Oleh: Lukman Hakiem*
Suatu hari di tahun 1991, saya dipanggil oleh Wakil Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, H. M. Yunan Nasution (1913-1996).
Ketika Saya duduk di hadapannya, Yunan yang merangkap sebagai Ketua Dewan Da’wah Jakarta membuka pembicaraan. “Ada tradisi di kalangan keluarga besar Bulan Bintang. Setiap salah seorang tokohnya genap berusia 70 tahun, dibuatkan biografinya.”
Saya menyimak dengan saksama mukaddimah pembicaraan Pak Yunan seraya menduga-duga arah obrolan siang itu.
“Sekitar dua tahun lagi,” ujar mantan Sekretaris Jenderal Partai Masyumi itu, “Saudara Anwar Harjono akan genap 70 tahun.”
“Oh ya, Pak,” saya menyahut sekadar untuk memecahkan kesunyian.
“Tepatnya bulan November 1993,” sambung Pak Yunan sembari melanjutkan, “Kami, pimpinan Dewan Da’wah sudah memutuskan akan menerbitkan buku biografi Anwar Harjono. Kami juga sepakat meminta saudara menjadi penulisnya.”
Buku biografi Anwar Harjono.
Hening sesaat. Saya terkejut. “Mengapa saya? Mengapa bukan yang lain?” saya bertanya untuk mengatasi keterkejutan seraya menyebut sejumlah nama di Dewan Da’wah.
Pak Yunan menatap saya. “Kami sudah mendiskusikan dari segala sisi. Kami juga sudah mengikuti tulisan-tulisan Saudara. Pak Anwar juga setuju saudara menjadi penulis biografinya. Waktunya masih sekitar dua tahun lagi. Bismillah!”
Pak Yunan mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan. Saya segera sadar, tugas berat itu tidak mungkin saya tolak.
******
Pak Anwar Menginap Di Rumah Kami
Saya meninggalkan ruang kerja Pak Yunan dengan dua perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa bangga, karena pimpinan Dewan Da’wah memercayakan tugas berat itu kepada saya.
Ada rasa cemas, jangan-jangan saya tidak mampu mengemban amanah para pemimpin yang sangat saya hormati itu.
Meskipun sejak tahun 1977 saya sudah menulis di berbagai media, tetapi belum pernah menulis buku.
Terbayang saya harus menulis tokoh besar sekaliber Dr. Anwar Harjono, hati saya ciut juga.
Dalam kegalauan, tiba-tiba melintas wajah Allahuyarham ayah saya, H. M. Mursyid Nawawi (1930-1989).
Sebagai aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Kabupaten Bekasi, ayah saya suka bercerita mengenai GPII. Salah satu yang beliau ceritakan ialah Konferensi Daerah GPII Kabupaten Bekasi yang diselenggarakan di Sekolah Dasar Negeri I Cikarang, persis di sebelah timur rumah kami.
Dengan bangga ayah saya bercerita bahwa Ketua Umum Pucuk Pimpinan GPII, Anwar Harjono, datang membuka Konferensi GPII itu. “Pak Anwar menginap di rumah kita yang sederhana ini,” cerita ayah dengan wajah berbinar-binar.
Diam-diam timbul keinginan untuk memberi kebanggaan kepada Allahuyarham di alam sana, dengan menulis biografi Anwar Harjono sebaik-baiknya sesuai dengan kapasitas yang saya miliki.
Saya pun menumbuhkan keyakinan bahwa saya mampu menulis biografi Anwar Harjono. Insya Allah.
*****
Keesokan harinya, saya menemui Anwar Harjono di ruang kerjanya. Dia menyambut kedatangan saya dengan keramahannya yang khas.
“Sudah bertemu Pak Yunan?” tanya Pak Anwar.
“Sudah Pak,” jawab saya lugas.
“Bagaimana? Siap?”
“Insya Allah.”
Selanjutnya kami mendiskusikan format biografi yang akan ditulis. Kepada Pak Anwar saya bercerita, bahwa saya senang membaca otobiografi Jenderal A. H. Nasution.
“Mengapa?” tanya Pak Anwar.
Saya jelaskan, saya tertarik pada gaya penulisan Jenderal Nasution dalam biografinya yang berjilid-jilid itu, karena dia tidak terkesan menonjolkan diri sendiri.
“Pak Nas bercerita mengenai ‘aku’ dalam setting sejarah tertentu. Ringkasnya, Pak Nas tidak menulis mengenai dirinya sendiri, melainkan mengenai pemikiran dan perjuangannya,” ujar saya agak panjang yang disimak Pak Anwar dengan saksama.
“Karena itu,” kata saya selanjutnya, “saya lebih tertarik menulis mengenai pemikiran dan perjuangan Pak Anwar. Soal-soal pribadi, walaupun tetap ditulis, tetapi tidak menjadi fokus.”
