REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Tatang Hidayat *)
Disadari atau tidak, pendidikan merupakan bidang yang sangat penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia. Sehingga, tujuan pendidikan yang ada di suatu negeri tentunya harus dirumuskan dengan sebaik-baiknya. Setiap negeri pasti memiliki tujuan pendidikannya masing-masing. Begitupun dengan tujuan pendidikan yang ada di negeri ini.
Tujuan pendidikan yang ada di negeri ini ternyata memiliki cita-cita yang sangat mulia. Sebagaimana tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”.
Siswa SDN melakukan upacara bendera (Ilustrasi)
Namun, diakui atau tidak, ternyata dunia pendidikan di negeri ini terus menimbun berbagai problematika. Meskipun aparat birokrat dan orde pemerintahan telah berganti, dunia pendidikan tetap saja tak kunjung lepas dari sejumlah problematika klasik. Baik menyangkut kualitas, daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan, budi pekerti peserta didik, minimnya anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah, hingga minat belajar peserta didik.
Problematika demi problematika terus mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Bahkan, akhir-akhir ini kembali dunia pendidikan di negeri ini berduka setelah mendengar tragedi yang belum lama ini terjadi, yakni seorang murid yang menganiaya gurunya hingga meninggal dunia.
Ahmad Budi Cahyono, guru honorer di SMAN 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, meninggal dunia pasca-mengalami tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh siswanya sendiri. Dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan, dugaan kekerasan tersebut dilakukan oleh siswanya berinisial MH, asal Dusun Brekas, Torjun Timur, Desa/Kecamatan Torjun Sampang. MH disebutkan siswa yang masih duduk di kelas XI.
Mengapa problematika dunia pendidikan di negeri ini ini terus terjadi, seolah tidak ada selesainya bahkan terus bertambah dari hari ke hari? Tentunya semua ini ada penyebabnya, tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Salah satu penyebab problematika pendidikan di negeri ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan sekuler yang diterapkan di negeri ini, yang memisahkan antara kehidupan dunia dan agama.
Di sisi lain, sistem pendidikan materialisme terbukti telah gagal mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki kepribadian yang shaleh sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kasus murid menganiaya guru merupakan salah satu contoh problematika yang ada dalam dunia pendidikan, masih ada problematika lain yang melengkapi problematika dunia pendidikan di negeri ini. Kasus maraknya minuman keras di kalangan pelajar, tawuran, pergaulan bebas, konsumsi narkoba dan beberapa kenalakan remaja lainnya yang tak bisa kita nafikan, seolah menjadi konsumsi sehari-hari di berbagai media.
Padahal, jika kita merujuk dalam tujuan pendidikan nasional, sebenarnya dalam tujuan tersebut sudah tercantum tujuan pendidikan yang melingkupi dunia dan akhirat. Maka, kewajiban semua guru-lah untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut. Namun, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 berkaitan dengan penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia masih dipahami sebagai tugas kewajiban guru Pendidikan Agama Islam (PAI).
Adanya paradigma ini, salah satunya disebabkan oleh sistem kehidupan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Padahal dalam sejarahnya, sekulerisme ini tidak ada kaitannya dengan agama Islam. Adanya paradigma sekulerisme tersebut menyebabkan adanya dikotomi dalam ilmu pengetahuan, seolah adanya ilmu umum dan ilmu agama.
Adanya dikotomi ilmu pengetahuan tersebut berimbas pada pelaksanaan pendidikan. Contohnya, pelaksanaan pendidikan di sekolah seperti SD, SMP, SMA/SMK ternyata masih ditemukan adanya indikasi terjadinya dikotomi antara madsarah dan sekolah umum. Seolah masih menganggap bahwa madrasah adalah yang membahas tentang masalah agama, dan sekolah umum yang membahas masalah ilmu-ilmu umum.
Paradigma keliru ini seolah dipelihara dan beberapa pihak tidak sadar, bahwa dengan adanya dikotomi ilmu ini menyebabkan pelaksanaan pendidikan dalam rangka menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia sebagaimana yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional, menjadi terhambat.
Oleh karena itu, dengan adanya dikotomi ilmu ini menyebabkan mata pelajaran-mata pelajaran selain PAI yang di pelajari di sekolah dianggap sebagai mata pelajaran umum dan tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, seolah penekanannya hanya aspek intelektual saja dan mengabaikan aspek yang lain dalam hal ini adalah emosional dan spiritual.
Semua itu berimbas pada output dari pendidikan saat ini menjadi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada. Maka, kenakalan-kenakalan remaja yang terjadi saat ini seolah menjadi sesuatu yang wajar dan terjadi ditengah-tengah kehidupan kita. Begitupun dengan tragedi murid menganiaya guru hingga meninggal dunia memang sesuatu yang wajar dalam sistem kehidupan sekuler dan sistem pendidikan materialisme.
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya pasti mengatur masalah pendidikan juga. Begitupun dengan pendidikan yang ada di Indonesia, nilai-nilai Islam memiliki landasan yang kuat untuk dimasukan ke dalam pendidikan. Terdapat dua landasan utama dalam memasukkan nilai-nilai agama ke dalam pendidikan.
Pertama, UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Kedua, pasal 31, ayat 5 yang menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Dua undang-undang tersebut mengisyaratkan seharusnya ada integrasi nilai-nilai agama dalam pembelajaran. Amanah konstitusi tersebut membuktikan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia tidak hanya mengembangkan potensi dan mencerdaskan saja tetapi juga membentuk manusia yang berkarakter agamis.
