REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)
Apa yang muncul dari setiap aksi terorisme? Biasanya tiga hal: menimbulkan korban jiwa, muncul upaya adu domba, dan diikuti pembusukan Islam beserta simbol-simbolnya.
Tiga hal itu ibarat lagu yang dinyanyikan berulang-ulang. Korban jiwa jatuh, upaya adu domba marak, Islam menjadi tersudutkan. Begitu juga simbol-simbolnya: cadar, jenggot, jihad, dan semisalnya.
Pun pascatragedi bom Surabaya. Muncul pula pembunuhan karakter kelompok Islam, penumpang cadar diturunkan dari bus, santri bersarung diperiksa polisi, dan varian kecurigaan terhadap simbol-simbol Islam.
Miris. Teramat miris. Tidak ada satu manusia pun yang mendukung teroris, kecuali para teroris dan para penikmat keuntungan dari 'bisnis' teror itu sendiri. Kejahatan teroris selalu terkait guyuran dana yang besar dan berkelindan dengan kejahatan lainnya. Nanti kita bahas di tulisan ini.
Memberangus teroris dengan membusukan Islam, simbol dan umatnya: bukan solusi yang jitu. Sebaliknya, justru menjadi minyak bakar memperkeruh suasana. Lahan seksi mengadu domba.
Apalagi diiringi ketidakadilan stigma. Kalau pelakunya Muslim, langsung divonis teroris. Kalau non Muslim lolos dari stigma dan framing itu.
Si Leo sang bomber Batu Alam non Muslim, misalnya. Jelas-jelas mengebom, membahayakan, tapi tidak disematkan teroris.
Dus RMS, lalu para pengibar bendera Israel di Indonesia, koruptor, tak jua distempel penebar teror. Bukankah jauh lebih merusak dan membahayakan negara.
Dalam isu terorisme kerap pula muncul isu-isu tak sedap selain pembusukan Islam. Dari pembunuhan terduga teroris tanpa persidangan, kesimpulan tergesa-gesa, salah tangkap, atau beberapa kejanggalan.
Sampai-sampai dalam kasus bom Surabaya muncul fitnah keji terhadap ceramah Ustad Abdul Somad. Tausiahnya dua tiga tahun lalu, dipotong, diedit, diviralkan, kemudian dituduh: menghalalkan bom bunuh diri.
Padahal, tausiahnya seputar perang di Palestina dan amat berbeda dengan kasus bom bunuh diri di negeri damai Indonesia. Beliau pun segera merilis klarifikasi atas tudingan keji itu.
Betapa jahatnya pengedit dan penyebar video itu. Senang sekali memfitnah dan mengadu domba umat. Memperkeruh suasana di tengah duka bangsa.
Kasus terorisme ibarat bom waktu yang hanya dinyalakan sesuai momentum tertentu. Adalah aneh saat Ulama diteror, dibunuh, masjid dilempari, santri dipukuli: pelakunya dicap orang gila. Bukan sebagai teroris.
Saat kondisi adem ayem, tiba-tiba gereja diledakan. Ini teroris yang menggelikan. Kemana saat Ulama dikriminalisasi?
Maaf, bukan bermaksud berharap ada balasan kekerasan terhadap kekejian pada Ulama. Tapi sangat lucu bin aneh tidak ada apa-apa, tiba-tiba Mako dan Gereja jadi sasaran. Saat Ulama diteror, malah diam. Ini seperti teroris rasa adu domba.
Entah apa yang dicarinya. Dilihat dari segi manapun tidak ada yang dibenarkan dalam kasus teroris. Kecuali bagi mereka yang tujuannya memang untuk adu domba dan membusukan Islam.
Saya jadi teringat rumus ini, 18 Pedoman Komunis: berdusta, memutar balikkan fakta, memalsukan dokumen. Memfitnah, memeras, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras. Membenci, mencaci maki, menyiksa, memperkosa, merusak, menyabot. Membumi hangus, membunuh hingga membantai.
Teroris rasa adu domba persis sebuah pola yang kerap ditabuh komunis. Bukankah musuh utama komunis itu Islam dan pihak keamanan?
Teror Bom (ilustrasi)
Memeriksa dari dalam
Kemudian, menganggap semua ini rekayasa juga kesimpulan yang gegabah. Polisi dan pihak keamanan tetap perlu diberi apresiasi.
Saat yang sama, ada pula hal-hal yang kiranya patut dievaluasi dari tubuh umat Muslim sendiri. Saya menyebutnya memeriksa dari dalam.
Jika mengamati kronologi tiga bom yang dilakukan tiga keluarga beserta anaknya, amat kental indikasi pelaku menjadi korban cuci otak, doktrin, dan semisalnya. Tidak ada ibu yang tega mengajak anaknya meledakan diri kecuali jiwanya terganggu. Gangguan jiwa itu lebih pada akibat doktrinisasi.
Pertanyaannya kemudian: siapa yang mendoktrinnya? Bukanlah rahasia, amat mudah ditemui saluran informasi yang memberi ruang pada pengajaran kekerasan. Bahkan tutorial yang mengajarkan membuat bom.
