REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran netralitas pada lembaga pendidikan, khususnya sekolah, dan juga ASN di lingkungan pendidikan. Dari laporan-laporan itu, masyarakat dan juga orang tua peserta didik merasa digiring dan dijebak oleh pihak sekolah dalam kampanye dukung-mendukung calon presiden dan wakil presiden.
“Masyarakat dan juga orang tua peserta didik merasa digiring dan dijebak oleh pihak sekolah dalam kampanye dukung-mendukung. Ini adalah kejadian yang banyak terjadi namun terselubung. Makanya, begitu ada yang merekam lalu menyebarkannya, langsung heboh,” ucap Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji kepada Republika, Rabu (17/1/2024)
Sebab itu, pihaknya mengeluarkan maklumat untuk menjaga netralitas dan kondusivitas lingkungan sekolah agar bebas dari pengaruh politik yang dapat mengganggu proses pembelajaran. Maklumat tersebut terdiri dari lima poin. Di mana kelima poin tersebut menyangkut seluruh pihak yang berada di lingkungan satuan pendidikan atau sekolah.
Poin pertama soal pelarangan kampanye di sekolah. Ubaid menyatakan, kampanye di lingkungan sekolah, baik terang-terangan maupun terselubung, adalah hal yang terlarang. Dinas pendidikan dan juga pihak sekolah tidak boleh memberikan izin atau fasilitas bagi kegiatan kampanye politik dalam bentuk apapun.
“Begitu juga dengan kegiatan kampanye terselubung yang berkedok pertemuan wali murid atau kegiatan sekolah lainnya,” ujar Ubaid.
Poin kedua mengenai arangan memobilisasi siswa untuk keperluan kampanye. Ubaid menyatakan, setiap pihak, termasuk dinas pendidikan, guru, dan staf sekolah, bahkan ketua yayasan di sekolah swasta, dilarang keras memobilisasi siswa untuk kepentingan kampanye politik apapun. Pendekatan terhadap siswa, kata Ubaid menekankan, harus netral dan tidak memihak.
Maklumat berikutnya mengenai netralitas aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan sekolah. Dia mengatakan, ASN yang bekerja di lingkungan pendidikan diwajibkan untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam kegiatan kampanye politik. Keterlibatan ASN dalam kegiatan politik dapat berdampak negatif pada suasana pendidikan, dan sangat mengganggu proses belajar mengajar.
Poin keempat terkait upaya sterilisasi grup percakapan dan media sosial sekolah. Dia mengingatkan kepada para admin dan juga anggota grup-grup percakapan di aplikasi pesan singkat dan grup media sosial lainnya, yang terafiliasi untuk mendukung kegiatan sekolah, untuk menjaga kebersihan informasi dari unsur politik. Grup-grup itu, kata dia, sebaiknya steril dari kampanye dukung-mendukung kandidat politik.
Kelima, upaya memperkuat pengawasan melekat oleh masyarakat. Orang tua murid dan masyarakat diminta untuk terlibat aktif dalam melakukan pengawasan kegiatan di sekolah di masa kampanye.
Jika menemukan kasus-kasus kampanye di lingkungan sekolah, segera laporkan ke Bawaslu, atau juga bisa ke kanal pengaduan JPPI.
“Dengan mengikuti maklumat di atas, JPPI yakin lingkungan pendidikan dapat tetap fokus pada tujuan utamanya, yaitu memberikan pendidikan berkualitas tanpa terpengaruh oleh dinamika politik,” jelas dia.
Di samping itu, Ubaid juga menyoroti soal viralnya video Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kota Medan terlibat kampanye dan mengajak para guru untuk mendukung salah satu paslon presiden.
JPPI mengecam semua pihak yang terlibat dan meminta pihak yang berwenang untuk mencopot status ASN yang bersangkutan dan dihukum pidana.
“Karena ini termasuk dalam karegori pelanggaran etika dan disiplin yang berat, dan jelas ada buktinya pula,” ujar Ubaid.