Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Mengikuti perjalanan pengamat sosial Fachry Ali memang mengasyikan. Setelah dari Jepang dan berkisah tentang ‘Politik-Ekonomi Kekuasaan Jawa’, dan ke Nigeria dengan kisah teringat keluasan padang rumput (savanah) serta sajak klasik Taufiq Ismail —tentang Sumba, ringkik kuda, dan Umbu Landu Paranggi—, kini berkisah tentang Kota Oxford, di Inggris. Sebelumnya dia berkisah dengan latar kepergiannya ‘menjenguk kuburan bapak komunisme: Karl Marx di London.
Dalam tulisannya yang dikirim via media sosial Ahad pagi (7/6), Fachry menulis begini: Berada di Oxford, 6 Juli 2019. Universitas kota yang didirikan semasa dengan Perang Salib ini hanya seratus tahun setelah didirkannya Universitas Al Azhar di Mesir.
Fachry Ali di Oxford, Inggris.
Sengaja saya susuri kota ini hanya ingin mendalami perasaan yang ditimbulkan sebuah adegan film, ‘Braveheart’. Adegan itu menggambarkan Raja Edward I, yang kala itu kian khawatir pada perkembangan kaum pemberontak, Maka dia kemudian memutuskan menaiki tangga Menara London untuk menemui putra mahkota yang berada di sana.
Namun, begitu raja masuk ke dalam Menara London, dia kaget setengah mati. Tak hanya itu Raja Edward kemudian mendamprat sang putra mahkota. Mengapa? Ya ternyata, di tengah suasana serba prihatin, sang putra mahkota malah malahan lebih memilih asyik-masyuk dengan pasangan gay-nya.
Dan mendengar dampratan itu, pacar gay putra mahkota menukas (membalas) ucapan raja. Maka dengan marah, Raja Edward I kemudian menyeret pacar putra mahkota itu ke jendela Menara London. Tak cukup menyeret ke jendela, dia kemudian malahan mendorong tubuhnya ke luar.
Nah, dalam sebuah buku yang saya (Fachry) baca, putra mahkota itu di kemudian hari naik menjadi raja dengan gelar Raja Edward II . Celakanya, dalam perang di ‘parlemen’ Inggris, Edward II dikalahkan Oliver Cromwell.
Akhirnya, sang raja yang Edward II yang gay ini mengalami nasib tragis. Ia ditusuk dengan besi panas dari dubur hingga ke mulut. ‘Jeritannyan,’ tulis pengarang buku yang juga saya beli di London pada 2009 itu, ‘terdengar hingga ke Oxford.’
Memang, lukisan jeritan sang pangeran ketika ditusuk besi banas itu mungkin berlebihan. Tapi, ketika kisah ini ditulis, di London sedang ada parade kaum gay dan lain-lain. Maka, secara subyektif, keberadaan saya di Oxford pada hari ini mempunyai struktur perasaaan asimetris yang aneh.