Pun dalam sebuah tayangan video ceramah. Saat demo 212 gegap gempita, ada pihak yang justru menganggap demo itu sebagai bagian makar. Bahkan darahnya pendemo dihalalkan. Astaghfirullah.
Bagaimana mungkin sebuah ceramah menghalalkan darah Muslim lainnya? Saya tercengang melihatnya. Bukan saat demo 212 saja. Tapi dalam ceramah lain, dengan orang yang sama, enteng pula menghalalkan darah. Masya Allah.
Saya heran kenapa tidak ditangkap. Ini mengerikan sekali bagi umat yang labil jiwanya. Jika tak setuju demo, ya tak perlu ikut. Tanpa harus berstatement menghalalkan darah. Apalagi saat tausiah, di depan jamaah, direkam dan disiarkan di Youtube.
Tausiah yang mengandung ajakan kekerasan dan upaya adu domba sudah sepatutnya dilarang. Umat juga mulai diresahkan pada ceramah yang enteng memberi stempel bidah, sesat, kafir pada amaliah Muslim yang berbeda.
Masalah-masalah khilafiyah yang telah dituntaskan berabad-abad silam, diungkit kembali. Ukhuwah pun makin mengkhawatirkan. Koreksi-koreksi dari dalam tubuh umat ini patut pula dibenahi. Tidak melulu menunjuk pada indikasi rekayasa atau kesalahan mutlak pemerintah.
Ceramah-ceramah berisi takfiri atau mudah mengkafirkan Muslim sudah selaiknya dilarang. Kalau perlu ditegaskan, ditangkap. Ini telah menjadi embrio menanamkan kebencian, memecah belah. Bahkan sesama umat sendiri.
Diawali dari stigma negatif berupa bidah, sesat, kafir. Kemudian menghalalkan darah. Jika sudah demikian, mengerikan sekali. Hanya menanti waktu melakukan eksekusi berdarah. Naudzubillah.
Islam Rahmatan lil Alaamiin dihinakan menjadi fitnatan lil Alaamiin. Kita patut mendukung KTT Cendikiawan Muslim yang baru saja usai, 1-3 Mei lalu. Kembali membumikan Islam yang wasathiyah. Moderat, toleran, lembut, berkasih sayang. Rahmatan lil alaamin.
Mudah-mudahan usulan Pengurus MUI Abdul Moqsith Ghazali yang meminta Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menangkal terorisme melalui dakwah, juga bisa segera direalisasikan.
Ada sebuah kekhawatiran mendalam jika setiap isu teroris selalu menyudutkan Islam. Dampaknya umat Muslim terkekang dalam menjalankan agamanya. Timbul saling curiga, adu domba. Buntutnya makin memperkeruh suasana. Makin hilang kepercayaan rakyat.
Begitu pula ketika ceramah-ceramah takfiri dengan menanamkan kebencian pada sesama Islam masih dibiarkan. Umat makin terpecah tak karuan. Sudah sepatutnya hal-hal demikian perlu dibenahi sebagai alternatif menghilangkan doktrin-doktrin kebencian, lalu membumikan kedamaian. Bukankah agama adalah akhlak?
Teror yang sebenarnya
Pemerintah mengklaim telah memegang data jaringan teroris, tapi terganjal pembahasan RUU Terorisme yang masih alot. Antara lain terkait definisi teroris itu sendiri.
Tapi hal yang patut dipertimbangkan pula, ada baiknya jika sebelum disahkan, perlu dibuka ke publik. Terlebih masih ada pasal-pasal karet yang berpotensi justru melanggar HAM. Keamanan penting tapi jangan pula melanggar HAM. Sebab tindak kekerasan bisa timbul dari mandulnya penegakan HAM.
Gaduhnya UU Terorisme ini juga sedikit lucu. Vakum setahun lebih, tiba-tiba desakan revisi itu mencuat kembali pascakejadian bom. Lah kemana sebelum peristiwa Mako, Surabaya dan Sidoarjo terjadi.
Sayang pula draft dalam revisi UU itu, kategori teror hanya memasukan bentuk kekerasan dan fisik. Tapi tidak memasukan anomali kebijakan sebagai bagian teror.
Bukankah anomali kebijakan bisa memunculkan kenaikan harga, tidak meratanya keadilan, ketimpangan hukum, kesejahteraan, kesulitan ekonomi, maraknya korupsi yang menjadi teror berkepanjangan bagi rakyat? Inilah teror yang sebenarnya.
Teror yang mampu menjadikan masyarakat benar-benar ketakutan hingga ada yang memutuskan berbuat salah kaprah mengambil tindakan: penipuan, berbuat kriminal, pembunuhan, suap, mencecap pemerintah sebagai thagut hingga melakukan tindakan super brutal pengeboman, yang ujungnya hanya membusukan Islam.
Bukankah pemerintah juga membeber: terorisme muncul karena kemakmuran tidak merata. Kenapa bukan akar masalahnya sendiri yang dibenahi?
