REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sang pesaing bukan tokoh sembarangan. Ia seorang politisi top, konglomerat, dan raja media. Bisnis Karoui sudah berkibar sejak sebelum revolusi Tunisia pada 2011, yang menggulingkan rezim Presiden Zainul Abidin bin Ali.
Setelah revolusi, sang konglomerat pun segera berganti dengan baju reformis. Stasiun televisi miliknya, Nismah, ia ubah menjadi saluran politik dari sebelumnya hiburan. Berbagai programnya dikemas dengan selera anak muda, yang merupakan 60 persen dari sekitar 11 juta jumlah penduduk. Bahasa ludan gua --versi Tunisia tentunya-- pun tidak tabu dalam siaran televisi Nismah.
Perubahan program TV Nismah ternyata sebagai persiapan Nabil Karoui masuk gelanggang politik. Mula-mula ia bergabung dengan Partai Nidaa Tounes, lalu mendirikan partainya sendiri --Partai Qolb Tounes (Heart of Tunisia).
Dengan memanfaatkan jaringan televisi miliknya, Qolb Tounes pun segera ngetop. Apalagi, Karoui dan keluarganya telah menyulap diri mereka menjadi hamba Allah yang dermawan. Televisi Nismah pun tiada hari tanpa menyiarkan kedermawanan keluarga Karoui yang berkeliling ke kawasan-kawasan miskin Tunisia untuk menyalurkan bantuan.
Hal itulah yang menjadi karpet merah bagi Nabil Karoui untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, malang dan untung tidak bisa ditolak. Ia tersandung kasus hukum. Ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencucian uang dan penggelapan pajak. Beruntung dia karena undang-undang yang melarang narapidana mencalonkan diri sebagai presiden belum ditandatangani sang presiden. Presiden Beji Caid Essebsi keburu meninggal dunia pada Juli lalu, dalam usia 92 tahun. Pencalonan Karoui pun berjalan mulus.
Dalam pemilu presiden ronde pertama pada pertengahan September lalu, Nabil Karoui memperoleh 15,6 persen suara. Ia masih kalah dengan Qais Saied, yang mendapat 18,4 persen suara. Pemilu pun dilanjutkan ke ronde kedua karena tidak ada yang mencapai lebih dari 50 persen suara. Pada ronde inilah sang profesor meng-KO pesaingnya, Nabil Karoui.
Pada pemilu ronde pertama yang diikuti 26 calon, sejumlah tokoh penyandang nama besar sudah bertumbangan lebih dahulu. Padahal, mereka dicalonkan oleh partai-partai politik yang sudah mapan. Ada Youssef Chahed yang masih menjabat sebagai perdana menteri (Partai Tahya Tounes). Lalu, Abdel Fattah Moro, wakil ketua Harakat Ennahda--partai yang selalu memenangkan pemilu parlemen.
Selanjutnya, ada Abdelkrim Zoubidi yang beberapa kali menjabat sebagai menteri kesehatan dan pertahanan. Ia didukung Partai Nidaa Tounes dan Aafak Tounes. Kemudian, ada mantan presiden Moncef Marzouki, Mohamed Abbou (ketua Partai at-Tayar ad-Demokroty), dan Abeer Moussa (pemimpin Partai ad-Dustury al-Hurr).
Lalu, apa jurus pamungkas sang profesor untuk mengalahkan para politisi yang telah malang melintang di dunia perpolitikan Tunisia itu? "Saya hanya ingin melaksanakan kehendak rakyat," ujar Qais Saied ketika kampanye. Kehendak rakyat itu kemudian ia terjemahkan dalam sebuah tagline kampanye: "as-Sya'b Yurid" alias "Bangsa Bekehendak atau Kehendak Bangsa!"
"Tugas pemimpin itu merealisasikan kehendak rakyat dalam kehidupan nyata. Saya tidak akan mengobral janji atau komitmen yang saya tidak bisa laksanakan. Saya akan selalu terikat dengan apa yang saya katakan."
Qais Saied mengaku, ia sebenarnya tidak berminat mengejar jabatan presiden. Ia merasa cukup dengan profesinya dan hidup dengan istri beserta tiga anaknya di sebuah apartemen kelas menengah.
