Oleh Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku"
Galileo Galilei (1564-1642) mempertaruhkan pendiriannya dalam astronomi di hadapan otoritas agamanya. Pendapat Galilei bahwa bukanlah matahari yang mengelilingi bumi, melainkan bumilah yang mengedari matahari, menantang kemapanan doktrin otoritas Tahta Suci.
Akankah ia senasib dengan Giordano Bruno (1546-1600), yang juga mengesampingkan bumi sebagai pusat semesta? Karena meyakini bahwa bumi bukanlah semata-mata dunia ini dan matahari bukan pula pusat alam, Bruno menjadi martir atas pendiriannya dengan jalan dibakar. Pantang baginya untuk menarik pendapat yang diyakininya kebenaran.
Kini, Galilei juga diposisikan pada sudut yang tak berbeda: penentang fahaman agama.
“Dia dipandang salah, karena di dalam Taurat tersebut bahwasanya Nabi Yusya’ dengan mu’jizatnya pernah menahan perjalanan matahari sehingga ditambatkan akan (hadirnya) malam,” ungkap Buya Hamka dalam pengisahan di atas di majalah Gema Islam No 3 Tahun I (15 Februari 1962).
Dalam tulisan berjudul “Untuk Jadi Perbandingan” itu, Buya Hamka bercerita bahwa Galilei sebenarnya tidaklah membantah agamanya. Galilei menuding kekeliruan para pencatat kejadian yang dtulis dalam Taurat. Kalau penulis Taurat itu tahu ilmu falak, demikian Galilei berargumen, tentu pencatat itu akan berkata bahwa bumilah yang ditahan sementara waktu mengelilingi matahari.
Argumen Galilei tersebut jelas amat bertolak belakang dengan otoritas keagamaannya. Ia pun dipaksa mencabut pendiriannya tersebut.
“Saya tidak dapat memungkiri diri saya sendiri. Karena saya yakin akan kebenarannya. Tuhan Allah sendiri yang telah menjadikan alam dalam peraturan demikian. Yaitu bumi mengelilingi matahari, bukan matahari yang mengelilingi bumi,” jelas Galilei, sebagaimana dikisahulangkan Buya Hamka.
“Engkau jahat, kepala batu dan sombong. Apakah engkau sangka bahwa Tuhan berpihak kepada engkau dan memungkiri kitab suci-Nya sendiri?” sergah Ketua Mahkamah yang mengadili Galilei.
“Kitab yang Tuan katakan suci itu, bukanlah Kitabullah. Dia adalah kitab orang Yahudi, yang mereka tulis menurut semau-mau mereka saja. Apakah akan kita terima pula isi kitab yang dikatakan suci itu, yang mengatakan bahwa tanah Kanaan dijadikan Tuhan hanyalah semata-mata untuk orang Yahudi, sebagai tanah yang dijanjikan buat mereka saja? Padahal kita tahu bahwa seluruh kepingan tanah dunia ini adalah untuk seluruh ummat manusia, bukan untuk ummat yang tertentu? Kalau diturutkan bunyi ayat itu, niscaya yang bukan Yahudi harus keluar dari sana, dan segala orang Yahudi di dunia musti pulang ke sana.”
“Kalau begitu engkau tidak percaya bahwa Taurat Kitabullah?”
“Saya tidak percaya.”
“Engkau tidak percaya bahwa dia wahyu Ilahi?”
“Saya percaya akan wahyu Ilahi, tetapi saya berkesimpulan bahwa orang Yahudi telah banyak memasukkan yang tidak-tidak ke dalam catatan wahyu itu untuk muslihat mereka. Satu di antaranya ialah hikayat Nabi Yusya’ menahan matahari itu.”
“Kami tidak hendak berdebat dengan engkau, fasal hikayat Nabi Yusya’. Yang nyata sekarang ialah bahwa engkau tidak mau mencabut kembali kepercayaanmu yang salah tentang bumi beredar mengelilingi matahari itu.”
“Memang!”
“Kalau demikian, dewan kami ini pasti akan menghukum engkau. Engkau akan disiksa sampai mati. Pengesahan hukuman ini ditandatangani oleh Bapak (Paus) Yang Maha Suci sendiri. Dan hukuman ini akan dijalankan kalau engkau masih berkeras kepala, tetapi akan ditinjau kembali kalau engkau kembali ke jalan yang benar.”
Setelah menerima keputusan itu, dia pun dihantar keluar.
Di tengah jalan keluar itu, dia masih menghentakkan kakinya ke tanah. “Bumi berputar keliling matahari, berputar, berputar,” katanya.
Bukan main murka Majelis Kardinal melihat sikap tegangnya yang tidak kenal menyerah itu, sehingga dipercepatlah perjalanan hukuman, demikian cerita Buya Hamka. “Siksaan-siksaan lahir dan batin yang begitu keras terhadap dirinya, menyebabkan jantungnya lemah, dan dia pun matilah dalam penderitaan hebat itu, pada 9 Januari 1642, dan dikuburkan di Florence,” kenang Buya Hamka.
Membakar, menghukum, menyiksa ahli-ahli ilmu pengetahuan atau orang yang dipandang durhaka oleh para pemuka agama yang berkuasa penuh tetapi bodoh itu, adalah pengalaman yang tidak boleh berulang di tengah Muslimin.
