REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana *)
Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi, menjadi tempat Hamka pada umur 14 tahun menimba ilmu bersama Syeikh Ibrahim Musa. Pada waktu itu, Malik—begitu Hamka dipanggil keluarga dan warga setempat—masuk di kelas 6, meneruskan pendidikan sebelumnya di Padang Panjang. Di Parabek ini, Malik sekelas dengan murid berumur 25 hingga 30 tahun, bahkan lebih. Dialah peserta paling muda.
Meski Parabek merupakan tempat belajar mengaji dan tauhid, kepercayaan warga pada takhayul masih kuat. Di lepau-lepau (kedai/warung--Red) tema takhayul lazim diperbualkan. Di lepau Ma’ Kayo, misalnya, topik hantu dan induk bala jadi perbincangan warga dan para murid di surau Parabek.
Malik tidak asing dengan soal semacam ini. Saat mengenang kejadian ini, Malik yang kemudian populer disapa “Hamka” menuliskan dalam Kenang-kenangan Hidup I (terbit kali pertama pada 1951).
“Bila penyakit menular sedang mengamuk hebat,” kenang Hamka, “kata mereka, adalah ‘orang halus’ merupakan dirinya dan berjalan masuk kampung keluar kampung menyebarkan penyakit.”
“Orang halus” yang menyebarkan penyakit itu digambarkan berselimutkan kain panas dan raut muaknya kejam lagi menakutkan. Kadang-kadang, ia membawa kembut (kantong dari anyaman pandan) berisikan penuh tulang belulang.
“Dongeng-dongeng itu sangat masuk ke dalam hati orang kampung,” ujar Hamka. Herannya, mereka justru bosan mendengarkan dongengan yang diulang-ulang saban waktu itu.
Suatu malam, Malik berada di lepau Ma’ Kayo. Orang ramai berkumpul di sana. Diperdengarkan entah untuk keberapa kalinya dongeng “induk bala”. Empu lepau ini termasuk yang senang bercerita. Menurutnya, ia pernah bertemu dengan si orang halus itu tatkala merantau jauh dari kampung halaman. Sebenarnya, makhluk itu manusia juga, hanya saja dapat berubah jadi harimau.
“Tandanya ialah tidak berbandar di bawah hidungnya,” terang Ma’ Kayo pada pengunjung lepau. Cakap Ma’ Kayo kian malam bukan berkurang. Kata-katanya seperti tak pernah habis untuk menarik minat warga agar tak pergi.
Tapi, malam itu, Ma’ Kayo belum tuntas berbual, orang-orang di hadapannya berlarian. Ia sendiri gemetar ketakutan. Kegaduhan malam itu tak terhindarkan di lepau Ma’ Kayo.
Di pintu lepau, berdiri semakhluk dengan rupa amat menakutkan! Mukanya bercoreng-moreng, serupa harimau, hitam dan putih.
“Berserban kain putih, berselimut kain selimut yang telah tua. Bertongkat, bercelana hitam dalam, hingga kakinya tidak kelihatan. Ditengoknya segala yang duduk itu dengan mata yang tajam dan sangat menakutkan,” deskripsi Malik atas wujud sosok yang amat mengagetkan kehadirannya itu.
Ma’ Kayo rupanya tak menyangka, cerita barusan yang begitu semangat dihamburkan pada para pengunjung lepau kini benar-benar nyata! Tukang dongeng yang lain, tak seperti hari-hari terdahulu, seperti patah lidah sukar bersuara. Pengunjung lepau sendiri sudah kehilangan akal, menyembunyikan kepala di dinding. Tak ada jalan lari, sebab di pintu lepaulah si makhluk berdiri tegak.
Hanya semenit saja sebenarnya makhluk itu berdiri. Tapi, tak ada satu kepala pun seisi lepau itu berani menegur. Sampai akhirnya tiba-tiba makhluk itu memutar muka lalu berpaling pergi di kegelapan malam. Beberapa detik berikutnya barulah suara-suara di dalam lepau bersahutan melepas ketakutan.
“Hantu….!”
“Induk bala…!”
Tak perlu waktu lama, kabar kejadian di lepau Ma’ Kayo tersiar ke mana-mana. Termasuk ke surau tempat Malik belajar. Yang tengah menghafal, berhenti. Yang sedang mengaji, berhenti.
Orang-orang bergegas ke lepau Ma’ Kayo. Ma’ Kayo sendiri masih belum bisa bicara. Ia, kali pertama tampaknya, betul-betul patah lidah hingga tak bisa berucap satu kata pun. Orang-orang pun meminumkan air beras untuknya.
Sebagian warga ada yang melapor ke Syeikh Ibrahim Musa. Sang Syeikh menangkis soal hantu. Ia menduga makhluk yang ditakuti warga kampung itu tak lain jin Islam.Tidak mungkin setan menggoda ke tempat orang mengaji, ujarnya.
