Kamis 04 Oct 2018 00:44 WIB

Menelaah Sikap Umat Islam Jelang Pilpres 2019

Memberikan nasihat kepada penguasa karena menyangkut kemaslahatan umat.

Dr Lisa Adhrianti, Dosen FISIP Universitas Bengkulu, Jurusan Ilmu Komunikasi
Foto: Dokumen pribadi
Dr Lisa Adhrianti, Dosen FISIP Universitas Bengkulu, Jurusan Ilmu Komunikasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Lisa Adhrianti*

Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo dijelaskan, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik hanya memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya demokrasi, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin berpartisipasi dalam bidang politik khususnya dalam hal pengambilan keputusan-keputusan mengena-mengenai kebijakan umum.

Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya. Dengan demikian, partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warga negara, bukan politikus atau pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi negara atau partai yang berkuasa. Bagaimananakah wujud partisipasi politik kita sebagai warga negara jelang pilpres 2019 mendatang?

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden telah ditetapkan dan aksi kampanye pun mulai digulirkan secara perlahan hingga resmi ditetapkan jadwal berkampanye. Upaya untuk meraih kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin serta pasangan Prabowo-Sandiaga dilakukan masing-masing pasangan calon dan massa pendukungnya.

Apakah wujud partisipasi politik dapat ditempuh dengan turun ke jalan, atau melakukan gerakan massif menyebarkan berbagai pendapat dan sanggahan terhadap pasangan calon pemimpin negeri ini melalui media sosial jejaring internet yang berdampak luas itu? Bagi umat Islam yang berprinsip ahlussunnah wal jamaah setiap permasalahan tidak harus dihadapi dengan aksi turun ke jalan secara langsung, sebagai bentuk kepedulian dan hak sebagai warga negara, atau melalui aksi bebas mengungkapkan pendapat di media sosial secara liar, tanpa jelas sumber dan kebenarannya serta hanya banyak berdasarkan pada emosi pribadi dan golongan semata.

Komunikasi yang dijalankan dengan terencana, tersembunyi, dilakukan secara langsung atau melalui orang terdekat dengan penguasa atau melalui jalur-jalur pribadi yang resmi diyakini lebih santun, beretika, mengandung banyak manfaat karena tidak banyak menimbulkan kegaduhan dan permasalahan baru di masyarakat. Prinsip tentang implementasi partisipasi politik melalui konsep demikian tentunya menimbulkan pro dan kontra terlebih dikalangan sesama umat Islam sendiri.

Konsep komunikasi antar pribadi dalam implementasi kegiatan komunikasi bagi partisipasi politik, tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mempengaruhi (persuasi) lawan bicara (komunikan) agar dapat menyetujui dan melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan oleh komunikator. Bagi generasi salaf, seorang Muslim harus melakukan hubungan baik dengan para ulil amri, baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintah.

Memberikan nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)

Bentuk partisipasi politik yang beretika dapat ditempuh melalui lobi-lobi, yaitu tindakan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menghubungi pejabat pemerintah, atau tokoh politik dengan tujuan untuk mempengaruhinya menyangkut masalah tertentu, serta contacting. Yakni partisipasi yang dilakukan masyarakat dengan secara langsung menghubungi pejabat pemerintah atau tokoh politik, baik dilakukan secara individu maupun kelompok orang yang kecil jumlahnya.

Teknik komunikasi persuasif antar pribadi yang dapat dilakukan adalah dengan tehnik integrasi dan tehnik tataan. Tehnik integrasi adalah menyatukan diri komunikator dengan diri komunikan. Contoh pada penggunaan kata kita bukan kata saya atau kami.

Teknik tataan (icing technique) merupakan upaya menyusun pesan komunikasi sedemikian rupa sehingga enak didengar, atau enak dilihat atau enak dibaca dan orang memiliki kecenderungan untuk mengikuti apa yang disarankan oleh pesan tersebut. Semoga kita dapat menyuarakan pendapat dan hati nurani kita dengan bijak menuju pilpres damai 2019.

*) Dosen FISIP Universitas Bengkulu, Jurusan Ilmu Komunikasi

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement