REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Nasir Djamil, Anggota Fraksi PKS DPR RI
Pemilu legislatif tahun 2019 yang akan datang, bukan hanya soal daftar pemilih tetap (DPT) yang dipersoalkan oleh partai pengusung Prabowo dan Sandi, masalah calon legislatif (caleg) mantan narapidana tindak pidana korupsi (napi tipikor) juga masih dalam sengketa.
Berawal dari pengaduan caleg mantan napi tipikor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 untuk pencalonan anggota DPR dan DPRD. Dalam PKPU tersebut melarang –salah satunya- caleg yang pernah terjerat kasus korupsi.
Bak kata pepatah pucuk cinta ulam pun tiba, sejumlah Bawaslu di daerah mengabulkan gugatan caleg tersebut. Dalam putusannya, Bawaslu juga meminta KPU di daerah tersebut agar tetap meluluskan dan meloloskan mereka dalam daftar calon tetap (DCT) pileg 2019. Ibarat dua jagoan yang sedang bertarung, KPU pun memerintahkan kepada KPU di daerah untuk menunda meloloskan mereka.
Pro dan kontra pun bergulir. Mereka yang pro KPU memberikan stigma negatif untuk Bawaslu. Badan yang memang dibentuk untuk mengawasi KPU dinilai tidak antikorupsi dan mendukung hadirnya penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN. Bawaslu juga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena bertindak di luar kewenangannya. Langkah Bawaslu itu, oleh yang pro KPU berpotensi ditiru oleh lembaga lainnya.
Sedangkan pihak yang kontra dengan PKPU menilai KPU mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Pemilu No 7 Tahun 2017. Sejatinya KPU mengurus dan memastikan penyelenggara pemilu, baik legislatif maupun presiden, di setiap provinsi, kabupaten, dan kota memilik komitmen yang kuat untuk menghadirkan pesta demokrasi yang berintegritas, terbuka, jujur, adil, dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Mereka harus kokoh seperti batu karang yang dihempas ombak. Isu-isu negatif tentang KPU pada pileg dan pilpres di tahun 2014 lalu, tidak boleh kembali terulang.
Pertanyaannya, benarkah Bawaslu bertindak di luar kewenangannya? Dalam UU Pemilu, tugas Bawaslu adalah melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran dan sengketa proses pemilu. Bisa jadi PKPU tersebut dinilai oleh Bawaslu telah melanggar hak asasi manusia sang caleg dan aturan yang lebih tinggi yang mengatur keikutsertaan para caleg.
Pada pasal 240 UU Pemilu hanya menyebutkan bahwa eks napi yang telah dihukum selama lima tahun atau lebih bisa mencalon diri, selama mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka. Tidak ada larangan dalam regulasinya. Jadi kenapa Bawaslu disudutkan ? Masih di dalam aturan yang sama, justru KPU Provinsi bertugas melaksanakan putusan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi.
Para caleg mantan tipikor telah diputus oleh Bawaslu Provinsi, seperti Aceh, Sulawesi Utara, dan Jawa Tengah. Seharusnya, sebagaimana dalam UU Pemilu, KPU menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu.
Pertanyaan lainnya adalah mengapa KPU justru menundak melaksanakan putusan Bawaslu. Bukankah Bawaslu dan KPU berkedudukan sejajar? Para komisioner di kedua lembaga itu juga dipilih dan ditetapkan melalui proses seleksi yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Undang-undang telah memerintahkan KPU untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu. Karena alasan PKPU itu telah diundangkan dalam lembaran negara dan adanya caleg mantan tipikor melakukan uji materi ke Mahkamah Agung, KPU pun meminta KPU di provinsi untuk menunda pelaksanaan putusan Bawaslu tersebut.
Sebenarnya ada hal lain yang menunjukkan inkonsistensi KPU terkait dengan putusan MK. Putusan lembaga penjaga Konstitusi mengenai calon DPD tidak boleh menjadi anggota partai politik dilaksanakan oleh KPU dengan PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencalonan DPD. Sedangkan putusan MK yng membolehkan mantan napi tipikor menjadi calon legislatif justru diabaikan oleh KPU. Seharusnya KPU menindaklanjuti putusan MK tanpa harus beropini dan membuat PKPU terkesan kuat melabrak konstitusi. Ada apa dengan KPU.
Saya pribadi setuju dengan semangat KPU agar parlemen terhidar dari anggota parlemen yang pernah dijerat dengan kasus korupsi. Tapi pelarangan caleg mantan napi tipikor hendaknya dilakukan oleh peserta pemilu yakni partai politik. Apalagi peraturan perundangan memerintahkan kepada partai pengusung dan caleg tersebut memberitahukan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa yang bersangkutan pernah menjadi napi tipikor.
Cara ini lebih elegan dan sekaligus menguji konsistensi parpol dalam mewujudkan parlemen yang di dalamnya diisi oleh penyelenggara negara yang jujur, terbuka, terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik KKN. Pada gilirannya biarlah pemilih yang menentukan nasib caleg mantan napi tipikor. Demokrasi harus kembali pada roh vox populi, vox dei. Suara komisioner KPU bukan suara Tuhan. Tugas KPU memberikan edukasi dan informasi bahwa ada parpol yang mengusung caleg mantan napi tipikor. KPU idealnya menjadi pemandu demokrasi yang subtansial sehingga warga negara bisa menjadi pemilih yang cerdas dan kritis.
Kini publik sedang menunggu solusi yang adil dan bermanfaat bagi rakyat dan demokrasi. Kebuntuan pandangan antara Bawaslu dan KPU mesti segera dipecahkan demi kepastian hukum penyelenggaraan Pemilu 2019. Sampai saat ini belum ada formula yang jitu untuk mencari titik temu KPU dan Bawaslu.
Salah satu solusinya adalah mempercepat putusan uji materi PKPU oleh Mahkamah Agung. Semakin lama sengketa ini berlarut maka berdampak terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemilu. Bahkan ujungnya akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu.
Para “wakil Tuhan” yang bertugas di MA sangat diharapkan agar bisa memberikan fatwa dan keputusan agar nasib caleg mantan napi tipikor tidak terombang-ambing dalam gelombang ketidakpastian. Sebab mereka telah mengeluarkan ongkos politik guna menyiapkan diri bertarung di pemilu legislatif. Karena itu para “wakil Tuhan” di MA jangan ikut bimbang dan gamang. Sebab pileg dan pilpres sudah di ambang pintu. Keputusan yang mengandung kepastian dan keadilan sangat ditunggu oleh caleg mantan napi tipikor dan rakyat Indonesia.
Apapun putusan para “wakil Tuhan” itu, baik menolak atau menerima, harus diterima dan disikapi dengan lapang dada dan pikiran yang waras. Putusan “wakil Tuhan” itu diharapkan membuat demokrasi berjalan di atas landasan konstitusi. Wallahu a’lam