REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang yang janggal dalam pemberitaan Memorandum of Understanding (MOU) antara Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) R.I. Rudiantara, dengan Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Arab Saudi, Abdullah Alshawa. Hal ini dapat dibaca dengan jelas pada situs resmi Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) www.kominfo.go.id dengan judul “Indonesia-Arab Saudi Teken MoU Ekonomi Digital”, 5 Juli 2019.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi dalam bidang ekonomi digital. Apalagi akan ditindaklanjuti dengan sejumlah diskusi teknis sebagai tindak lanjut penandatanganan MoU ini yang mungkin nanti akan melibatnya banyak pihak.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika Pak Menteri menjelaskan potensi kerja sama Indonesia Arab Saudi berkaitan dengan umrah. Apa pasal? Dua unicorn Indonesia yakni Tokopedia dan Traveloka digadang-gadang Pak Menteri untuk pengembangan umrah digital.
Dikutip dalam laman resmi Kemenkominfo Rudiantara menjelaskan "pasar umrah merupakan captive market yang potensial, baik untuk Arab Saudi maupun Indonesia, karena semua umat Muslim akan menunaikan ibadah umrah; kolaborasi dengan Arab Saudi antara lain mencakup inisiasi pengembangan Umrah Digital Enterprise yang diyakini mampu menjadi solusi bersama memecahkan masalah utama di seluruh rantai umrah. Dan dua unicorn Indonesia, Tokopedia dan Traveloka akan mengambil bagian dalam kolaborasi ini sebagai perwakilan industri Indonesia”.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar? Pertama, apakah Pak Rudiantara sedang berbicara sebagai Menkominko atau sebagai CEO Unicorn? Kalau sebagai Menteri tentu tidak elok beliau berbicara atas nama korporasi, seakan-akan beliau sudah mewakili dua unicorn tersebut.
Lalu bagaimana dengan unicorn Indonesia yang lain seperti Bukalapak dan Gojek? Lebih jauh kita bisa mempertanyakan apakah hanya unicorn yang “diberi” peluang dengan kerja sama ini. Bagaimana dengan UKM start-up yang dilakoni anak-anak muda Indonesia yang cerdas-cerdas?
Pernyataan ini tentu tidak adil dan sangat berpihak. Bukankah seorang Menteri yang merupakan representasi pemerintah harusnya memberi ruang yang sama bagi seluruh potensi anak bangsa.
Kedua apakah Pak Rudiantara, Menkominfo, sudah membaca Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang baru disahkan pada sidang Paripurna DPR RI tanggal 28 Maret 2019? Kalau Pak Menteri sudah membaca undang-undang tersebut, rasanya sangat naif beliau akan melibatkan Tokopedia dan Traveloka dalam urusan per-umrah-an.
Mengapa? Mari kita buka BAB VII UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Umrah. Pasal 86 ayat (1) mengatur dengan jelas bahwa “Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok melalui PPIU”; yang dipertegas pada ayat (2) “Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan melalui PPIU”; lalu diperkuat pada pasal 87 di mana setiap orang yang akan menjalankan umrah selain beragama Islam, memiliki paspor, memiliki tiket pergi pulang, keterangan sehat, juga memiliki visa serta tanda bukti akomodasi dan transportasi lagi-lagi dari PPIU.
Apa itu PPIU? Dijelaskan pada BAB I Ketentuan Umum, pasal (1) angka 19 UU No. 8 Tahun 2019, “Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah”. Lalu kita hubungkan dengan Tokopedia dan Traveloka, apakah kedua unicorn tersebut PPIU? Jawabnya pasti, Tidak!
Mari kita dalami soal izin PPIU sebagaimana dijelaskan pada pasal 89 UU No. 8 Tahun 2019 di mana “Untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan: a. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam; b. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah; c. memiliki kemampuan manajerial, teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan umrah yang dibuktikan dengan jaminan bank; d. memiliki mitra biro penyelenggara umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi; e. memiliki rekam jejak sebagai biro perjalanan wisata yang berkualitas dengan memiliki pengalaman memberangkatkan dan melayani perjalanan ke luar negeri; dan memiliki komitmen untuk memenuhi pakta integritas menyelenggarakan perjalanan umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri dan selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan umrah.
Pasal ini dengan tegas mengatur bahwa PPIU wajib dimiliki oleh WNI beragama Islam. Ini adalah bentuk perlindungan negara terhadap hak beribadah umat Islam hanya boleh diselenggarakan oleh umat Islam.
Apabila Pak Meteri Rudiantara sudah membaca Undang-Undang ini tentu beliau tidak akan “serta merta” menyebutkan unicorn Tokopedia dan Traveloka dalam “urusan ibadah” umat Islam. Karena umrah bukanlah “perjalanan wisata biasa” sebagaimana yang dilakukan oleh Biro Perjalanan Wisata umumnya, tetapi merupakan “spiritual journey” yang sarat dengan hubungan antara hamba dengan khaliqnya.
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah ini juga mengatur dengan sangat rigit tentang kewajiban PPIU, yang rasanya sangat sulit dilaksanakan oleh Tokopedia dan Traveloka termasuk unicorn yang lain yaitu kewajiban menyediakan pembimbing ibadah dan mengikuti prinsip syariat Islam. Lebih jauh UU Nomor 8 Tahun 2019 pasal 115, melarang setiap orang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah. Dan barang siapa yang melanggar, siap-siap sanksi pidana sebagaimana diatur pada pasal 122, “setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
Penutup. Pak Menteri Rudiantara, perlu segera melakukan klarifikasi atas pernyataan beliau yang telah dikutip banyak media baik cetak maupun elektronik dan “berpotensi membuat gaduh” masyarakat Muslim khususnya masyarakat muslim per-umrah-an, mulai dari PPIU, karyawan, dan para agennya di seluruh Indonesia. Lebih jauh hal ini dapat menimbulkan “kecurigaan” masyarakat ada apa di balik pernyataan Pak Menteri.
Dari bisik-bisik dengan asosiasi yang menaungi PPIU terkesan bahwa pernyataan Menkominfo seperti “tsunami buatan Rudiantra”. Puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu orang yang terlibat dalam usaha pelayanan ibadah ini akan bereaksi.
Kita semua sadar bahwa “digitalisasi ekonomi” dalam semua bidang tak bisa dihindarkan. Tapi biarlah ia berjalan sesuai arusnya. Jangan ada yang bermain, apalagi pemerintah melakukan “disrupsi” yang dipaksakan. Akhinrya melalui tulisan ini saya berharap, jangan sampai di tengah suhu politik yang sudah mulai mencair seperti ini, kita kembali disibukkan dengan isu dan sentiment negatif yang tidak perlu. Terima kasih.
TENTANG PENULIS: BUDI RIANTO, Ketua Bidang Hukum HIMPUH.