Jumat 02 Feb 2018 00:32 WIB

Mendidik Anak Bukan dengan Kekerasan

Orang tua banyak yang beranggapan kekerasan adalah cara dari mendisiplinkan anak.

 Rizky Fajrianto-Founder Gerakan Rusun Mengajar
Foto: dok. Pribadi
Rizky Fajrianto-Founder Gerakan Rusun Mengajar

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Rizky Fajrianto *)

Tahun demi tahun berganti. Namun, kekerasan terhadap anak masih saja terjadi di Tanah Air yang kita cintai. Indikator ini bisa dilihat dari berbagai sumber.

Dari sisi data, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat sebanyak 7.529 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Indonesia sepanjang 2017. Dari jumlah itu, 517 kasus terjadi di lingkungan sekolah, di mana 317 pelaku merupakan guru.

Rata-rata kekerasan kepada anak terjadi pada mereka yang berumur 6 tahun sampai 18 tahun. Selain di sekolah, kekerasan ini paling banyak dilakukan di lingkungan rumah tangga. Untuk tahun ini, Kementerian PPPA akan menggelar survei besar-besaran perihal kekerasan terhadap anak dan juga perempuan.

Melihat kondisi seperti ini, maka mau tidak mau, perlindungan kepada anak harus ditingkatkan, terutama di tingkat rumah tangga. Sebab, keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan-aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kerap kali kita membaca berita dengan konten berupa anak dipukul, ditampar, dan disiksa. Dalam sejumlah kasus yang ekstrem, terjadi pemerkosaan bahkan pembunuhan terhadap anak. Pelakunya bisa siapa saja. Tidak terkecuali mereka yang begitu dekat dengan korban seperti guru, keluarga, terutama orang tua.

Selaku pendiri Gerakan Rusun Mengajar, saya pun pernah mendengar secara langsung kesaksian dari salah satu orang tua murid binaan di daerah Cakung, Jakarta Timur, DKI Jakarta. Ia menuturkan sang anak yang masih bersekolah (kelas 1 SD) diperintah berdagang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sangat jauh dari cukup.

Maka, wajar dalam proses belajar, anak cenderung sering kali melakukan kesalahan. Namun, bagi kebanyakan orang tua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Orang tua banyak yang beranggapan kekerasan adalah bagian dari cara mendisiplinkan anak.

Mereka lupa bahwa orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang dari anak-anak. Menghukum anak dengan kekerasan pun bisa diimbuhi pembenaran bahwa yang dilakukan adalah "pukulan sayang" atau "hukuman yang masuk akal."

Mental anak

Penelitian Hillis dan kawan-kawan pada tahun 2016 berjudul "Global Prevalence of Past-Year Violence Against Children: A Systematic Review and Minimum Estimates" menunjukkan angka kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2014 terjadi di Asia.

Ada lebih dari 714 juta jiwa, atau 64 persen dari populasi anak-anak di Asia, mengalami paling tidak satu bentuk kekerasan berat. Jika kekerasan yang dinilai lebih ringan seperti memukul bokong dan menampar wajah ikut dihitung, angkanya lebih besar lagi, yaitu 888 juta jiwa anak atau setara 80 persen populasi anak di Asia.

Tidak menutup kemungkinan bahwa anak yang pernah mengalami kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi bisa menjadi orang tua yang melakukan hal tersebut kepada anaknya kelak. Siklus ini sangat mungkin terjadi.

Hal yang sering terjadi, anak korban kekerasan dan eksploitasi menanggulangi trauma dengan cara menyangkaltelah menerima kekerasan atau dengan cara menyalahkan diri sendiri. Alasan untuk menerapkan kedisiplinan sering digunakan untuk melakukan kekerasan pada anak sehingga perlakuan ini dibenarkan oleh orang tua dan anak. Padahal, seharusnya tidak.

Pada akhirnya, anak yang pernah mengalami kekerasan dan eksploitasi saat kecil tidak dapat melihat bagaimana seharusnya orang tua mengasihi dan memperlakukan anak dengan baik. Sehingga, kemungkinan besar ia akan tumbuh dengan kemampuan “menjadi orang tua” yang kurang atau buruk.

Orang tua korban pelecehan saat anak ini hanya tahu cara membesarkan anak dengan cara seperti bagaimana dia dibesarkan. Bagi anak-anak yang mengalami kondisi seperti ini akan sulit baginya untuk bisa tumbuh dan berkembang baik akibat gangguan mental dan psikis yang dialaminya di usia dini.

Penerapan parenting

Untuk menghindari dampak negatif dari kekerasan terhadap anak, pola asuh dengan kekerasan semestinya tidak diterima sebagai hal benar dan wajar. Undang-undang dan peraturan untuk melindungi anak memang sudah ada, tetapi ia tidak bisa jadi jaminan akan membuat anak-anak terhindar dari kekerasan.

Langkah pertama anak-anak terhindar dari tindakan kekerasan, yaitu ada di tangan orang tuanya sendiri. Caranya dengan tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Tidak sebagai hukuman, tidak demi kedisiplinan, apalagi sekadar pemuas amarah.

Anak korban kekerasan harus diberi tahu bahwa apa yang diterima merupakan hal yang salah dan tidak baik dilakukan. Dengan demikian, dia tidak akan berlaku seperti itu kepada siapapun. Anak juga tidak boleh disalahkan terhadap kekerasan yang diterimanya, sehingga trauma anak tidak bertambah buruk dan lebih cepat pulih.

Dalam mengatasi trauma, bisa dilakukan dengan dukungan emosional dari orang terdekat atau terapi keluarga, sehingga mereka menyadari bahwa kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Anak korban kekerasan bisa diedukasi, diberikan pendampingan, dan terapi untuk memulihkan kondisi psikisnya.

Saat sudah memasuki usia dewasa, anak korban kekerasan juga bisa mengikuti kelas parenting dan kelompok pendukung pengasuh untuk belajar bagaimana cara baik mengasuh anak. Upaya pencegahan dan penerapan parenting merupakan langkah efektif dan efisien dalam menekan dan meminimalisasi tingginya kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Fokus utamnya tentu pada pengasuhan dan perlindungan khusus terhadap anak.

 

*) Founder Gerakan Rusun Mengajar

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement