REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jasman Rizal*
Hampir 7,5 tahun Prof Irwan Prayitno (IP) menjadi gubernur Sumatra Barat. Suka dan duka silih berganti seiring dengan pendaran waktu. Puja-puji, fitnah, dan hujatan adalah hal yang biasa di konsumsi tiap hari. Itu adalah risiko jabatan yang harus dijalani.
Benar, Irwan telah siap dengan segala kurenah yang terjadi sejak beliau melangkah dalam dunia politik. Ragam laku masyarakat telah menjadi dendangan syahdu yang wajib dia dengar dengan segala tonika dan genre yang berbunyi. Kembali lagi, Itu adalah risiko yang harus dilakoni. Seorang Irwan faham benar soal itu, karena beliau seorang psikolog dan profesor di bidang SDM yang mumpuni.
Sebagai gubernur, sedari awal menjabat (sejak 2010), Irwan telah berusaha keras untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Ini bukan pekerjaan mudah dan Irwan sadar ini adalah pekerjaan berat.
Namun pelan-pelan tekad tersebut bisa terwujud, walau dari awal pemerintahannya, Irwan memulai dari kondisi yang sulit. Sumbar baru tertimpa bencana gempa, yang artinya kondisi Sumbar sangat tidak sehat dari segi anggaran. Malah ada istilah bagi orang-orang pemerintahan pusat, Irwan memulai pemerintahannya dari minus.
Mengapa tidak? Pascagempa besar telah meluluhlantakkan sebahagian besar infrastruktur publik dan pemerintahan di Sumbar. Akibatnya banyak program pembangunan dimulai dari awal lagi. Kantor pemerintah, sekolah, infrastruktur pelayanan kesehatan banyak yang roboh. Apa hendak dikata, berkantor pun Irwan tak bisa.
IPM menurun, ratio menurun dan segala ukuran keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan menurun. Pengangguran meningkat karena lapangan pekerjaan pascagempa besar banyak yang berhenti dan malah ada perusahaan yang tutup. Yang paling parah, laporan pelaksanaan anggaran sampai pada titik disclaimer.
Walaupun demikian, dengan tekad membaja, akhirnya selama lima tahun pertama pemerintahannya, Irwan berhasil memutarbalikkan semua kenyataan tersebut. Irwan meningkat, pengangguran menurun dan yang terpenting, laporan keuangan melesat tajam menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) enam kali berturut-turut.
Ratusan prestasi ditingkat nasional berhasil diraih dan itu bukan prestasi yang dibeli, tetapi adalah penghargaan resmi dari pemerintah pusat atas kinerja berbagai hal. Irwan sangat konsisten dalam penyelenggaraan tata laksana anggaran. Beliau berpesan kepada seluruh kepala SKPD, agar taat pada aturan dan jangan mempermainkan keuangan. Kalau ada yang macam-macam, akan langsung beliau pecat. Artinya, Irwan sangat konsisten memerangi korupsi, gratifikasi dan sangat antidengan penyelewengan.
Berkaitan dengan hal tersebut, beliau sangat memperhatikan masukan dari berbagai media masasa. Media massa bagi Irwan adalah mata dan telinganya dalam memperbaiki pemerintahannya. Banyak masukan dan kritikan dari media yang mewarnai keputusannya. Irwan tidak antikritik, malah sangat berharap ada kritik. Tetapi tentu saja kritik yang membangun, solutif, bertanggungjawab dan bermartabat.
Kemudian, Irwan selalu berupaya menjaga keharmonisan dengan berbagai jurnalis dan media. Beliau sadar, tanpa media dan wartawan, beliau kehilangan sahabat yang berani mengkritisi dan berikan informasi yang jujur kepadanya.
Lalu tiba-tiba di suatu hari, jagad politik dan publik di ranah Bundo tersentak saat beliau datang ke kantor polisi melaporkan sesuatu hal yang menurut beliau tak dapat lagi berdamai dengan hatinya. Batinnya menggemuruh, saat fitnah menyebar tanpa ruang dan waktu. Sanak keluarga, sahabat dan kaumnya (Irwan adalah Penghulu kaum suku Tanjuang di Kuranji), bertanya-tanya, apa iya ayahnya, datuknya, mamaknya, kader partainya, suaminya, keponakannya, anak pisangnya, induak bakonya, Irwan terlibat korupsi seperti yang dituduhkan seseorang terdakwa di luar sidang?
