Senin 22 Oct 2018 17:16 WIB

Pertalian Sejarah Tradisi Santri dan Kopi

Lewat santri yang terbiasa ngopi sejak abad ke-15, kopi mulai mendunia.

Red: Karta Raharja Ucu
Secangkir Kopi. Ilustrasi.
Ilustrasi kopi.

Hampir selama tiga abad ‘ngopi’ diperbincangkan ulama. Antara yang mendukung dan yang menolak. Dalam buku Rihlat al-Syitâ wa al-Shayf (Perjalanan Musim Dingin dan Panas), Muhammad Abdullah al-Husaini, yang popular dengan nama Kibrit al-Madani (w.1070 H), bercerita penguasa Makkah pernah akan menetapkan larangan minum kopi.

Salah seorang penasihatnya memberi saran sebaiknya jangan melarang ngopi. Itu tidak mungkin terjadi. Bahkan hanya akan membuat kopi semakin popular.

Saat ditanya alasannya ia menjelaskan, hitungan angka (hisab al-jummal) kata ‘qahwah’ sama dengan nama Allah ‘al-qawiyy’. Kata qahwah yang terdiri dari huruf qaf – ha-waw–ta hitungan bilangannya adalah 100 + 5 + 6 + 5 = 116. Begitu juga kata `qawiyy’ yang terdiri dari huruf qaf–waw-ya mempunyai hitungan bilangan 100+6+10 = 116. Mendengar itu, sang penguasa pun mengurungkan niat melarang ‘ngopi’.

Berdasarkan sistem bilangan abjad Arab di atas ngopi identik dengan kuat. Hatim al-Ahdal, seperti dikutip al-Adkawi (w.1770 M) dalam Husn al-Da`wah lil Ijâbah ilal Qahwah (Ajakan Baik untuk Memenuhi Undangan Ngopi) menjelaskan beberapa khasiat ngopi. Antara lain, “merangsang anggota badan jadi semangat, menenangkan jiwa, mengusir galau, mendatangkan inspirasi, membuat hati khusyuk, mengajak taat dan begadang malam untuk ibadah, mencerahkan penglihatan, membersihkan kandung kemih dan melancarkan buang air kecil”.

Manuskrip selesai ditulis pada jumat pagi, 14 Jumadal Ula 1171 H. Demikian penutup al-Adkawi. Kalau begitu, mari kita lanjut ngopi. Terlebih di Hari Santri.

*) Sekjen Organisasi Internasional Alumni Al Azhar cabang Indonesia (OIAA)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement