Oleh:Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Dalam buku sejarah di sekolah, banyak anggapan yang seolah kaprah bahwa perang Diponegoro dipicu karena soal perampasan pembangunan jalan di tanah milik sang pangeran. Alhasil wacana yang berkembang di benak publik bahwa perang itu baru muncul karena atas persoalan pribadi Pangeran Antawirya (Pangeran Diponegoro) semata. Kisah nestapa sosial dan ekonomi yang kala itu memang sangat mencekik rakyat Jawa terabaikan.
Belum lagi soal bahwa Perang Jawa juga sebagai imbas meluasnya wabah penyakit kolera hingga meletusnya gunung Merapi juga tak dipahami. Atu juga soal konsumsi candu yang merajalela. Di mana-mana sampai pelosok betebaran rumah 'minum candu' sebagai hal yang akrab oleh rakyat. Pemandangan orang yang lagi mengisap candu banyak terlihat dalam di dokumen lama era kolonial. Namun kini, semua derita seolah hilang tak berbekas.
Orang di Jawa 'minum opium' (Toto koleksi troppen museum).
Namun, kini sudah ada wacana yang lain. Sejarawan kelahiran Inggris yang pernah tinggal di Mynmar, Peter Carey, membuka hal lain yang selama ini tertutupi dalam pengungkapan apa yang menjadi penyebab munculnya Perang Jawa yang berlangsung 1825-1830 tersebut. Pengkajian yang dilakukan Carey itu menghilangkan sisi pandang soal sejarah Perang Diponegoro yang berasal dari kaca mata Kolonial Belanda. Salah satu kisah yang ditulis Carey adalah tentang kisah ‘Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa.
Dalam buku tersebut, Carey menulis sisi kelam apa yang terjadi di masyarakat Jawa sebelum perang terjadi. Termasuk konflik sosial dengan berbagai fenomenanya yang terjadi. Dalam buku itu Carye kisah begini:
Seorang Tionghoa penjaga gerbang tol menulis pada November 1824 dan melaporkan tentang kebangkrutannya hanya dalam waktu dua bulan setelah mengambil alih pengelolaan bandar yang selalu menguntungkan di daerah Bantul dan Jatinom, selatan Yogyakarta. Musim kering yang berkepanjangan sejak awal tahun tampaknya telah menghancurkan tanaman kapas dan bahan-bahan pangan pokok, seperti jarak, kacang kedelai, dan jagung, sehingga persediannya sangat sedikit. Harga beras melambung tinggi, dan kegiatan perdagangan di pasar-pasar setempat hanya sedikit karena perdagangan secara efektif telah ambruk sama sekali.
Pada bulan-bulan yang mengerikan sebelum meledaknya Perang Jawa, pedesaan di Jawa merupakan tempat di mana orang hidup saling curiga dan saling meneror. Gerombolan bersenjata beroperasi dengan sangat bebas dari tuntutan hukum. Pembunuhan banyak terjadi dan kegiatan harian para petani setempat berlangsung di bawah pengawasan ketat mata-mata para penjaga gerbang tol yang ditempatkan di setiap desa dan setiap jalan desa untuk mencegah terjadinya penghindaran kewajiban membayar pajak.
Bahkan orang mati sekalipun, ketika diantarkan ke kuburan, akan terbebani pajak pula. Terlebih hanya melintasi sebuah gerbang tol saja, kendati tidak membawa suatu barang yang dikenai pajak, akan menyebabkan seorang pelancong dikenakan apa yang secara kasar dinamakan oleh orang Jawa sebagai “pajak bokong”. Para pegawai Jawa yang berkedudukan tinggi pun tidak luput dari perlakuan ini.
Bupati Nganjuk (masuk wilayah Surakarta) yang telah beruban, dalam sebuah wawancara dengan seorang pejabat Belanda, dengan muka masam mengutarakan bahwa ia merasa lebih berani terhadap harimau yang memenuhi hutan jati dalam perjalanan lintas alamnya ke ibu kota Kesunanan, daripada harus berhadapan dengan jagoan tak tahu malu yang menjaga gerbang tol sepanjang jalan raya Nganjuk–Surakarta. Pegawai lainnya, dengan kepahitan yang hampir tidak dapat disembunyikan lagi, mengutarakan prosedur asusila yang dilakukan oleh bandar Tionghoa pendatang baru dari Tiongkok yang hampir tidak bisa berbahasa Melayu dalam menggeledah fisik para istri dan kaum perempuan untuk menjarah perhiasan mereka.
Peran orang Tionghoa yang semakin menonjol sebagai penyewa tanah di daerah kerajaan antara 1816 dan 1823 juga telah memperburuk perasaan rakyat terhadap mereka. Utamanya bukan sebagai akibat dari cara pertaniannya yang agresif secara komersial, tetapi sebagai akibat tingkah laku mereka yang sombong dalam berurusan dengan para petani Jawa dan para pejabat setempat.
Perubahan sikap mereka disinggung dalam sebuah laporan oleh seorang pangeran Yogyakarta yang berjuang bersama dengan Diponegoro: Di antara orang desa yang memberikan bantuan kepada Diponegoro, terdapat orang yang tidak mempunyai apa pun lagi untuk dimakan dan mereka yang mata pencahariannya adalah melakukan kejahatan, perampokan, dan pencurian, membantunya berdasarkan rencana jahat mereka sendiri. Sedangkan mereka yang tidak terlibat di dalam kegiatan kejahatan, seperti para pegawai desa [demang desa] dan para pengumpul pajak [Bekel], (kebanyakan mengikutinya) sebagai akibat dari keluhannya terhadap orang Tionghoa yang tingkah lakunya menjadi sangat berbeda dengan perilaku mereka sebelumnya.
Sekarang mereka menghendaki agar rakyat menyembah mereka, sebagai penghormatan penuh takzim dan mereka duduk di atas (yaitu di atas kursi), sedangkan para Demang harus duduk (sambil bersila) di atas lantai, di hadapan mereka (mesti duduk seba ada dibawa).
Selama berlangsungnya Perang Jawa, Pemerintah Belanda pada akhirnya bertindak secara cepat memodifikasi kerja sistem gerbang tol di daerah kerajaan, dan membatasi masuknya penduduk Tionghoa ke daerah pedesaan. Akan tetapi, pada saat itu tindakan modifikasi tersebut sudah sangat terlambat; perang telah meluluhlantakkan daerah pedesaan dan orang Tionghoa. Mereka pada masa itu dimaklumi di ranah istana sebagai penasihat keuangan yang tidak ternilai, rekan dagang, dan ahli perpajakan, tetapi sekarang telah menjadi sasaran-sasaran khusus kebencian dan kejijikan rakyat.
Nah, atas kisah yang ditulis Carey itu maka kita berharap hal yang serupa tak terjadi lagi. Sekarang sudah muncul jalan tol (berbayar) yang sebenarnya sudah tejadi semenjak dahulu kala. Kini pun penggunaan narkoba yang di masa lalu identik dengan 'minum' candu meluas. Konflik tanah dan sosial masih terjadi.
Harapannya, jangan sampai semua hal yang sudah menjadi mimpi buruk sejarah itu terulang lagi. Merdeka!