Oleh: Harun Husein, Wartawan Republika
Apa yang disebut golongan putih (golput di Indonesia), sesungguhnya bukan kelompok yang tidak menggunakan hak pilihnya (non voting). Mereka, sejak dulu, tetap datang ke TPS, menggunakan hak pilihnya, tapi tidak mencoblos di tempat semestinya, sehingga surat suaranya menjadi tidak sah (invalid).
Tapi, walaupun surat suaranya tidak sah, mereka tercatat dalam angka partisipasi pemilih (voters turn out), karena sudah menggunakan hak pilihnya. Jadi, kalau salah satu ukuran keberhasilan penyelenggaraan pemilu adalah tingginya angka partisipasi pemilih, maka golput sesungguhnya tidak perlu dirisaukan.
Mengapa mereka adalah golput partisipatif? Pada tahun 1970-an, lambang golput adalah segi lima yang di tengahnya kosong. Dalam praktiknya di TPS, mereka datang menggunakan hak pilihnya, tapi tidak mencoblos tanda gambar partai, melainkan menusuk bagiann surat/kertas suara berwarna putih yang berada di luar tanda gambar partai. Sehingga, suara mereka menjadi tidak sah.
Mengapa mereka menusuk warna putih di luar tanda gambar? Karena, mereka memprotes tidak terakomodasinya partai-partai lain yang menjadi saluran ideologi/pemikirannya. Pada Pemilu 1971, hanya 10 partai yang menjadi kontestan pemilu. Pada 1973, seiring kebijakan fusi partai, jumlahnya tinggal tiga.
Dalam praktiknya belakangan, terjadi improvisasi. Kaum golput ini bukan hanya mencoblos pinggiran kertas suara di luar tanda gambar, tapi juga mencoblos lebih dari satu tanda gambar partai. Mencoblos lebih dari satu tanda gambar, sejak dulu dinyatakan sebagai suara tidak sah.
Mengapa mereka tetap datang ke TPS, tetap mencoblos, tapi sengaja membuat suaranya invalid? Karena, mereka mempunyai kekhawatiran surat suara yang tidak mereka gunakan, akan disalahgunakan. Sehingga keinginan mereka untuk tak terhitung, justru kemudian dimanfaatkan untuk kemenangan salah satu kontestan pemilu.
Bagaimana dengan saat ini? Kurang lebih sama. Di sejumlah akun facebook yang sudah men-declare diri sebagai golput, ternyata mereka tetap membuat semacam term of condition yang sama. Ramai-ramai datang ke TPS, coblos lebih dari satu.
Golput sekarang muncul lagi karena mereka tak suka pada kartel politik yang membatasi jumlah calon presiden. Dalam hal ini, presidential threshold 20 persen kursi dan 25 persen suara, yang membuat hanya muncul dua pasang capres-cawapres. Mereka menilai kondisi ini tak ideal. Ini protes pemilih. Desakan untuk membuka ruang kompetisi politik lebih luas.
Jadi, kalau begitu, siapa yang selama ini dikelompokkan sebagai orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu, dan sering dikelompokkan sebagai golput? Bisa jadi mereka bukanlah golput ideologis. Karena, rule golput ideologi jelas: partisipasi dan invalidisasi. Tampaknya, orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya itu adalah orang-orang yang selama ini masuk kategori orang-orang apatis yang nggak mau tau, atau terhalang menggunakan hak pilihnya.
Golput apatis ini yang nggak mau tau itu adalah orang-orang yang melihat hari pencoblosan sebagai kesempatan liburan atau malah tidur. Sedangkan, orang yang terhalang menggunakan hak pilihnya itu, biasanya karena berbagai sebab: bisa karena ada urusan mendadak yang tak bisa ditunda, atau para pembantu rumah tangga yang tak diizinkan majikannya keluar rumah untuk memilih --yang terakhir inilah sebenarnya yang masuk kategori pidana pemilu, karena menghalang-halangi penggunaan hak pilih.
Ada lagi golput selektif. Mereka ini hanya datang ke TPS untuk mencoblos capres-cawapres saja, dan tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota legislatif. Adakah yang seperti itu? Ada. Setidaknya sekarang ini ada istilah "golput pileg".
Lalu, apakah golput itu perbuatan pidana? jelas bukan. Karena indonesia menganut voluntary voting, menyatakan memilih adalah hak. Beda dengan negara tetangga Australia, yang menganut compulsary voting, yang menyatakan memlih adalah kewajiban, dan kalau kedapatan tak memilih harus membayar denda.
Apakah pengajur golput bisa dianggap sebagai GPP (gerombolan pengacau pemilu) sehingga perlu dijerat dengan UU ITE seperti kata Pak Wiranto? Selama hanya mendeclare diri sebagai golput, itu hak dia. Kecuali kalau dia bawa senjata dan mengancam dan menyandera orang satu kelurahan tak boleh ke TPS, barulah dia bisa dibilang teroris.
Apakah tulisan ini anjuran golput? Ya tak lah. Memilihlah...
Pejaten 28 Maret 2018