Publik juga teringat statement Wiranto di media, pada 21 Maret 2012. "Terorisme lebih subur berkembang di daerah, tempat atau negara yang belum mampu mensejahterakan masyarakatnya." Demikian tegasnya, dilansir Okezone, 21/3/2012.
Faktanya, rakyat makin tercekik. Harga-harga melonjak naik, kemiskinan dimana-mana. Rupiah semakin loyo. Lantas ada kasus bom. Fantastis sekali bukan? Di tengah kesulitan ekonomi masih ada yang mampu membuat bom. Bukankah terorisme membutuhkan dana?
Soal dana terorisme mengajak memori berputar ke kasus narkoba. Kita jadi teringat statement resmi pemerintah yang menyebut: peredaran narkoba digunakan untuk mendukung dana terorisme.
Semua tentu tak lupa nama-nama seperti: Togiman, Haryanto Candra, Freddy Budiman, dan Amri Aco.
Yup, jaringan narkoba mereka bukan ecek-ecek. Tapi menggunakan perusahaan, bahkan bermain di ranah perusahaan penukaran valuta asing.
Membuka rekening luar negeri. Lalu menerima transferan dari Cina, Jepang, Ausi, India, dan lainnya. Narkoba tak bisa dilepaskan dari kejahatan berikutnya: pencucian uang. Begitu pula terorisme. Setali tiga uang.
Hal menarik dari list nama terakhir: Amir Aco. Ia pernah ketahuan memesan narkoba jenis ekstasi sebanyak 989 butir dari napi berjuluk Bos, di Lapas Nusakambangan.
Aco adalah tepidana mati, yang tahun 2014 saat berstatus narapidana seumur hidup melarikan diri dari Lapas Balikpapan.
Aco ditangkap lagi tahun 2015 dengan barang bukti 1,2 kilogram sabu dan ekstasi sebanyak 4.188 butir.
Agustus 2015, oleh Pengadilan Negeri Makassar dia divonis mati. Lantas ketawan lagi masih bisa mengendalikan narkoba dari dalam lapas. Demikian media mengabarkan.
Seru kan hukum Indonesia? Ini baru satu jaringan, dari satu kasus. Sila hitung sendiri uang yang dihasilkan. Hitung pula berapa anggaran yang digelontorkan untuk pencegahan narkoba?
Lantas, ketika sudah ada terpidana mati, bukan dieksekusi tapi justru bisa mengendalikan peredaran dari dalam jeruji. Kenapa sudah tertangkap, divonis, tak jua dieksekusi. Malah mampu jadi pengendali.
Terorisme, narkoba, dan kejahatan sosial lain tercipta dari kondisi sosial ekonomi yang terganggu. Seperti yang diutarakan pemerintah sendiri. Jika demikian, kenapa tidak juga memutus mata rantainya?
Bangkitkan ekonomi, sejahterakan masyarakat, tegakan hukum yang berkeadilan. Sayang seribu sayang, yang terjadi, persis di hari ledakan bom Surabaya, media juga mengabarkan hal mencengangkan: ada impor beras 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand. Luar biasa.
Sebelum menutup tulisan ini, mari mengingat kembali apa yang pernah diutarakan alm Letkol (Purn) Petrus Sunyoto. Beliau pasukan Kopassus yang meraih penghargaan Prajurit Terberani TNI, penghargaan Green Baret dari AS sebagai Instruktur Strategi Perang Gerilya. Sekaligus pasukan pertama yang dilatih antinteror.
Beliau menegaskan, operasi antiteror itu senyap. Ia mencotohkan penangkapan Osama, semua senyap. Bagaimana di Indonesia?
Operasi antiteror yang diblow up besar-besaran, dinilainya sebagai tiga hal. "Pencitraan, pengalihan isu atau operasi dengan misi tertentu." Ah, entahlah...
Dari kejadian demi kejadian ledakan bom dan melahirkan adu domba anak-anak bangsa, seolah sebuah genderang yang bisa saja ditabuh komunis, tapi menggunakan jubah agamis. Bukankah komunis maha lihai menyusup, memecah, dan mengadu domba?
Turut berduka bagi seluruh korban jiwa dan luka-luka. Semoga aparat bisa membongkar seluruh jaringan terorisme dan para pendoktrinnya. Agama tidak pernah mengajarkan membunuh. Apalagi meledakan diri dan orang tak bersalah.
Damai Indonesia, sejahtera Bumi Nusantara. Mudah-mudahan tak ada lagi stigma negatif pada Islam, simbol, dan umatnya.
Kalau pencuri tertangkap saat memakai kaos merah, bukan berarti semua yang berkaos merah adalah pencuri. Begitu pula bila pelaku teror ada yang bercadar atau berjenggot, tak semua yang bergaya sama sebagai teroris.
Ya Qohar, Ya Jabbar, lindungilah Indonesia dari segala macam upaya pecah belah, adu domba dan kekerasan: dari luar dan dalam. Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati masalah sosial tinggal di Jakarta