Pak Anwar berdiri, menjabat tangan saya erat-erat. “setuju,’’ kata Pak Anwar sambil melanjutkan, “kalau tentang Anwar Harjono ini memang tidak penting benar untuk ditulis. Yang harus diketahui itu apa pikiran dan bagaimana perjuangan saya.”
Sesudah itu saya diminta oleh Pak Anwar untuk membuat draft buku. Sesudah draft disetujui, mulailah saya menulis bab demi bab. Dalam rangka ini saya mencatat, kecenderungan Anwar Harjono sebagai akademisi.
Saya diminta menulis bab demi bab. Setiap selesai satu bab, saya serahkan ke Pak Anwar, lalu naskah itu dibawa pulang. Esok atau lusa, saya dipanggil untuk mendiskusikan naskah yang saya tulis. “Ini mengapa begini dan ini mengapa begitu, mengapa buku ini dijadikan referensi, apa tidak ada buku lain,” demikian Pak Anwar mencecar. Jika saya bisa mempertahankan yang saya tulis, selamatlah naskah itu. Jika tidak, tulisan dicoret.
*****
Kritik Deliar Noer
Dengan proses penulisan seperti menulis karya ilmiah itu, akhirnya bagian pertama biografi Anwar Harjono selesai saya tulis.
Dari awal disepakati, biografi akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian Pertama, Biografi Pemikiran dan Perjuangan. Bagian Kedua, Sumbangan Tulisan.
Untuk penyumbang tulisan disepakati untuk dibatasi, tetapi harus mencakup lintas generasi dan lintas aktivitas.
Dari Dewan Da’wah disepakati nama-nama Mohammad Natsir, H. M. Yunan Nasution, dan H. Buchari Tamam. Dari GPII ada dua: H. A. Karim Halim, dan K. H. Hasan Basri. Dari ormas Islam: Geys Amar. Dari kolega di parlemen: K. H. A. Sjaichu. Dari Petisi 50: Jenderal Nasution, dan Letnan Jenderal (Marinir) H. Ali Sadikin. Dari Muktamar Alam Islami: Inamullah Khan. Dari teman segenerasi: Deliar Noer. Dari generasi muda: Yusril Ihza Mahendra.
Kecuali Pak Natsir yang wafat sebelum sempat menulis, sebelas tokoh lainnya memenuhi undangan panitia dengan suka cita.
Lazimnya tulisan untuk “buku ulang tahun”, para penulis memuji tokoh yang berulang tahun. Apakah pujiannya masih dalam batas wajar, atau sudah berlebihan, itu soal lain lagi.
Akan tetapi, ketika membaca tulisan Deliar Noer, saya terkejut. Judulnya saja sudah menggelitik: “Harjono yang Hati-hati”. Isinya, mengeritik Pak Anwar.
Saya baca tu lisan itu dengan saksama, dan menemukan ada kritik yang keliru. Misalnya ketika Deliar mengatakan jika saja Natsir tidak menandatangani Petisi 50, tentu Harjono tidak menandatanganinya pula.
Deliar sampai pada kesimpulan itu semata karena melihat Natsir berada pada nomor urut 12, dan Harjono berada pada nomor urut 48.
Setiap Pagi Saling Bertelepon
Saya bergegas menemui Pak Anwar untuk mendiskusikan tulisan Deliar. Saya menyarankan supaya tulisan tersebut dimuat sesudah dikoreksi. Cepat Pak Anwar menyergah: “Jangan. Biarkan tulisan itu seperti apa adanya.”
Lukman Hakiem (kiri) menyerahkan sumbangan buku ke sebuah perpustakaan.
Saya masih mencoba memerotes, tapi dengan nada sangat serius Pak Anwar mengatakan bahwa meskipun sering berbeda pendapat, hubungan dirinya dengan Deliar Noer sangat akrab.
“Setiap pagi, kami selalu saling bertelepon. Jika bukan saya, Deliar yang menelepon. Bukan sekadar bertukar kabar, tapi juga bertukar informasi, sering pula berdebat,” tutur Harjono.
Sekali lagi Anwar Harjono mengingatkan saya agar jangan mengutak-atik tulisan Deliar Noer.
“Sumbangan tulisan itu jangan cuma puja-puji. Kritik juga perlu, agar orang dapat memberi penilaian lebih luas,” ujar Harjono lagi.
Karena sikap Anwar Harjono seperti itu, biografi Anwar Harjono menjadi unik. Barangkali, inilah satu-satunya biografi yang penyumbang tulisannya mengeritik tokoh yang dikisahkan.
Di berbagai kesempatan, Anwar Harjono selalu menyampaikan pegangan hidupnya di dalam pergaulan, menganggap lawan pendapat sebagai kawan berpikir. Anwar Harjono sungguh-sungguh melaksanakan pegangan hidupnya itu.
Persahabatan Anwar Harjono dengan Deliar Noer, teladan berharga yang tidak mudah dicontoh.
*Lukman Hakiem, anggota DPR, mantan staf ahli presiden Hamzah Haz dan staf M Natsir.