Engku Labai Ahmad menambahkan, jin Islam itu menampakkan diri karena di surau ini sekarang banyak dosa. “Banyak pergaulan yang kurang bagus dan mencolok mata, (baik) di antara yang telah dewasa dengan yang kecil-kecil,” katanya.
Pemuka kampung yang lain, Engku Labai Sain hanya diam saja. Malam kejadian itu, ia tidak berada di kampung. Sang engku ini sebenarnya tak percaya soal dongengan warga, tapi ia tak berani mematahkan keyakinan mereka.
Yang juga dihormati warga, Engku Datuk Sati, turut mengingatkan pula. Katanya, sembari menyitir perkataan orang tua-tua, jin Islam itu memang ada di Parabek. “Dia keluar sekali-kali memberi peringatan, kalau adat telah dilanggar orang, yang tua tidak dihormati.”
Mendengar nasihat para alim dan para engku terhormat, beberapa pemuda bermaksud mencari makhluk yang muncul di lepau Ma’ Kayo. Tombak, kapak, dan pisau sudah mereka persiapkan. Hanya saja, niat mereka dicegah orang tua-tua. Takut ditimpa balak, kata mereka.
* * *
Pada malam kejadian, saat Ma’ Kayo masih bercerita dengan antusias soal hatu dan induk balak…
Alih-alih ketakutan, Malik mendapat inspirasi. Diam-diam ia menyelinap keluar lepau. Di surau ia dapati teman-temannya masih asyik menghafal Alfiyah—kitab matan karya Ibn Malik. Tanpa mereka ketahui, Malik membawa selimut usangnya berikut celana hitam, palang pintu surau, dan kapur.
Di bawah kolong surau, putra ulama besar Minangkabau, Haji Rasul, ini menggiling kapur dan bara. Lantas mengoleskannya ke muka. Usainya, dipakai serban dan selimut yang akan digunakan untuk jalankan misinya: melangkah ke lepau Ma’ Kayo!
Hasilnya sesuai rencana. Orang-orang di lepau itu ketakutan melihat dirinya! Gembira hatinya bukan main. Saat semua orang bergemetaran dan berpaling ke dinding, Malik langsung kabur menuju surau.
Tiga hari lamanya sejak “penampakan” itu orang-orang bungkam soal makhluk nan menakutkan. Berangsur surut orang-orang yang biasanya banyak bercakap di lepau soal-soal hantu. Percakapan soal hantu berkurang dari sebelum kehadiran mendadak “makhluk halus”.
Malik tetap Malik, yang masih seorang kanak-kanak. Tiga hari saja ia menahan rahasia. Sampai akhirnya ia membuka rahasia pada kawan-kawannya anak kampung Parabek. Kepada Dani dan Gaffar, ia angkat suara bahwa jin Islam itu tak lain dirinya.
Pengakuan itu sontak mengejutkan, juga… memalukan! Ya, bagi mereka yang senang berbual dan percaya takhayul. Engku Nawa membantah pengakuan Malik. Ruba’in, pencerita hantu paling antusias di lepau, setali. Jangan tanya juga Ma’ Kayo, murka sangat pada Malik lantaran malu.
Ada juga yang sampai naik pitam gara-gara “ulah” Malik itu. “Kalau saya tahu hari itu, bahwa engkau, saya benamkan engkau masuk tebat (empang)!”
Malik sendiri rupanya spontan saja dalam melancarkan aksinya. Kala mengingat ulahnya malam itu, berdiri juga bulu romanya. Bukan soal hantunya, melainkan keselamatannya. Betapa tidak, bagaimana bila para pemuda yang malam kejadian benar-benar memburu “makhluk halus” itu?
“Lebih banyak orang yang marah dari yang ketawa. Sebab dongeng hantu, jin Islam, induk bala, dengan sendirinya telah berhenti,” tulis Hamka mengenang “kejahilan” masa kecilnya yang menyejarah di Parabek hingga kini itu. Khas “kenakalan” seorang bocah tapi mengubah tatanan kepercayaan yang sangat bertolak belakang dengan tauhid dalam Islam.
Malik, Hamka kecil, memang kadung dicap nakal. Bukan hanya oleh ayah dan ibunya, atau keluarga besarnya, tetapi juga—seperti pengakuannya di buku—seantero kampung di sekitaran Danau Maninjau. Kenakalan khas anak tapi menerbitkan satu keunikan dan keunggulan bagi yang mencermatinya. Haji Rasul sendiri, terlambat menyadari itu. Padahal, bisa jadi “kenakalan” Malik itulah kilauan kreativitas yang bertahun-tahun kemudian tampak dari sosoknya sebagai orang besar di negeri ini, bahkan masih terkenang kiprahnya hingga kini.
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".