Kamis 01 Nov 2018 05:01 WIB

Ulama dan Elit Penguasa Belajarlah dari Palihan Nagari?

Perpecahan negara terjadi bila ulama dan elit penguasa gagal mengambil konsensus.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Sampai kini masih banyak orang yang percaya bahwa sebuah eksistensi negara itu harga mati atau tak bisa berubah. Padahal belajar dan melihat kekuasaan yang terjadi dari zaman dahulu hingga kini tak seperti itu. Peta negara terus berubah. Wilayah negara mulur dan mungkret.

Bahkan, kalau dilihat dalam peta, belajar dari kasus Eropa, peta dan batas negara di benua itu terus berubah drastis. Yugolsavia, Uni Sovyet, Jerman Timur, Cekoslowakia, bahkan Indonesia yang kehilangan wilayah Timor Timur pun sudah terjadi dan baru muncul beberapa tahun silam. Juga hal sama terjadi di dekae 1950-an ketika berdiri kerajaan Malasyia dan 'negara mini Singapura'.

Di Indonesia (Jawa misalnya) dalam satu 'alaf' (seribu tahun) ternyata begitu banyak kerajaan atau negara yang timbul dan tenggelam. Pada awal tahun 1000 M misalnya, muncul kerajaan Airlangga. Ini ditandai dengan bergesernya kekuasaan dari Mataram Hindu yang berpusat di Jawa bagian Tengah. Konon perpindahan kerajaan ini akibat letusan dahsyat gunung  Merapi. Pusat kekuasaan (negara) kemudian pindah ke Jawa sebelah timur, yakni di Delta Sungai Brantas.

Setelah itu kerajaan Airlangga pun tumbang. Maka muncul aneka kerajaan seperti Kediri dan Singasari hingga kemudian Majapahit. Setelah itu muncul era Demak, kemudian muncul Pajang, kemudian ke Mataram (Islam). Di lain wilayah di Jawa bagian barat ada kerajaan Pajajaran, Kesultanan Banten, hingga Kesultanan Cirebon.

Namun di antara kisah timbul dan tenggelamnya negara ada sejarah yang menarik dan bisa menjadi bahan pelajaran bagi bangsa Indonesia yang baru saja ada mulai 17 Agustus 1945. Hal itu adalah terkait dengan munculnya negara dan tercabiknya sebuah negara, yang bernama Mataram.

Nah, kisah ini selain masih segar dan juga sudah banyak pihak yang mempelajarinya karena terjadi dalam kurun waktu yang tak terlalu jauh. Apalagi sisa kerajaan itu masih eksis yakni berupa Kesultanan Yogyakarta, yang kini menjadi Daerah Istimewa Provinsi Yogyakarta.

Pakar sejarah politik kerajaan Jawa, Prof DR

Hermanu Joebagio, mengisahkan terjadinya perpecahan negara atau yang terkenal dengan istilah 'Palihan Nagari' (pembelahan wilayah Mataram) menjadi dua wilayah Surakarta dan Yogyakarta, bahkan masing-masing kemudian pecah lagi menjadi Mangkunegaraan dan Pakualaman.

Menurut Hermanu, peristiwa Palihan Negari' terjadi setelah adanya penyerahan wilayah Pesisir Utara Jawa kepada VOC oleh Pakubuwono (PB) II. Kala itu situasi ini terjadi usai berakhirnya Geger Pacinan (Pemberontakan orang Cina) di Kartasura yang kemudian menimbulkan gerakan perlawanan yang dimotori Raden Mas Said, Pangeran Singasari, dan Pangeran Mangkubumi. Gerakan perlawanan ini berlangsung hingga pemerintahan PB III.

Bagi pihak kompeni sebagai kekuatan kolonial, munculnya separatisme politik itu jelas akan mengganggu stabilitas politik sekaligus menguras anggaran belanja mereka. Karena itu, pemecahan yang diajukan kompeni adalah membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kekuasaan politik. Pembagian itu dilaksanakan melalui dua perjanjian politik, yaitu Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).

Menurut Hermanu, bila dikaji lebih detil lagi, peristiwa Palihan Nagari sebenarnya menunjukkan ketidakberdayaan elite politik membangun konsensus guna mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi.

"Ada dua hal yang mendorong ketidakberdayaan: (Pertama) lemahnya hubungan antarelite politik pusat dan daerah. (Kedua) lemahnya hubungan antarelite politik dan kekuatan sosial lainnya. Hal itulah kalau terjadi sebenarnya kemudian dapat dimanfaatkan sebagai jejaring menciptakan stabilitas politik. Sebab, bila kekuatan atau stabilitas politik mereka kuat, maka raja sangat mudah menentukan sikap dalam hubungannya dengan VOC,'' ujarnya.

Namun, lanjut Hermanu, pada babak akhir dari 'Palihan Nagari' malah kemudian menyisakan persoalan penataan birokrasi, batas wilayah, militer, pembentukan pemerintahan desa, dan pemulihan perekonomian kerajaan. Penataan birokrasi membutuhkan biaya besar, sedangkan masing-masing kerajaan tidak memiliki anggaran.

