REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jatim; E-mail: [email protected]; [email protected]
Di mana ya bisa membeli orang kritis? Tentu di bidang yang ia kritik. Bagaimana caranya membeli orang kritis? Bisa dengan berbagai cara.
Setidaknya ada dua cara yang paling persuasif. Yang pertama, dengan penawaran jabatan. Orang kritis jika diberi jabatan di bidang yang ia kritisi, jelas memberinya ruang segar untuk mengaktualisasikan kemampuan/potensi yang ia miliki.
Yang kedua, bisa dengan penawaran komisi. Orang kritis biasanya banyak ide untuk perubahan. Ia pun akan rela berkorban besar demi mewujudkan kritisannya itu. Karenanya, bisa jadi juga ia memerlukan dana/komisi untuk membiayai segala kritisannya agar tak sekedar bertajuk angan-angan.
Tapi bagaimana pun, kedua cara di atas adalah strategi yang menyimpan potensi bahaya menuju terbelinya orang-orang kritis ini. Atas hal ini, pihak-pihak yang dikritisi justru telah menyimpan 'kartu As' orang-orang kritis. Orang-orang kritis ini dapat berkurang kekritisannya jika diberi jabatan atau dana. Maksudnya, seseorang yang diberi dana akan membela kepentingan pemberi dana. Dan secara fakta, hal ini sungguh terjadi dalam praktik politik praktis saat ini.
Sekedar contoh saja sebagai pembelajaran kita. Masih ingat Andi Malarangeng (AM)? Saat momentum reformasi 1998, ia menjadi ikon aktivis muda yang kritis terhadap penguasa. Popularitasnya tak terbendung, membius semua kalangan yang rindu perubahan pascatitik jenuh Orde Baru.
Namun apa yang terjadi beberapa tahun setelahnya? Yakni ketika ia menjadi anak emas penguasa. Kekritisannya sungguh berbalik 180 derajat, menjadi kesetiaan yang luar biasa kepada rezim. Yang seperti ini, sangat lekat dengan makna kedua jenis persuasi kepada orang kritis tadi, untuk membuktikan ia telah terbeli.
Contoh lain sosok yang telah terbeli, namun terkhusus untuk merangkul kalangan umat Islam, misalnya ketika ada seorang politisi suatu parpol yang mengatakan bahwa penguasa saat ini seperti Khalifah Umar bin Khaththab ra. Juga ketika ada mantan seorang kritis yang kini telah menjadi orang Istana, dengan lugas menyatakan bahwa penguasa saat ini adalah wakil Tuhan. Atau sosok-sosok lain, yang telah berubah jurus argumentasinya. Yang sebelumnya kritis, sekarang jadi membela yang bayar.
Proses ‘membeli’ dan ‘terbeli’ inilah yang kemudian menjadi deal-deal politik hingga membentuk sosok para politisi kutu loncat. Apatah kalimat yang layak bagi sosok-sosok serupa AM kecuali ia memang telah terbeli? Toh sistem kehidupan di negeri kita memang meniscayakan nominal biaya untuk sekedar mencari kader politik. Konsep ‘wani piro’ sudah umum dilakukan. Semua itu demi pendulangan suara kala berlaga di pesta demokrasi. Padahal kesetiaan pada uang dan jabatan, tiada yang abadi. Uang dan jabatan itu sendiri pun cepat atau lambat, akan habis dan sirna.