Oleh: Lukman Hakiem, Mantan Stah Ahli Wapres Hamzah Haz, Staf Moh Nastir, dan mantan anggota DRP RI.
Di antara banyak tokoh pendiri Republik, tentu mustahil mengabaikan dua tokoh: Ir Sukarno (1901-1970), dan Mohammad Natsir (1908-1993).
Kedua tokoh ini sama-sama dibesarkan dalam suasana pendidikan di kota Bandung. Sukarno belajar di Technische Hoge School (THS, sekarang Institut Teknologi Bandung). Natsir belajar di Algemene Midelbare School (AMS, sekarang Sekolah Menengah Atas). Di Bandung ini pula, Sukarno dan Natsir bertemu dengan mentor agama, seorang puritan: Ustadz Ahmad Hassan (1887-1957).
Di Bandung pula, kecenderungan politik kedua tokoh semakin terlihat. Pada 1957, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan visi dan missi yang sangat jelas: mendirikan negara nasional yang memisahkan urusan agama dari urusan negara.
Saat itu, ketika hubungannya dengan A Hassan makin intens, Natsir makin kehilangan selera untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan nilai kelulusan yang sangat baik, Direktur AMS memberi tahu Natsir bahwa anak muda itu memiliki peluang melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau ke Fakultas Ekonomi di Belanda. Natsir dapat masuk ke dua sekolah tersebut tanpa test dan mendapat beasiswa siswa.
Peluang lainmya ialah menjadi pegawai negeri dengan gaji per bulan 130 gulden. Penghasilan yang lebih dari cukup untuk seorang bujangan di masa itu.
Entah mengapa, semua peluang itu tidak menarik minat Natsir sama sekali. Dia merasa ada satu lapangan yang lebih strategis untuk ditekuni.