Celakanya, sang penguasa kerajaan yakni PB III keburu wafat. Dia kemudian digantikan oleh putra mahkota (PB IV). ''Namun, sama dengan PB III, PB IV kuga menyatakan berkehendak membatalkan Palihan Nagari. Tapi ini juga gagal dilakukan,'' kata Hermanu.

Hal tersebut mengacu data dari sejarawan Ann Kumar dalam The Diary of Javanese Muslim: Religion, Politics and the Pesantren. Dalam kajian itu PB IV memang ingin melakukan merevitalisasi birokrasi dengan memasukkan ulama sebagai penasihat raja. Apalagi selama ini sSejatinya ulama telah memiliki birokrasi sendiri yang disebut 'reh-pengulon' yang sifatnya memberi pengajaran agama Islam dan mengelola masjid di bawah kekuasaan keraton.

"PB IV memandang eksistensi ulama di Kasunanan ini adalah merupakan sarana untuk melakukan proses rekruiting kekuatan politik. Adanya faktor ini kemudian dipandang oleh pesaingnya secara mengkhawatirkan, yakni oleh Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I,'' tegasnya lagi.

Maka melihat ketidakakuran elite inilah, kemudian perpecahan muncul. Adanya kenyataan konstelasi politik inilah kemudian juga menimbulkan fakta baru bahwa tidak mungkin ada satu 'keturunan Mataram' (pihak/elemen) mengklaim dirinya paling berhak berkuasa negara, yakni atas empat reruntuhan kekuasaan Mataram, yakni Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, maupun Pakualaman. Jadi mereka pun sebenarnya sama-sama satu tingkatan (elemen) yakni sebagai kelanjutan dari kerajaan Demak.

''Dan bila kemudian terjadi perpindahan kerajaan dari Demak yang berada di pesisir menuju pedalaman Jawa Tengah semua itu pun sebenarnya juga untuk mencegah pertikaian politik. Atau dengan istilah lain, pembentukan negara baru hingga perpindahan pusat kekuasaan tersebut sebenarnya merupakan landasan membangun stabilitas politik. Inilah yang penting diperhatikan,'' ungkap Hermanu.

Memang antara Kesulatanan Demak dan Kesultanan Mataram ada perbedaan yang mendasar. Pada masa Kesultanan Demak, Raden Patah selaku sang penguasa, mempunyai sistem politik yang dibangun berpijak pada relasi harmonis antara raja dan ulama. Dan seperti sekarang ini, relasi politik itu baik dalam perspektif kehidupan demokrasi masa kini. Namun, dalam waktu yang bersamaan relasi itu juga bisa menimbulkan intrik politik.

Mengapa hal itu terjadi? Jawabnya, hal ini akan terjadi apabila ulama dalam proses suksesi turut memihak kepada salah satu elite politik yang dipersepsikan akan membangun relasi-relasi positif dengan kelompok ulama.

Alhasil, lanjut Hermanu, untuk menjaga proses relasi harmonis itulah, penguasa kerajaan Mataram pada masa awal seperti Sultan Agung memutuskan untuk membangun kebijakan politik keraton sebagai pusat Islamisasi di Jawa, dan Islam sebagai "centre point of Javanese culture.

''Memang kebijakan ala Sultan Agung ini tidak dimaksudkan sebagai kekuatan ideologis, tetapi sekadar sebagai kekuatan legitimasi politik. Maka tidak mengherankan bila Sultan Agung menempatkan Islam sebagai primus inter pares,'' ujar Hermanu.

Pada sisi lain, bercermin pada peristiwa Palihan Nagari tersebut, sebenarnya juga sedikit banyak mengurangi klaim bahwa eksistensi kerajaan para pelanjut Demak ini didirikan atas landasan wahyu. Hal ini karena fakta menyatakan secara jelas betapa SK Gubernur Jenderal VOC itu merupakan wahyu atau legitimasi yang sesungguhnya dari Kerajaan Mataram yang ada di Surakarta maupun Yogyakarta. Alhasil, pada akhirnya pihak kolonial ternyata yang lebih kuat dan rasional. Mereka itulah yang kemudian secara diam-diam mengambil alih segala klaim itu.

''Jadi saya memandang wahyu sebuah konsep politik. Bila dianalisis secara mendalam, wahyu itu berkaitan dengan bahasa dan simbol kebesaran raja, yang tecermin dalam gelar 'Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah'. Dan sebagai implikasi gelar itu adalah tuntutan membangun dialektika relasi antarindividu/masyarakat dan raja, dan dialektika relasi itu dapat ditafsirkan sebagai tindakan pribadi/kelompok sosial dengan elite penguasa,'' tegasnya.

Jadi pelajaran bagi bangsa Indonesia sekarang adalah bila elite penguasa dan ulama terus berpecah dan gagal membangung konsensus maka negara dipastikan akan pecah. Rakyat hanya jadi korban, baik sebagai 'kambing hitam' maupun korban yang sifatnya langsung. Ini adalah pelajaran terbaik dari peristiwa 'Palihan Nagari'.

Maka hei para elite bersatulah. Buktikan bahwa ulama dan agama bisa menjadi ajang untuk mencapai suatu konensus!

Pada sisi lain, karena raja (penguasa) memeluk agama Islam, maka ajaran agama Islam dipersepsikan menjadi ajaran individu/masyarakat untuk memberi harapan akan terwujudnya tatanan sosial baru.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement