Selasa 27 Mar 2018 13:56 WIB

Lanskap Kampus 4.0

Kultur atau ekosistem kampus di era disrupsi perlu membangun pendekatan

Red: Fernan Rahadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Nur Rizal *)

Setiap berbicara tentang pendidikan tinggi di Indonesia, Presiden Jokowi selalu mengingatkan agar perguruan tinggi tanggap dan gesit mengikuti perubahan yang sangat cepat. Selain itu, nomenklatur di Kementerian Ristekdikti harus fleksibel sehingga adaptif terhadap perubahan dunia yang diakibatkan revolusi internet dan inovasi teknologi, yang dikenal sebagai era revolusi industri 4.0.

Selain lambat, geliat perubahan kampus masih sebatas prosedural seperti menambah instrumen learning objective (LO) di kurikulum, fasilitas gedung AC, koneksi internet hingga penyelenggaraan kompetisi hibah pembelajaran digital. Sayangnya, perubahan itu tidak diikuti  cara berpikir atau paradigma pendidikan yang baru, kultur atau proses belajarnya masih teacher centered, serta learning environment yang tidak mendorong kemandirian mahasiswa memiliki pengalaman belajar sendiri.

Di tengah kunjungan ke kampus Monash University di Australia, yang didesain dengan gaya modern, green building, warna-warni, banyak co-working space bagi mahasiswa dan dosen, serta tata letak kelas terbuka untuk workshop, saya teringat suatu artikel populer yang ditulis oleh Terry Eagleton berjudul ”The Slow Death of the University” (2015). Artikel itu mempertanyakan eksistensi perguruan tinggi jika tidak tanggap menghadapi perubahan yang sangat cepat dan bersifat disruptif.