Berbagai perwakilan anak mudalah yang kemudian berhasil membujuk sang profesor. Anak-anak muda itu pula yang membuat jaringan dan merekrut sukarelawan di seluruh negeri. Saied sendiri selama kampanye jarang tampil berpidato di depan umum. Ia lebih mengandalkan kampanye dari pintu ke pintu untuk menemui warga. Ia lebih sering mendengarkan curhatan mereka daripada ia yang berbicara.
Menurut para pengamat setempat, basis pendukung terbesar Qais Saied memang anak-anak muda. Itulah yang menjadi kunci suksesnya. Mereka sangat kecewa dengan para politisi yang saling sikut dan sibuk dengan perebutan kekuasaan, sedangkan masalah pokok warga Tunisia, seperti kemiskinan dan pengangguran, belum terpecahkan.
Selama delapan tahun pascarevolusi, perekonomian Tunisia tidak beranjak membaik. Kemunculan tokoh independen seperti Saied dinilai telah mengembalikan semangat revolusi.
Revolusi Tunisia dipicu oleh tingginya tingkat pengangguran, kelangkaan pangan, korupsi, dan rezim yang diktator bin otoriter. Puncaknya adalah kematian Bouazizi (26 tahun), pedagang kali lima yang membakar dirinya sendiri pada 17 Desember 2010. Ia memprotes penyitaan barang dagangannya oleh seorang pejabat kota.
Peristiwa ini kemudian memunculkan protes dan demonstrasi besar-besaran, yang memaksa Presiden Zainal Abidin bin Ali mengundurkan diri pada 14 Januari 2011. Demonstrasi ini kemudian menjalar ke sejumlah negara Arab lain, yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring.
Kini Qais Saied, sang profesor, telah memenangkan jabatan presiden. Ia mengatakan akan melakukan pekerjaannya (sebagai presiden) dan pulang ke rumah seperti karyawan lainnya. Ia tidak akan memanfaatkan segala fasilitas mewah yang biasa diperoleh seorang presiden. Ia juga mengatakan, istrinya tidak akan menyandang gelar sebagai ibu negara. Menurut dia, semua perempuan Tunisia adalah ibu negara.
Yang mungkin menjadi persoalan bagi Qais Saied adalah sistem politik Tunisia sangat membatasi kewenangan presiden. Menurut undang-undang, presiden adalah simbol persatuan bangsa, dengan kewenangan kebijakan politik luar negeri, keamanan nasional, dan pertahanan. Sementara itu, urusan ekonomi dan domestik lainnya menjadi kewenangan perdana menteri. Yang terakhir ini dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan anggota parlemen basisnya adalah partai politik.
Dalam beberapa kali pemilihan parlemen, termasuk yang diselenggarakan pada September lalu, tidak ada satu partai pun yang menang mutlak. Misal, dalam pemilu terakhir, Partai Harakat Ennahdha memperoleh 52 kursi dari 217 kursi parlemen, diikuti Partai Qolb Tounes 38 kursi, Partai at-Tayyar ad-Demokraty 22 kursi, dan Partai Koalisi Alkarama dengan 21 kursi.
Artinya, bila Partai Ennahdha sebagai pemenang pemilu ingin membentuk pemerintahan, ia harus berkoalisi dengan partai lain hingga mencapai jumlah minimal 109 kursi.Hal ini diperlukan untuk mendapatkan dukungan mayoritas bagi pemerintahan baru. Partai pemenang diberi waktu hingga dua bulan untuk membentuk koalisi.
Bila partai tersebut gagal, partai lain diberi kewenangan membentuk pemerintahan. Jika hal tersebut tetap galal, pemilu ulang akan diselenggarakan.
Hal inilah yang sering menyebabkan pemerintahan di Tunisia tidak stabil. Hal ini pula yang sering kali menyulitkan posisi presiden. Lalu, adakah Qais Saied, sang presiden terpilih yang juga profesor di bidang hukum ini, berhasil mengubah konstitusi Tunisia seperti yang ia janjikan?
Kestabilan politik dan keberhasilan demokrasi tidak hanya penting untuk negara Arab di Afrika Utara itu tetapi juga bagi negara-negara Arab lain. Dari Tunisia, Arab Spring bermula dan kemudian menjalar ke sejumlah negara Arab. Kini Tunisia juga diharapkan bisa menjadi contoh demokrasi bagi negara-negara Arab lainnya.