REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arnaz Firman *)
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Komandan Pasukan Pengamanan Presiden alias Paspampres Mayor Jenderal TNI Marinir Suhartono, pada Senin sore (29/1) melakukan shalat sujud syukur yang tak lazim di pesawat kepresidenan di sebuah negara yang ribuan kilometer jaraknya dari Jakarta. Retno Marsudi yang merupakan seorang diplomat senior Kementerian Luar Negeri melakukan shalat sujud syukur kepada Allah SWT karena merasa mendapat karunia yang tak terhingga nilainya setelah melakukan sebuah tugas negara yang tak lazim dilakukannya seperti selama ini.
Jika diplomat senior ini sampai sekarang sudah tak terhingga kalinya bertemu dengan sesama menteri luar negeri dari negara-negara sahabat atau menemui pejabat senior PBB, maka tugasnya kali ini adalah menyiapkan kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke sebuah negara yang selama bertahun-tahun ini mengalami konflik bersenjata. Itu adalah negara Afghanistan yang sekarang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani.
Karena kunjungan Joko Widodo ini sangat rawan akibat di Kabul, Ibu Kota Afghanistan, saja hampir setiap hari terjadi tembak menembak antara tentara yang setia terhadap pemerintahan dengan kelompok ekstrem, maka tentu saja persiapan para pejabat Kementerian Luar Negeri tidak hanya menyangkut masalah substansi pembicaraan kedua presiden. Tapi, tentu saja juga berkaitan dengan pengamanan kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia ini.
Seperti biasanya, maka tentu Komandan Paspampres Mayjen Marinir Suhartono pasti telah mengirimkan para perwiranya sebagai tim pendahulu atau istilah teknisnya "tim advance" guna mempersiapkan prosedur pengamanan Joko Widodo mulai dari bandara di Kabul. Jalan-jalan yang akan dilewati Joko Widodo, mengamati situasi di Istana Kepresidenan Afghanistan hingga hal-hal yang bersifat teknis misalnya bagaimana memeriksa mobil yang akan dinaiki Kepala Negara yang pasti harus antipeluru.
Sebagai perbandingan, warga Jakarta misalnya jika akan kedatangan presiden Amerika Serikat, pasti menjelang kedatangan kepala negara adikuasa itu maka beberapa hari sebelumnya sudah akan melihat intel-intel AS akan memeriksa dengan sangat teliti semua jalan yang akan dilewati hingga mengecek makanan yang bakal disajikan pada acara jamuan makan.
Karena Jokowi akan mendatangi sebuah negara yang dilanda konflik bersenjata, maka tentu Paspampres akan bekerja ekstra hati-hati untuk meneliti dan memeriksa semua tempat yang bakal didatangi Joko Widodo Ibu Iriana serta sejumlah menteri dan pejabat tinggi lainnya. Di lain pihak, anggota Paspampres juga harus berkoordinasi dengan baik bersama satuan pengamanan negara tuan rumah, padahal sudah lebih dari 50 tahun tidak ada kepala negara Indonesia yang datang ke sana.
Jadi masyarakat di Tanah Air pasti sudah bisa membayangkan betapa ruwetnya atau repotnya pengaturan perjalanan Jokowi dan rombongan ke Kabul.Padahal, dalam kunjungan kenegaraan ini, Joko Widodo juga mendatangi Sri Lanka, India, Pakistan serta Bangladesh yang situasi dalam negerinya tidaklah setegang Afghanistan. Jadi pasti sangat bisa dimaklumi jika Menlu Retno dan Komandan Papampres sampai melakukan shalat sujud syukur di dalam pesawat kepresidenan.
Bosnia
Sementara itu pada tanggal 13 Maret tahun 1995, Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Bosnia Herzegovina dalam suasana yang mirip dengan Afghanistan. Saat itu, di Bosnia, juga terjadi konflik bersenjata antara penganut dua agama.
Sebuah pesawat PBB pada tanggal 11 Maret 1995 ditembak jatuh sehingga rencana kunjungan Soeharto itu diusulkan juga untuk dibatalkan. Namun sang jenderal ini tetap nekad.
Akhirnya dari Kroatia, bersama 13 anggota rombongannya berangkat ke Bosnia. Dan pada saat berada di pesawat PBB itu, semua anggota rombongan diwajibkan untuk memakai rompi antipeluru.
Seluruh rombongan ini juga diharuskan menandatangani sebuah surat yang isinya menyatakan tidak akan meminta pertanggungjawaban apa pun juga jika terjadi "hal-hal yang tidak diinginkan" seperti yang dialami pesawat PBB dua hari sebelumnya.
Dalam penerbangan ini, Soeharto disertai Menlu Ali Alatas, Mensesnge Moerdiono, Duta Besar Nana Sutresna, Komandan Grup A Papampres Kolonel Infantri Sjafrie Sjamsoeddin beserta beberapa perwiranya dan juga wartawan Antara serta RRI.
Begitu tiba di Zagreb, Ibu Kota Bosnia, semua anggota rombongan Indonesia tanpa ada pengecualian apa pun juga harus naik panser yang disebut "armoured personel carrier" atau APC. Dan selama perjalanan sekitar 30 menit harus mendengar suara tembakan meriam sehingga perjalanan ini sangat mencekam.
Yang menjadi persoalan bagi wartawan adalah bagaimana mengirim berita ke Jakarta baik Antara maupun Radio Republik Indonesia karena di sana pasti tidak ada wartel atau warung telepon untuk memberitakan kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto yang sangat istimewa ini. Untung saja, Kolonel Infanteri Sjafrie mengulurkan tangan dengan mengizinkan kedua wartawan ini untuk menggunakan pesawat telepon kepresidenan yang sebenarnya hanya oleh dipakai oleh Soeharto.
Telepon ini mempunyai akses untuk bisa langsung menelepon ke Jakarta tanpa perlu menekan angka-angka kode internasional sehingga rakyat di Tanah Air bisa segera mengetahui lawatan ini yang juga sama berbahayanya dengan kunjungan kenegaraan Soeharto ke Bosnia.
Bermanfaatkan ke Kabul?
Kunjungan Joko Widodo ini pasti akan dipantau oleh seluruh negara di dunia karena menunjukkan bahwa Presiden Republik Indonesia tanpa menghiraukan munculnya kemungkinan bahaya yang mengancam dirinya. Ibu Iriana dan rombongan tetap bisa melaksanakan tekadnya untuk bertemu dengan Presiden Ashraf Ghani serta menunjukkan kepada rakyat Afghanistan bahwa Indonesia siap terus berhubungan erat dengan mereka.
Lawatan Jokowi dan juga kunjungan Soeharto ke Bosnia memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki kepala negara yang berani mengambil risiko saat harus mendatangi sebuah negara walaupun ada risiko keamanan yang sangat berat.
Akan tetapi di lain pihak, lawatan ke Kabul ini, juga harus menjadi cambuk bagi Indonesia terutama para pejabatnya untuk terus menumbuhkembangkan hubungan diplomatik, ekonomi dan perdagangan, serta sosial budaya dengan semua negara mitranya.
RI harus makin aktif dan agresif berhubungan dengan negara-negara mitranya apalagi Jakarta ingin menjadi anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020 yang pemilihannya berlangsung bulan Juni 2018