Ahad 18 Feb 2018 00:15 WIB

Kisah Nabi Khidir dan Orang Tua Zaman Now

Orang tua kadangkala menelan mentah-mentah pengaduan dan curhatan dari anaknya.

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun *)

Dahulu kala, ketika kita berkelahi dengan kawan lantas mengadu atau ketahuan orang tua, maka yang dimarah bahkan dipukul adalah kita, terlepas dalam konteks siapa yang salah dan benar adalah soal belakangan. Apalagi, terdengar kita dimarah oleh guru tentu justru orang tua langsung tambah memarahi kita.

Saat ini, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terahir, kita disuguhkan berbagai tragedi dalam dunia pendidikan. Nyali para pendidik sempat ciut bahkan menjadi “korban” atas lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Barangkali dengan pemahaman yang keliru atas regulasi tersebut, berbagai “serangan” bahkan penganiayaan yang dihadapi para guru datang bertubi-tubi. Sebut saja misalnya yang paling terahir (13/2/2018) Bu Guru Astri Tampi seorang kepala sekolah di Sulawesi Utara dianiaya sampai mengalami luka serius yang dilakukan oleh orang tua murid.

Sepuluh hari sebelumnya (3/2/2018) seorang pahlawan pendidikan, guru Budi (Ahmad Budi Cahyanto) perjuangannya dalam turut serta mencerdaskan anak bangsa harus berakhir setelah wafat karena dianiaya anak muridnya. Dan berbagai rangkaian arogansi orang tua siswa yang melabrak para pejuang pendidikan itu, membuat kita semakin miris.

Banyaknya orang tua zaman now melabrak guru maupun pihak terkait lainnya menjadi fenomena puncak gunung es, berbagai persoalan krusial yang tidak terpublikas. Sebut saja, misalnya, ulah para oknum orang tua yang kadangkala menelan mentah-mentah pengaduan dan curhatan dari anaknya, celakanya mereka tanpa tabayyun (klarifikasi) cek and ricek terlebih dahulu.

Atas nama kasih sayang yang berlebihan, para orang tua, tidak saja memanjakan anak dengan gadget beserta paket quotanya. Namun juga, mohon maaf menjadi anj**g harder yang siap menerkam siapa saja yang dianggap mengganggu kenyamanan anak mereka. Meskipun, dalam dunia pendidikan kita harus lebih arif dan bijaksana menyikapinya ketika anak biologis kita menghadapi proses pendidikan.

Ketika kita mempercayakan kepada sekolah, madrasah, dan  atau pesantren untuk menempuh proses pendidikan, tentu saja harus berpikir bahwa mereka para pendidik adalah orang tua kedua bagi anak-anak kita.

Sebagai orang tuanya juga tentu apa yang dilakukan ialah untuk kebaikan dan kemajuan anak-anak didik mereka dan tentu bukan sebaliknya. Bahwa dalam konteks tertentu ada pendidik bahkan ustaz yang ‘nakal’ bahkan sampai melanggar norma-norma sosial dan hukum, tentu sebagai warga negara harus siap menghadapi risiko atas tindakannya.

Sebuah pengalaman

Seorang ibu guru dalam sebuah kesempatan bercerita bahwa pagi-pagi buta telpon sudah berdering. Di seberang sana terdengar suara seorang ibu yang parau sambil terisak. “Ibu tolong bujuki anak saya untuk sekolah bu, sudah dua hari gak mau sekolah maunya dijemput ibu, saya sudah lelah ngomongin-nya bandel banget”. “Lho kalau ibu lelah kami harus bagaimana? Ibu harus tetap semangat untuk momong anak-anak yang bandel” jawab si ibu guru.

Begitulah sepenggal cerita dari berbagai dinamika menghadapi kenakalan anak-anak sekolah dari masalah berkelahi, bolos sampai mencuri barang kawan dan semacamnya.

Ibu guru yang terkenal disiplin itu oleh para siswanya dijuluki guru yang galak. Saya sempat berpesan kepada beliau untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan pendidikan, jangan sampai melakukan kekerasan karena ada Undang-undang Perlindungan anak.

"Insya Allah aman, di awal proses pendidikan para orang tua siswa sudah berkomitmen dengan menandatangani nota kesepahaman (pernyataan) untuk tidak menuntut dalam bentuk apapun apabila ada perbuatan para guru. Sepanjang masih dalam rangka memberikan tindakan pendidikan yang wajar dan tidak membahayakan fisik dan psikis siswa," ujar bu guru yang juga kepala sekolah itu memberikan penjelasan setengah berargumentasi.

Pelajaran dari Sang Nabi

Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran dalam hal shalat, misalnya,  “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukul lah mereka jika mereka tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, dan (pada usia tersebut) pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, Ahmad dan Hakim).

Dengan demikian pukulan-pukulan kecil perlu diberikan kepada peserta didik yang bandel menjadi sangat penting.  Tentulah, pukulan dalam konteks mendidik dan tidak membahayakan, serta tentu saja dilakukan tidak dengan amarah yang menjurus kepada tindakan melampaui batas.

Apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW menjadi sangat relevan dengan kisah bergurunya Nabi Musa  kepada Nabi Khidir yang monumental dan tentu dalam perspektif kekinian menjadi ‘kontroversial’.

Dikisahkan bahwa Nabi Khidir membunuh anak kecil yang masih suci dan tentulah membuat Nabi Musa langsung menyoal, ia lupa akan janjinya untuk tidak bertanya terhadap apapun yang dilakukan Nabi Khidir selama beliau berguru hingga saatnya untuk dijelaskan. (lihat: QS.18.Al-Kahfi:74). Tindakan yang jelas dalam ruang dan waktu kapanpun tetap dipandang sebagai sesuatu yang kejam dan tidak manusiawi.

Misteri dan rahasia tindakan Nabi Khidir ini pada ahirnya diungkapkan satu persatu. Terkait dengan dibunuhnya si anak ini dijelaskan bahwa ‘’Dan adapun anak muda (kafir) itu, Maka, kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran’’.(QS.18.Al-Kahfi:80).

 

Hari ini dengan alasan dan argumentasi apapun tidak boleh membunuh manusia tanpa hak, kecuali yang dibenarkan secara hukum agama (qishash misalnya) maupun hukum positif yang berlaku.

Tentu yang harus kita bunuh dari anak-anak kita (baca: anak biologis, santri dan peserta didik) adalah kemalasannya, ketergantungan berlebihan yang dapat menghilangkan semangat kemandiriannya, potensi kejahatan dan kriminalnya, potensi kedurhakaannya terhadap para orang tua dan guru.

Hal demikian karena sejatinya disamping anak manusia terlahir secara fitrah, baik dan bertuhan secara lurus (lihat QS.30.Ar-Rum:30) namun didalam jiwa manusia juga dibekali oleh Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa dengan diilhamkan jalan kejahatan dan ketaqwaannya (lihat: QS. 91. Asy-Syams:8).

Di sinilah relevansi dan urgensi pendidikan bagi peserta didik ialah untuk mengarahkan dan atau membimbing mereka menjadi dewasa dan memastikan sampai kepada suatu pencapaian kematangan secara intelektual, spiritual, emosional dan sosial sekaligus.

Dengan demikian, pada ahirnya mereka menjadi manusia paripurna sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Tujuan Pendidikan Nasional kita ialah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected].

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement