REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim *)
Sekitar dua minggu terakhir ini, masyarakat (khususnya dunia pendidikan) dikejutkan oleh berita tentang guru yang notabene sebagai seorang pendidik yang terdidik, menjadi tersangka oleh kepolisian karena terlibat dalam penyebaran berita bohong bermuatan permusuhan (lazim disebut hoaks).
Setidaknya ada tiga berita yang menarasikan tentang keterlibatan tiga orang guru dalam konteks dan cerita hoaks yang berbeda. Ketiga berita tentang guru-guru yang memproduksi sekaligus menyebarluaskan berita hoaks yang memicu sentimen primordial tersebut, dapat diakses di berbagai media sosial dan media online.
Pertama, seorang guru bernama Sandi Ferdian dari Lampung dijadikan tersangka oleh kepolisian karena menyebarkan hoaks tentang: “Megawati meminta pelarangan azan”. Kedua, seorang guru bernama Yayi Haidar Aqua dari Banten. Ditangkap pihak kepolisian karena menyebarkan berita dan video bohong via akun di FB tentang: “15 juta anggota PKI dipersenjatai untuk bantai ulama.”
Ketiga, berita terbaru yang juga ramai di media adalah seorang guru ditangkap oleh kepolisian di Sidoarjo bernama Emir Rianto pada 28 Maret 2018. Tersangka yang merupakan guru agama ini menyebarkan unggahan di FB melalui akun Muslim Cyber Army (MCA). Tentang pernyataan permohonan maaf Kapolri Jenderal Tito Karnavian, perihal aksi Brimob dan Densus 88 yang menginjak-injak Alquran di Mako Brimob Depok.
Sebagaimana kita tahu beberapa orang yang mengatasnamakan MCA ini juga sudah ditangkap oleh kepolisian karena menyebarluaskan informasi di media sosial yang sangat bermuatan fitnah, permusuhan dan sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Bagi umat Islam, tentu ketika grup ini membawa embel-embel “Muslim” pun menjadi persoalan pelik tersendiri. Sangat jelas ketiga berita dan informasi yang para guru tersebut sebarluaskan adalah berita palsu, berisi fitnah dan benar-benar hoaks.
Pertanyaan bagi kita khususnya para pendidik, yang notabene adalah guru-guru yang juga terdidik, lulusan universitas atau institut kependidikan adalah: “Bagaimana bisa, profesi sebagai guru yang semestinya terhormat dan bermartabat, berkutat dengan hal-hal akademis, ilmiah dan etika pendidik, namun berkontribusi menyebarluaskan sentimen permusuhan yang bisa mengakibatkan konflik horizontal antara warga negara dan anak bangsa?”
Pertanyaan fundamental di atas adalah persoalan krusial bagi kita dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini. Hal tersebut membuktikan bahwa dunia pendidikan nasional ternyata sudah diracuni oleh berita-berita bohong. Sekolah dan guru bukannya melahirkan ide-ide pembelajaran, melahap buku-buku dan literatur padat ilmu, menyiapkan generasi yang cerdas berwatak ilmiah, tetapi malah melahirkan berita palsu, melahap informasi-informasi hoax dan permusuhan dengan sentimen SARA.
Dalam konteks literatur Islam, ratusan tahun lalu Imam Syafii (767-820) pernah mewanti-wanti kita perihal jenis kebohongan. Kemudian dikutip kembali oleh Syeikh Zainuddin Al-Malibari (wafat 1579) dalam kitab klasiknya “Irsyadul 'Ibad ila Sabilir Rosyad”. Kitab klasik ini biasanya wajib dipelajari oleh santri pesantren tradisional di nusantara. Nukilannya adalah:
وَمِنْ الْكَذِبِ الْكَذِبُ الْخَفِيُّ ، وَهُوَ أَنْ يَرْوِيَ الْإِنْسَانُ خَبَرًا عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ صِدْقُهُ مِنْ كَذِبِهِ
“Di antara jenis kebohongan adalah kebohongan yang samar. Yakni ketika seseorang menyebar informasi dari orang yang tak diketahui apakah ia bohong atau tidak.”
