REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosyid Nurul Hakiim*
Penembakan yang terjadi di dua masjid di New Zealand sudah menjadi bukti bahwa terorisme tidak mengenal agama. Kejadian yang menjadi hari paling kelam dalam sejarah negara di ujung pasifik itu bisa menjadi pelajaran bagi kita, penduduk dunia. Bagaimana sebenarnya menjelaskan kejadian yang menewaskan 49 orang tersebut?
Pertama, terorisme atau kekerasan yang berlandaskan pandangan politik tidak muncul dari ruang vakum. Jika dirunut dari peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah terjadi, maka narasi-narasi yang muncul seakan berulang bagi banyak pelaku teror yang sudah melakukan kekerasan.
Pada kejadian terbaru di New Zealand ini, Brenton Tarrant, seorang pemuda 28 tahun kelahiran Australia ini menuliskan beragam pesan senjata yang dia gunakan dengan tinta putih. Graffiti tersebut merujuk pada kejadian-kejadian di masa lampau dan tokoh-tokoh yang dalam sejarah berhasil memukul mundur lawannya pada perang-perang yang melibatkan dua agama besar.
Manifesto yang dituliskan penembakan itu juga memperlihatkan adanya kesinambungan dengan kejadian-kejadian terror serupa. Bahkan Brenton secara jelas merasa terinspirasi oleh Andres Brevik di 2011 silam. Keduanya mengusung narasi anti-imigran dan menganggap para pendatang ini adalah penjajah yang mengancam keberadaan tanahnya dan kelompoknya.
Jika dibaca lebih jauh, narasi-narasi yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan teror memiliki sudut penceritaan yang mirip. Merasa memperjuangkan keadilan kelompoknya dan ‘the other’ atau pihak lain yang dianggap musuh atau hama, harus dimusnahkan. Kemunculan Brenton atau sederat nama sebelumnya membuktikan bahwa masyarakat tidak bisa mengkhususkan diri, namun harus membuka dialog secara global.
Kedua, sisi kelam media sosial kembali muncul dan menuntut pertanggungjawaban semua pihak. Seorang pria bersenjata lengkap, bahkan dengan dua jenis senjata laras panjang berbeda dan secara membabi buta memuntahkan seluruh pelurunya pada puluhan orang yang bahkan tidak mengetahui apa yang terjadi. Sekilas, kejahatan yang dilakukan oleh mantan personal trainer di new Zealand itu mengingatkan pada kejadian yang mirip, yaitu penembakan Andres Brevik kepada para remaja di Pulau Otoya pada 2011.
Kengerian yang ditimbulkan oleh Brevik, sempat menggunjang dunia, namun efeknya sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Brenton. Ketika itu, media sosial masih belum mengambil peran media konvensional. Masyarakat secara global hanya bergantung pada informasi yang disebarluaskan oleh outlet media. Namun, apa yang dilakukan oleh Brenton, memberikan level kengerian yang sangat berbeda.
Merekamnya live di sebuah akun media sosial, masyarakat secara global disuguhkan oleh kengerian nyata yang terasa seperti terjadi di lingkungan kita sendiri. Rekaman bergaya ‘Call of Duty” atau PUBG itu secara cepat, seperti virus, menyebar di genggaman masyarakat dunia, menyebarkan panik dan respon beragam.
Kengerian yang ditimbulkan oleh Brevik dan Brenton mungkin sama bagi para korban. Tapi secara global, Brenton telah berhasil membelalakkan mata dunia dengan kebrutalannya dengan social media.
Dunia saat ini mungkin sedang mencoba mencari cara untuk menyikapi warga negara mereka yang sebelumnya berbondong-bondong ke Suriah dan saat ini ingin kembali. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa dengan media sosial dan glorifikasi bagi mereka yang berada di wilayah konflik juga menjadi media efektif untuk mendorong orang ingin melakukan hal yang sama.
Hal ini tentu saja menimbulkan masalah yang baru. Bukan hanya orang-orang yang kembali, namun mereka yang masih di wilayah konflik lalu menyebarkan glorifikasi juga memiliki kadar masalah yang sama.
Begitu pula dengan unggahan Brenton. Kutukan dan kecaman tentu saja bersaut-sautan menyusul menyabarnya video penembakan itu. Inflamasi dari kelompok-kelompok tertentu bisa menimbulkan masalah yang baru. Brenton melakukan aksinya atas dasar balas dendam pada imigran dan aksinya itu, justru akan menimbulkan lingkaran dendam yang baru. Bahkan aksi balasan bisa saja muncul dan menyerang orang-orang yang sama sekali tidak bersalah.
Karena itu, dengan dua hal penting yang bisa dipetik dari Jumat kelabu di New Zealand itu, setidaknya ada dua hal yang harus kita lakukan sekarang. Pertama, pentingnya adanya gerakan nyata bagi pemimpin-pemimpin politik untuk dapat merangkul berbagai kelompok agama. Begitu pula dengan pemimpin-pemimpin agama baik formal maupun informal penting untuk menunjukan adanya solidaritas dan saling support untuk mendinginkan keadaan.
Kedua, kerja-kerja aktor perdamaian yang berusaha menjembatani permasalahan seperti ini sangat penting. Isu kekerasan yang berlandaskan motif politik seperti yang dilakukan oleh Brenton sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Kengerian yang ditimbulkan oleh unggahan Brenton akan memberikan efek berantai dengan jangka panjang.
Meskipun demikian, aktor-aktor perdamaian tidak bisa bekerja sendiri. Masalah ini adalah masalah bersama. Diperlukan juga kekuatan komunitas masyarakat untuk dapat saling menguatkan di dalam anggotanya, sehingga dapat melakukan pencegahan atau penangkalan terhadap efek-efek kejadian seperti Brenton yang mengglobal.
*) Penulis adalah pembicara pada Global Counter Terrorism Forum dan Pimpinan Ruangobrol.id