Sebenarnya hal ini tidak akan menjadi besar, jika ada perimbangan dalam pemberitaan. Jika saja hanya fakta persidangan yang diberitakan, tentu tak ada masalah. Tetapi itu urusan lain, saya ndak masuk ke ranah berita-berita itu, biarlah pakar yang mengurusnya.
Irwan mengadu ke polisi hanya karena tercemarkan nama baiknya. Itu saja. Jangan lari dari itu. Namun yang berkembang sekarang justru sebaliknya. Publik digiring, seolah-olah IP mengadu ke kepolisian adalah dalam rangka menolak dan anti terhadap pengungkapan kasus korupsi. Intinya, Irwan telah tertuduh secara opini tanpa pernah bisa membela diri. Lihat saja komentar netizen diberbagai media sosial, rata-rata mereka terpengaruh dan telah menuduh Irwan sebagai koruptor. Ini yang perlu diluruskan, ini yang perlu diklarifikasi.
Irwan tidak pernah mencampuri urusan kasus korupsi yang sekarang lagi dalam tahap persidangan. Irwan sangat tidak menerima tindakan koruptif, malah Irwan sangat mendukung gerakan anti korupsi. Ia sangat konsisten dengan hal ini.
Sebagai gambaran, kasus SPJ Fiktif ini yang pertama kali mengumumkannya ke publik adalah pemerintah provinsi sumbar atas instruksi Irwan sebagai gubernur. Beliau resah, beliau gelisah dengan adanya skandal korupsi itu. Makanya dalam kesempatan pertama setelah dapat laporan, Irwan selaku gubernur memerintahkan Sekda dan jajarannya untuk konferensi pers mengumumkan ke publik soal skandal SPJ Fiktif tersebut.
Jadi adalah aneh rasanya, persoalan Irwan mengadu ke Polda dianggap sebagai sikap melawan program antikorupsi, pembungkaman pers dan masalah Baznas. Padahal Irwan hanya berupaya mencari jalan keadilannya sebagai warga negara yang taat hukum. Apakah salah sebagai pribadi dan warga negara mencari keadilan? Bukankah hak-haknya dilindungi undang-undang? Justru kalau beliau diam, akan membenarkan opini yang telah berkembang. Tertuduh hanya karena opini belaka. Sungguh penggiringan opini yang menyesatkan.
Sebaiknya kita melihat substansi apa yang dilaporkan Irwan ke kepolisian. Yang dilaporkan bukan karya jurnalistik, yang dilaporkan bukan soal Baznas, yang dilaporkan bukan soal korupsi, tetapi yang dilaporkan adalah pribadi yang bersangkutan di Facebook. Dalam persoalan jurnalistik, Irwan akan menempuh jalur sesuai aturan yaitu ke Dewan Pers.
Mari kita menjadi orang-orang yang cerdas dan terbuka melihat persoalan. Jangan sampai kita tergiring opini, sehingga mengaburkan persoalan yang sebenarnya. Ingatlah, Irwan itu juga seorang manusia dan punya hak-hak yang sama dengan kita sebagai warga negara.
Sekali lagi, Irwanmengadu ke polisi bukan ingin menutupi kasus korupsi yang sedang terjadi, tetapi adalah karena merasa nama baiknya tercemar dan ingin menunjukkan kepada publik bahwa beliau tidak terlibat seperti yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Justru kalau beliau diam, masyarakat akan memvonis dirinya terlibat dalam kasus korupsi itu.
Janganlah dipakai alasan kebebasan pers untuk membungkus tindakan kita menghakimi seseorang. Kebebasan pers iya, tetapi harus bertanggungjawab. Apakah dengan kebebasan pers bisa sebebas-bebasnya?
Catat itu...
*Kepala Biro Humas Pemprov Sumbar