REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Yudi Rachman, Faculty Member Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)
Meski eksistensinya sudah berlangsung selama 26 tahun dan berada di negara dengan masyarakat Muslim terbesar di dunia, perjalanan bank syariah masih saja belum seindah impian.
Tantangan demi tantangan, baik yang sudah berada di depan mata maupun yang masih jauh di muka, tetap saja bermunculan. Tantangan yang bisa dibilang sudah klasik, tapi tetap menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai hingga kini adalah soal market share yang begitu sulit beranjak, stabil puluhan tahun di bawah lima persen.
Akhirnya, dengan dikonversinya Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah pada 19 September 2017 dan Bank NTB pada 13 September 2018 menjadi Bank Umum Syariah (BUS), market share langsung terdongkrak hingga berhasil mengubah angka dari lima persen menjadi 5,7 persen.
Kebijakan kedua pemerintah provinsi sebagai pemilik bank pembangunan daerah (BPD) tersebut patut mendapatkan apresiasi, layak ditiru, dan menjadi inspirasi daerah lain. Selain itu, dengan bergabungnya BPD hasil konversi, jumlah BUS bertambah menjadi 14, yang sebelumnya hanya 12 bank.
Berbagai upaya telah coba dilakukan regulator untuk mengatasi persoalan klasik berupa market share tersebut, di antaranya dengan mendorong unit usaha syariah (UUS) menjadi BUS. Kebijakan itu tertuang dalam PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah.
Pada Pasal 40 disebutkan, bank konvensional yang memiliki UUS wajib memisahkannya bila nilai aset telah mencapai 50 persen dari total nilai aset induk atau paling lambat 15 tahun setelah UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diberlakukan.
Pada bagian inilah, yang membuat pemilik UUS harus memutar otak mempersiapkan strategi apa yang hendak dipilih. Karena berdasarkan peraturan tersebut, UUS mesti mempersiapkan diri bermetamorfosis menjadi BUS, baik dengan cara spin off maupun konversi.
Karena bila sudah mandiri dalam bentuk BUS, pengelola menjadi lebih leluasa mengatur dan mengelola keuangan. Tidak perlu menunggu atau meminta masukan dan arahan dari perusahaan induknya lagi.
Termasuk menjadi semakin fokus, cepat, dan fleksibel dalam beroperasi serta mengambil keputusan dan kebijakan terkait pengembangan produk dan bisnis. Namun seperti biasa, kenyataan yang terjadi tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Memisahkan UUS bukanlah perkara sederhana, terutama untuk BPD. Karena dari 20 UUS yang ada, ada 13 UUS BPD, sisanya UUS yang dimiliki bank umum. Seperti diketahui, pemegang saham BPD itu tidak seperti bank umum lainnya yang jumlahnya sedikit dan relatif homogen.
Kalau BPD, pemiliknya adalah pemerintah provinsi dan seluruh pemerintah kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut beserta multikepentingan di baliknya, termasuk perhitungan-perhitungan politik yang menyertainya. Inilah yang membedakan sekaligus tantangan bagi pengelola.
Secara perhitungan kalender, waktu lima tahun lagi, yaitu pada 2023, saat seluruh 13 UUS BPD harus menjadi BUS dengan cara spin off atau konversi, mungkin menjadi waktu yang cukup untuk mereka melakukan persiapan.
Namun, bila mengacu kepada pertimbangan politis yang akan dihadapi pengelola untuk meyakinkan pemegang saham, waktu lima tahun bisa berjalan sangat cepat.
Sejumlah pilihan
Untuk memenuhi target peraturan, yang diharapkan berkontribusi signifikan terhadap market share perbankan syariah ke depan, tantangan awal yang harus diselesaikan pemilik UUS BPD adalah menentukan pilihan antara spin off atau konversi.
Sebenarnya, apa pun yang dipilih, masing-masing mengandung plus-minus. Bila pilihannya spin off, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti modal, tingkat kesehatan, dan kinerja.
Di dalam PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah pada Pasal 45, mewajibkan calon BUS memiliki modal Rp 1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin diberikan.
Modal tersebut bisa bersumber dari suntikan induknya, pemegang saham, atau investor eksternal. Regulator mensyaratkan ini cukup beralasan, jangan sampai kualitas pelayanan malah menurun setelah menjadi BUS dengan alasan keterbatasan modal.