Pesan Buya Hamka ini seakan untuk mengeraskan komitmen kalangan intelektual Muslim agar tidak perlu takut jatuh dalam dera dan siksa seperti Giordano Bruno ataupun Galileo Galilei. Betapa tidak, bentangan ayat-ayat Allah diperkuat hadits-hadits, tidak mengenal pemasungan kebebasan menafakuri alam semesta ini.
Semasa menceritakan kisah di atas, Buya Hamka sendiri merasakan seperti hantaman di dada ketika mendapati kenyataan di tubuh Muslimin. Pasalnya, pada sekira 1960, seorang mufti di Malaya menolak keras fakta adanya kemungkinan manusia untuk pergi ke bulan.
Kenyataan Lunik III berhasil mengelilingi bulan, seperti bukan berita kebenaran. Sang mufti bersikukuh bahwa manusia mustahil sampai ke bulan lantaran perlunya perjalanan 500 tahun untuk tiba; sebuah penyimpulan yang didapat dari analisisnya pada kitab-kitab.
Buya Hamka tak menutupi kegeraman kejumudan di kalangan pemuka umat ini seperti dalam kasus sang mufti di Malaya tadi.
“Padahal, jangankan Quran dan Hadits, kemajuan filsafat dalam ilmu kalam pun telah mengatakan bahwa sesuatu yang dapat dibayangkan dengan khayal, misalnya orang terbang ke langit atau bukti menjelma jadi emas, tidaklah mustahil, melainkan jaiz, artinya boleh jadi,” sergah Buya Hamka.
Buya Hamka mensinyalir sikap taqlid berada di balik pola berpikir yang anti-pengetahuan. Sebaliknya, Buya Hamka mengasa hadirnya keterbukaan dalam menyelidiki satu perkara keilmuan. Katanya, “Islam yang menganjurkan kebebasan berpikir dengan nama ijtihad. Islam yang menyuruh berjuang, menegakkan keyakinan dengan nama jihad!”
Dalam tulisan berbeda, Buya Hamka pun menasihati begini: “Kalau Anda berbakat keilmuan, hendak menjadi sarjana, tinjaulah tuhan dari jendela ilmu, ke dalam lapangan alam. Alam yang diatur dengan peraturan yang ajaib, mengherankan dan halus.
Bertambah dalam ilmu digali bertambah nampak keganjilan yang baru, yang tadinya belum diketahui. Bertambah yakin kita bahwa semuanya ini mustahil terjadi atas kehendak sendiri” (“Dari Jendela Ilmu”, Pandji Masjarakat No. 13 Tahun I, 15 Desember 1959).
Peranan orang-orang berilmu, di antaranya yang menggeluti dunia sains atau eksakta dalam paparan Buya Hamka di atas, jelas memiliki kedudukan berarti dalam Islam. Dorongan sebagaimana dikemukakan Buya Hamka amat relevan tatkala kecurigaan pada kapasitas intelektual dan moral sarjana eksakta belakangan ini dipandang tak adil oleh sebagian kalangan.
Dalam narasi radikalisme Islam, sering kali anak-anak muda yang menimba ilmu di bangku eksakta diposisikan tak nyaman. Bahwa nalar mereka cenderung saklek dan rigid sehingga mudah dipapar ajakan kelompok yang doktriner. Bahwa mereka jamaknya awam berislam lantas mudah dicekoki dengan pemahaman radikal.
Bahwa mereka kurang kritis menimbang ragamnya pendapat dalam Islam. Bahwa dan bahwa lain sebagainya yang intinya kalangan yang duduk di bangku perkuliahan eksakta bak kerbau yang dicocok hidungnya mengikuti kemauan tuannya.
Simpulan-simpulan dari para pengamat, peneliti, ataupun akademisi seputar radikalisme di dunia kampus itu sangatlah tidak adil dan masih diselubungi asumsi-asumsi yang perlu ditelaah lebih jauh. Ada kesan, kapasitas intelektual mahasiswa eksakta diremehkan, seakan mereka kertas putih yang bisa dicoret semaunya oleh kalangan pengganas.
Seakan-akan tak ada sikap kritis dan skeptis para mahasiwa itu laiknya para saintis. Kenyataan ada segelintir mahasiswa eksakta membeo pada bujukan radikalisme, tak patut dipukul rata dan dijadikan ciri atau fenomena umum.
Sebagaimana tak adilnya anggapan bahwa mahasiswa yang duduk di bangkut kampus Islam negeri tertentu bakal jadi liberal atau sekular. Pergulatan calon sarjana sains untuk berdebat dengan fakta dan premis pembujuk seperti dinihilkan.
Penyimpulan yang meremehkan kapasitas mahasiswa eksakta tentu bukan dorongan bagus serupa Buya Hamka di atas. Malahan semacam penakut-nakutan yang berlampauan kepada hadirnya talenta emas negeri ini, disadari ataupun tidak.
Liputan dengan cakupan besar di media-media yang mengamini penjelasan pihak-pihak di atas seputar “kelemahan” mahasiswa eksakta jelas sebuah pelecehan pada kemampuan anak bangsa sendiri dalam memilah dan memilih kebenaran. Terlebih bagi anak muda Muslim, yang mestinya paham tidak ada tempat dalam agamanya untuk menjadi peneror dalam posisi apa pun.
Arkian, pengisahan dan nasihat Buya Hamka ini seyogianya bisa jadi pengingat bagi sesiapa saja yang berlebihan dalam membuat telaah sosial, yang hasilnya cenderung memojokkan pada calon saintis negeri. n