Namun, itu tadi, karena paradigma sekuler sudah mengakar kuat dalam dunia pendidikan, menyebabkan selain mata pelajaran PAI seolah tidak ada kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Padahal mata pelajaran lain seperti Matematika, IPA, IPS, Seni, Penjaskes dan beberapa mata pelajaran lain pun memiliki kewajiban menanamkan nilai-nilai agama dalam mata pelajarannya, itu semua sebagai bentuk melaksanakan amanah pendidikan yang tercantum dalam konstitusi.
Sistem pendidikan materialistik dalam sistem kehidupan sekuler tentunya berbanding terbalik dengan sistem pendidikan Islam. Islam memandang bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban negara dan negara wajib memfasilitasi pendidikan secara gratis untuk rakyatnya. Tujuan dari pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian Islam yang terwujud dari pola fikir dan pola sikap yang Islami yang ditanamkan sejak dari kecil, menguasai tsaqofah Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi berikut ilmu terapan yang tepat guna.
Dalam pandangan Islam, negara wajib berperan serta secara penuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Bahkan, negara harus memberikannya secara cuma-cuma dengan tanpa mengabaikan kualitas. Negara memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan. Sistem pendidikan bebas biaya dilakukan oleh para sahabat (ijma), termasuk pemberian gaji yang sangat memuaskan kepada para pengajar diambil dari baitul mal.
Kegiatan Masa ta'aruf siswa madrasah (Ilustrasi)
Contohnya, Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al Munthasir di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa sebesar satu dinar (4.25 gram emas). Kehidupan kesehatan mereka dijamin sepenuhnya. Fasilitas seperti perpustakaan, bahkan rumah sakit dan permandian tersedia lengkap di sana. Maka tidak heran jika dalam sistem pendidikan Islam bisa melahirkan generasi yang gemilang seperti Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hambali yang ahli dalam bidang fiqh, Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam bidang Hadis, Al Battani seorang ahli astronomi, Ibnu Sina seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, Ibnu Batutah adalah seorang pengembara, Al Khawarizmi adalah seorang ahli matematika dan masih banyak yang lainnya.
Amat kontras dengan sistem pendidikan yang kini berlaku di negeri ini. Negara justru menjual pendidikan kepada warganya. Apalagi setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, dunia pendidikan juga mengalami imbas yang kian negatif. Mereka harus lebih banyak berusaha untuk menghidupi jalannya roda pendidikan. Akibatnya, semua PTN di negeri ini serempak menaikkan SPP bagi mahasiswa.
Apalagi, setelah berlaku UU no 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi. UU ini telah mengubah perguruan tinggi layaknya perusahaan swasta, oleh karena perguruan tinggi diberikan hak untuk menentukan kebijakan dan memiliki otonomi untuk mengelola pendidikan dan lembaganya baik akademik maupun non akademik (keuangan, dan lain-lain). Semua ini berdampak pada melonjaknya biaya pendidikan, sehingga seolah-olah perguruan tinggi seperti perusahaan swasta. Semua dilakukan tidak lain untuk bertahan menjalankan penyelenggaraan pendidikan.
Di sisi lain, penghargaan yang diberikan kepada para tenaga pengajar, mulai di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, masih jauh dari layak. Lihat saja gaji guru honorer di beberapa daerah sungguh sangat memprihatinkan dan jauh dari layak, padahal guru tersebut dalam upaya mencerdaskan genersi bangsa. Namun mengapa beberapa artis hiburan sekali kontrak justru mendapat penghasilan yang besar, padahal dari hiburan tersebut nyatanya tidak jarang justru menyebabkan rusaknya moral generasi bangsa, dikarenakan gaya hidup hedonisme yang selalu dipertontonkan.
Proses pembentukan karakter menjadi perhatian khusus dalam sistem pendidikan Islam, dan itu berbanding terbalik dalam pendidikan sekuler saat ini yang lebih mengedepankan aspek intelektual tetapi kurang memperhatikan proses pembentukan karakter, sehingga banyak orang-orang yang cerdas tetapi tidak berakhlak mulia.
Melihat kondisi objektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah mengoptimalkan proses-proses pembentukan kepribadian Islam dan penguasaan tsaqafah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian berlandaskan nilai-nilai islam sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Oleh karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh kepada unsur pelaksana pendidikan yang lain.
Maka, upaya yang bisa dilakukan saat ini bagi orang-orang yang aktif di dunia pendidikan sebagaimana yang disampaikan guru kami Bapak Toto Suryana selaku Dosen Senior Universitas Pendidikan Indonesia dalam diskusinya bersama penulis. Harus ada upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam berbagai mata pelajaran, baik itu rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Kemudian, Ke depan, harus ada upaya untuk adanya integrasi nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan secara keseluruhan. Itu semua konsepnya berawal dari syahadatain.
Pendidikan Islam berusaha mewujudkan anak didik mempunyai pola pikir yang Islami dan pola sikap yang Islami pula, sehingga akan terbentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah). Pendidikan Islam juga akan memberikan pengajaran cara hidup sesuai dengan aturan Islam, karena itulah konsekuensi seorang Muslim jika telah memeluk Aqidah Islam.
Kemudian cara agar anak didik bisa menguasai Tsaqafah Islam dengan baik, yaitu dengan mempelajari ilmu Aqidah, Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, Ulumul Qur’an, Tafsir Alquran, Akhlak, Bahasa Arab, Ilmu Hadis dan yang lainnya. Selain itu, pendidikan Islam juga mendorong anak didik untuk menguasai ilmu kehidupan (IPTEK dan keahlian) diperlukan agar umat Islam dapat meraih kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT. dengan baik di muka bumi ini. Wallahu A’lam bi ash-Shawab
*) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia