Sabtu 02 Jun 2018 06:31 WIB

Pesan Nuzul Alquran

Melihat kejadian itu, akhirnya Muhammad pun lari terbirit-birit

Alquran/Ilustrasi
Alquran/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Moh Nurul Huda, Pengajar di Ponpes Daar al-Qalam dan Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo Semarang

Salah satu kebiasaan Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul adalah bertahannuts. Menyendiri, menyepi ke suatu tempat yang sunyi, bertapa atau menjauhkan diri dari keramaian untuk berkontemplasi.

Kebiasaan Muhammad melakukan ritual tersebut sering dilakukan oleh keturunan Ismail AS. Ritual demikian juga merupakan bias akibat kondisi sosial yang jauh dari kata ideal. Sebab kebudayaan yang hadir di pelupuk matanya seolah menyekat akal sehat, bergumul dengan berbagai kebengisan, kedengkian, dan jauh dari naluri kemanusiaan hingga melahirkan beragam kejahiliyahan.

Nyaris seluruh sektor yang bergantung pada tatanan kehidupan diselimuti oleh pekatnya kabut kejahiliyahan. Kebudayaan perang antarsuku yang kerap kali berkobar demi menunjukkan eksistensi atas kekuatan yang dimiliki (safak al-dhima’).

Kebiasan perdagangan yang selalu hanya mementingkan keuntungan tanpa memikirkan riba yang sesungguhnya dijalankan. Kebiasaan tentang menganggap hina kaum perempuan hingga harus dikubur hidup-hidup saat dilahirkan. Keyakinan menganggap berhala sebagai sesembahan yang harus disembah karena dianggap dari sanalah beragam perlindungan didapatkan. Dan beragam kebudayaan lain yang senapas dengan ironi demikian.

Berangkat dari getirnya kenyataan itulah, tahannuts dilakukan guna merenungkan secara total tentang beragam kebiadaban agar bisa berubah menuju keadaban. Gua Hira yang terletak di tebing Jabal Nur adalah saksi bisu atas perjalanan demikian.

Di sanalah Muhammad menyatakan keluh kesahnya. Menyatu dengan alam, menikmati heningnya sepi yang menggetarkan. Dan pada tanggal 17 Ramadhan, hijab itu pun terbuka. Jibril datang kemudian mendekap Muhammad dan berkata “Bacalah”, sampai ketiga kalinya ia kemudian melanjutkan wahyunya. Dan disebutlah sampai saat ini QS al-Alaq: 1-5 sebagai wahyu pertama (Martin Lings: Muhammad).

Melihat kejadian itu, akhirnya Muhammad pun lari terbirit-birit. Sebab ia takut bahwa sosok yang menemuinya tadi adalah jin sebagaimana yang dialami penyair pada masa itu. Karena para penyair seolah menyatu dengan para jin dan mengeluarkan retorika bahasa yang indah dan bermakna (Baca: Majnun).

Terlepas dari kisah demikian, sesungguhnya harus disadari bahwa perintah pertama yang diberikan kepada Nabi Muhammad adalah membaca. Meski dalam beragam versi beliau menjawab secara jelas bahwa Ia adalah orang yang tak bisa membaca-Ummy; tak bisa membaca tapi memiliki daya ingatan yang kuat. Namun, dalam hal ini bisa diambil hikmah dari tujuan wahyu pertama dengan tanpa melalaikan visi pengetahuan.

Literasi pengetahuan

Tentu dengan melihat sepenggal kisah demikian, menarik untuk dikaji lebih dalam tentang turunnya wahyu Alquran. Sebab dalam peradaban manapun, tradisi membaca adalah satu dari interpretasi untuk memuliakan ilmu pengetahuan.

Wujud etos kerja membaca itu tentu sangat dibutuhkan guna melahirkan generasi yang paham dengan pengetahuan. Bahkan, lewat kata Iqra’ itulah, seolah Tuhan juga ingin menunjukkan kepada Muhammad bahwa kejahiliahan itu mulai berawal. Alhasil, absennya tradisi membaca, atau membaca itu sudah dilakukan tapi tanpa “bi ismi rabbika”-mengenal nilai-nilai ketuhanan-menyebabkan kejahiliahan itu terbuka (Asep Salahudin: 2016).

Keharusan membaca pada konteks itu tampak menjadi celah bahwa kebutuhan membaca adalah proyeksi penting yang harus disegerakan. Karena diakui atau tidak, membaca-dengan arti luas-adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh guna merobohkan pohon kebodohan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement