REPUBLIKA.CO.ID
Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Di tengah kesulitan ekonomi rakyat Iran sejak akhir tahun lalu, Pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump pada 5 November 2018 menjatuhkan paket sanksi ekonomi kedua yang sangat berat terhadap Iran.
Sasarannya adalah perbankan dan industri migas Iran. Pasalnya, tak kurang dari 80 persen pendapatan luar negeri Iran berasal dari migas. Tahun lalu Iran meraup 51 miliar dolar AS dari ekspor migasnya.
Untuk lebih efektif, AS mengancam menerapkan sanksi bagi negara yang masih membeli minyak Iran, kecuali delapan negara yang mendapat perkecualian sampai enam bulan ke depan. Selepas tenggat, mereka harus menghentikan impor minyak Iran secara total.
AS berdalih, sanksi ini dilakukan untuk memaksa Iran merundingkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran yang dibuat Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis, plus Jerman) dan Uni Eropa (UE) pada 2015.
Trump menganggap, ini perjanjian terburuk yang pernah dibuat AS. JCPOA mengharuskan Teheran membatasi pengayaan uranium hingga batas tak memungkinkan negara mullah itu membuat bom nuklir setidaknya sampai 2025.
Sebagai imbalan, Iran diizinkan mengekspor minyaknya di pasar global dan dana Iran sebesar 110 miliar dolar AS yang dibekukan di bank-bank negara Barat dicairkan. Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyatakan, sejauh ini Iran patuh pada kesepakatan itu.
Itulah sebabnya P5+1 minus AS yang mundur dari JCPOA sejak Mei lalu menolak mengikuti langkah AS. UE, selain Cina dan Rusia, melihat tidak ada alternatif lain tersedia. JCPOA dinilai sejauh ini sebagai kesepakatan terbaik mencegah proliferasi senjata nuklir.
Lagi pula, kesepakatan itu didukung Resolusi DK PBB Nomor 2231. Maka itu, mundur dari JCPOA tanpa basis legal hanya mencederai norma hukum internasional dan merusak wibawa UE. Pertimbangan lain tentu saja kepentingan ekonomi Eropa.
Kuatnya posisi hukum Iran yang mendapat dukungan moral dan politik dari kekuatan-kekuatan dunia, membuat Iran bertahan pada kedudukannya. Bagaimanapun, sanksi AS lebih jauh memukul ekonomi Iran.
Pada paket sanksi ekonomi pertama, Agustus lalu, Washington menerapkan sanksi pada pembelian atau akuisisi dolar AS oleh Pemerintah Iran, perdagangan Iran di bidang emas dan logam mulia.
Selain itu, penjualan langsung dan tidak langsung, suplai dan transfer grafit dari atau ke Iran, logam mentah atau setengah jadi, batu bara dan perangkat lunak terkait industri. Sanksi juga diterapkan atas impor karpet Iran dan bahan makanan yang dibuat di Iran, dan pada transaksi-transaksi finansial tertentu yang terkait.
Akibat sanksi ini, bahkan sebulan sebelumnya, rakyat Iran turun ke jalan akibat anjloknya nilai mata uang Iran (riyal) hingga lebih dari 100 persen yang memicu kenaikan harga barang yang signifikan.
Pada akhir Desember 2017 sampai awal Januari 2018, rakyat Iran dari berbagai strata sosial di 80 kota berdemonstrasi akibat meningkatnya harga bahan pokok, korupsi, dan keterlibatan militer Iran di berbagai negara Arab.
Mereka bahkan menuntut Presiden Hassan Rouhani turun dari kekuasaan dan menyebut pemimpin spiritual Ayatullah Ali Khamenei sebagai diktator. Tak kurang dari 21 orang terbunuh dalam insiden tersebut.
Ketika itu, Trump mengipasi rakyat Iran untuk terus memberontak. Memang sebenarnya sanksi-sanksi AS ini bertujuan melumpuhkan ekonomi Iran yang mendorong demonstrasi lebih besar untuk menggulingkan rezim Iran.
Itu terlihat dari syarat-syarat tak realistis yang diajukan Trump kepada Iran bagi pembebasan sanksi. Syarat itu, antara lain, Iran harus mengubah kebijakan regionalnya, menghentikan pengayaan uranium dan program rudal balistiknya selamanya, menarik diri dari Suriah, dan memberi akses tanpa batas kepada IAEA, termasuk pada area militernya.
Untuk mengatasi beratnya ekonomi yang dihadapi, Rouhani merombak tim ekonominya. Pemerintah juga menawarkan insentif harga dan pajak kepada investor swasta untuk mengambil alih proyek-proyek yang mangkrak dan membantu mendorong ekonomi.
Iran juga berusaha melepaskan APBN dari ketergantungan pada migas yang menyumbang 65 persen devisa kepada negara. Pemerintah juga berupaya meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.