REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Nasihin Masha, Staf Ahli Direksi Bidang Komunikasi Publik BPJS Kesehatan
Saat ini, BPJS Kesehatan sedang menjadi perbincangan publik. Banyak isu berseliweran. Tapi sebetulnya apa yang menjadi pokok masalahnya?
Ada dua. Pertama, isu seputar defisit atau juga disebut mismatch keuangan. Kedua, isu seputar pengaturan atau penataan pelayanan. Itulah dua inti perbincangan yang sesungguhnya. Keduanya hadir berbarengan sehingga resonansinya besar.
Dari dua isu tersebut muncul turunan-turunan perbincangannya. Misalnya, kebijakan pemerintah menggunakan sebagian pajak rokok (bukan cukai rokok) untuk pembiayaan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan menunggak pembayaran ke fasilitas-fasilitas kesehatan.
BPJS Kesehatan difitnah menghentikan penjaminan pelayanan katarak, rehabilitasi medik termasuk fisioterapi, dan menghentikan penjaminan pelayanan persalinan. Antara fakta dan hoaks bercampur baur.
Ada distorsi informasi atau salah informasi. Bahkan, gosip lama tentang gaji direksi yang disebut mencapai Rp 300 juta atau Rp 500 juta per bulan--sebuah hoaks tingkat dewa karena sejatinya gaji direksi jauh lebih kecil dari angka itu--muncul lagi.
Tulisan ini mencoba mendudukkan persoalan pada tempatnya agar wacana publik menjadi sehat dan bermutu. Namun, tulisan ini membatasi pada masalah keuangan yang tekor. Tema yang satunya akan diulas pada kesempatan lain.
Defisit atau mismatch?
Menurut penghitungan BPJS Kesehatan, hingga akhir 2018 nanti lembaga ini mengalami negatif arus kas sekitar Rp 16,5 triliun. Angka itu datang dari perkiraan penerimaan Rp 81,024 triliun, perkiraan pengeluaran Rp 97,935 triliun.
Pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Setiap bulan rata-rata minus Rp 1 triliun ditambah menggendong mismatch tahun sebelumnya. Namun, ada pemasukan lagi dari investasi Rp 134,420 miliar dan kas Rp 190,886 miliar.
Dari situlah keluar angka negatif arus kas Rp 16,5 triliun. Ternyata, angka negatif ini terjadi sejak lembaga ini berdiri pada 1 Januari 2014. Namun, angka negatif itu terjadi pada neraca laba-rugi, sehingga disebut negatif aset netto.
Pada neraca laba-rugi terdapat unsur aset dicadangkan yang ditaruh sebagai biaya, pada arus kas murni uang masuk dan uang keluar saja. Karena itu, walau terjadi negatif aset netto, pada neraca laba-rugi BPJS Kesehatan tak mengalami masalah pembayaran.
Sebab, masih ada dana dari aset yang dicadangkan untuk pembiayaan. Namun pada 2018 ini, untuk kali pertama terjadi negatif cash flow, benar-benar tak ada uang.
Adapun negatif aset netto pada akhir 2014 negatif Rp 3,309 triliun, tahun 2015 negatif Rp 9,069 triliun, tahun 2016 negatif Rp 8,561 triliun, dan tahun 2017 negatif Rp 23,025 triliun. Lalu, mengapa semua ini bisa terjadi?
BPJS Kesehatan lebih suka menyebut angka negatif tersebut sebagai mismatch, sebagian orang lebih mudah menyebutnya defisit. Mengapa disebut mismatch? Karena penyebabnya sudah terduga dari awal, akibat ketidaksesuaian nilai aktuaria terhadap nilai iuran.
Nilai iuran yang ditetapkan untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) lebih kecil daripada nilai aktuaria. Karena itu, kondisi keuangan sudah diperkirakan negatif akibat ketidaksesuaian tersebut.
Nilai aktuaria dihitung atau diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Nilai iuran ditetapkan pemerintah. Semuanya bukan ranah BPJS Kesehatan. Nilai aktuaria adalah angka iuran yang harus dibayarkan peserta dihitung berdasarkan prinsip aktuaria.
Sedangkan nilai iuran adalah keputusan politik anggaran yang besarannya disesuaikan kemampuan masyarakat dan ruang fiskal yang dimiliki pemerintah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini data tentang angka-angka tersebut.
Sesuai nilai aktuaria untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI--yaitu peserta kategori penduduk miskin yang iurannya dibayarkan pemerintah) adalah Rp 36 ribu. Namun, nilai iuran yang ditetapkan hanya Rp 23 ribu. Ada selisih minus Rp 13 ribu.
Namun selisih terbesar, untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU - peserta mandiri) pada kategori Kelas III yang mencapai minus Rp 27 ribu. Sedangkan untuk peserta PBPU kategori Kelas II berselisih minus Rp 12 ribu.
Hanya peserta PBPU kategori Kelas I yang nilai iurannya sama dengan nilai aktuaria. Kondisi itu berakibat pada jumlah Biaya Per Orang Per Bulan (BPOPB) lebih besar dibandingkan jumlah Premi Per Orang Per Bulan (PPOPB).
Secara agregat, pada 2016 PPOPB sebesar Rp 33.776, sedangkan BPOPB Rp 35.802. Ada selisih minus Rp 2.026. Seiring meningkatnya kepesertaan dan nilai jaminan, pada 2017 selisihnya minus Rp 5.625. Yaitu, selisih PPOPB sebesar Rp 34.119 dengan BPOPB Rp 39.744.
Dampak isu defisit itu, ada yang mencoba menelisik nilai manfaat dan total iuran per kategori peserta. Berdasarkan data, dana terhimpun dari iuran peserta PBI dibandingkan dana yang dikeluarkan untuk penjaminan mereka ternyata surplus.
Demikian pula, untuk peserta ASN, TNI, dan Polri (aparat ini seperti halnya karyawan swasta masuk kategori peserta Pekerja Penerima Upah) terjadi surplus. Hanya dari peserta PBPU yang defisit, jumlah total iuran yang terkumpul lebih kecil daripada biaya manfaat.
Kenyataan ini menimbulkan kecurigaan. Misalnya, tuduhan kebocoran, inefisiensi, dan kegagalan BPJS Kesehatan sebagai operator JKN-KIS. Bahkan, ada yang menebak, jika semua iuran dari peserta PBPU terkumpul, sebetulnya terjadi surplus juga.
Jadi sebetulnya, secara total terjadi surplus, bukan defisit. Karena itu, berarti manajemen BPJS Kesehatan sebagai biang kerok dan gagal menjalankan tugasnya. Betulkah?
Tentang tuduhan kebocoran dan inefisiensi sebetulnya mudah menjawabnya. Ini karena BPJS Kesehatan diaudit dan diawasi banyak lembaga. Pertama, diawasi dan diaudit internal. Kedua, diawasi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.