakat seagama, sebangsa-senegara, dan kedamaian umat manusia.
Di lingkungan sesama umat Islam, mereka adalah saudara seagama (ukhuwah Islamiyah). Di lingkungan negara (apa pun agama, suku, dan golongannya), mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathaniyah). Di lingkungan masyarakat dunia, mereka adalah saudara; saudara dalam berkemanusiaan, ukhuwah basyariah atau insaniyah.
Dengan pemahaman seperti itu, TGB pun mencoba memulai dari diri sendiri. Ia bersafari mengisi mimbar-mimbar dakwah di daerah-daerah di seluruh pelosok nusantara. Hal ini sudah ia lakukan sejak pulang kuliah di al-Azhar (Mesir), lalu anggota DPR, gubernur dua periode, hingga sekarang ketika ia menjadi ketua Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia. "Kita jangan pernah lelah menebar kebaikan," ujarnya suatu saat.
TGB mengaku beruntung dididik dan dibesarkan di lingkungan santri dan kemudian menempuh pendidikan agama di Universtas al-Azhar, Mesir. Ketika kecil, kakeknya, TGH Zainuddin Abdul Madjid—pendiri Nahdlatul Wathan dan pahlawan nasional—pun sudah melibatkannya dalam berbagai kegiatan dakwah.
Seluruh pendidikan yang ia tempuh telah mengajarkan tentang Islam wasathiyah, Islam yang tidak memisahkan antara negara dan agama, bahwa mencintai negara merupakan bagian dari mencintai agama. Bagi TGB, berislam itu tidak berada di ruang hampa. Ada ruang dan waktu. Ruang adalah NKRI, sedangkan waktu adalah sekarang dan mendatang.
Islam wasathiyah yang berarti jalan tengah, moderat, toleran, ramah, mengayomi, membawa kedamaian, saling menghormati, dan menerima segala perbedaan. Bukan Islam yang justru mengancam, saling menegasikan, dan menebar ketakutan. Hanya dengan sikap wasathiyah seperti inilah akan tercipta rasa aman dan damai di tengah masyarakat.
Bahkan, kata TGB—mengutip pandangan para ulama—keamanan hendaknya didahulukan sebelum iman. "Kaidah pokok para ulama yaitu al-aman qabla al-iman, yang maknanya keamanan didahulukan sebelum iman." TGB menyampaikan hal itu dalam berbagai kesempatan.