Kemudian secara filosofis, bagi Ki Hadjar Dewantara guru itu mesti terdepan memberikan teladan, baik di ruang kelas, sekolah maupun di masyarakat. Teladan untuk membuktikan jika Indonesia ini faktanya memang multikultural. Teladan untuk memberikan contoh penghormatan terhadap pluralitas. Teladan untuk mencontohkan perlunya berpikir kritis dalam menerima informasi. Karena diantara prinsip berpikir ilmiah adalah rasional, objektif dan berbasis literatur.
Fenomena guru yang “melahap” info-info hoaks ini ternyata sudah menjadi fakta sosial yang tak terbantahkan. Berkembang-biaknya informasi bohong, apalagi terkait pemerintahan saat ini menjadi sasaran tembak kelompok masyarakat yang tidak suka kepada pemerintah. Mengkritik pemerintahan Jokowi dengan segala kebijakannya yang dianggap tidak pro terhadap rakyat menggunakan data, analisis kuat dan seperangkat argumentasi yang beradab adalah satu hal yang wajar dan harus, dalam konteks negara demokrasi.
Tetapi, mengkritik pemerintahan Jokowi (beserta kelompok/orang/partai pendukungnya) dengan mengembang-biakkan informasi palsu dan bernuansa sentimen primordial, dengan cara yang jauh dari prinsip ilmiah dan tidak argumentatif adalah sisi lain yang sangat jelas harus ditolak. Mestinya siapapun dia dalam memberikan kritik sosial, termasuk guru di depan kelas, lebih mengedepankan basis argumen ketimbang sentimen!
Secara sosiologis, bangsa kita juga akan mudah terpecah, hancur dengan isu-isu sentimen sosial berbasis SARA. Apa jadinya jika para guru berdiri di depan siswa, alih-alih menyampaikan bahan pembelajaran, tetapi malah berkampanye untuk menyulut permusuhan agama dan etnis. Bagaimana nasib bangsa ini ke depan, jika kelompok terdidiknya, di sekolah-sekolah bukannya merajut kebinekaan, menanam benih berpikir ilmiah, tetapi malah mengembang-biakkan ide-ide permusuhan.
Saya pun pernah berkesempatan berdiskusi dengan teman, yang juga guru. Ketika guru tersebut memperlihatkan ke saya berita (hoaks) yang diperolehnya dari grup tentang: “Megawati meminta pelarangan azan” (sebelum kepolisian menangkap tersangka utamanya dan beritanya viral di media online). Saya katakan itu berita hoaks, lihat saja media yang dipakai adalah blogspot, bukan media arus utama dan bentuknya pun screenshoot, bukan berupa tautan yang bisa dikunjungi. Tapi nampaknya teman guru ini “agak” percaya pada isi tautan. Di kesempatan lain rasanya saya cukup sering bertemu dengan teman-teman guru yang agaknya “hobi” memperlihatkan berita-berita yang sebenarnya hoax dan biasanya kontroversial dan “seksi” untuk ditampilkan.
Bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh para guru dalam mencegah peristiwa seperti ini berulang? Jawabannya adalah literasi yang berkelanjutan untuk guru menjadi harga mutlak. Jika selama ini pemerintah (Kemdikbud) mengkampanyekan program Gerakan Literasi Sekolah spesifik untuk siswa, mulai sekarang justru literasi inilah yang mesti menjadi pokok strategi yang wajib dilakukan oleh guru.
Sebelum siswanya gemar membaca dan berpikir kritis, justru gurunya dulu yang mesti diisi kepalanya dengan banyak membaca literatur ilmiah, literatur, media dan buku-buku yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan kredibilitasnya. Kemampuan berpikir kritis bagi guru mutlak adanya, seperti yang Paulo Freire (1970) wacanakan dalam “Pedagogy of The Opressed.”
Jika guru-guru sudah mulai gemar membaca, membiasakan berpikir kritis baik untuk diri sendiri maupun kepada siswa dan memperkaya aktivitas literasi, maka saya yakin tidak akan ada lagi guru dengan mudahnya melahap berita hoaks. Akan mampu mencegah kerja-kerja kotor untuk mengembang-biakkan kabar bohong perusak rajutan kebangsaan tersebut. Semoga kita para guru bisa memulainya, dari diri dan sekolah kita.
*) Pengajar Labschool Jakarta-UNJ/Wasekjen FSGI, Emai: [email protected]