Oleh: Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
Bukan berita wafat dirinya benar yang membuatnya terkejut dan meradang. Ia belum mati. Yang mati itu kakaknya. Berita French Newspaper di tahun 1888 itu sangatlah salah.
Tapi judul berita wafat tersebut yang lebih menghentak: Pedagang Kematian itu Telah Mati!
Ujarnya, saya ini seorang ilmuwan. Seorang penemu. Bukan pedagang. Apalagi di era itu kata pedagang berkonotasi negatif. Pedagang dilabelkan umumnya kepada orang yang hanya berpikir untung dan rugi bagi dirinya. Tak peduli kadang dilakukan dengan menipu pula.
Ia seorang inventor. Ia sudah mendapatkan aneka hak paten dari banyak penemuannya. Bahwa kemudian penemuan itu memiliki nilai komersial, dan ia ikut kaya raya, itu hanya konswensi logis saja. Ia juga penyair. Ia menulis puisi. Ia menulis naskah drama. Jelas ia bukan pedagang.
Celakanya, tak hanya pedagang. Ia disebut pula dengan label yang sangat gelap: “Pedagang Kematian.”
Ia hanya menemukan dinamit. Dengan dinamit, jalan lebih mudah dibuat. Gunung dapat ditembus dengan cara meledakannya. Bukankah infrastuktur lebih mudah dibangun melintasi bukit untuk menumbuhkan peradaban?
Tapi ternyata dinamit digunakan pula oleh banyak negara untuk alat perang. Ia membuat orang lebih banyak mati. Dan dinamit memang menghancurkan jasad yang mati lebih dahsyat dibandingkan senapan.
Ia memprotes keras: “Sungguh tak adil. Itu jangan semua ditimpakan kepada saya. Bukankah apapun yang kita temukan, dapat disalah gunakan?”
Alfred Nobel namanya. Ia kaya raya karena penemuannya. Hartanya saat itu sekitar dua trilyun rupiah jika diukur dari nilai uang sekarang.
Ia merenung dalam. Apa guna bagi dirinya semua penemuan tersebut? Apa berkah baginya semua kekayaan itu jika sejarah mengenangnya sebagai raja kegelapan, yang menyebabkan begitu banyak kematian?
Itulah awal yang membalik kehidupan. Ia tak ingin mati dengan reputasi buruk. Ia ingin dikenang dengan sebutan yang penuh respek karena kontribusinya untuk kemanusiaan.
Setelah lama merenung, ia membuat keputusan. Kepada keluarga dan ahli hukum, ia sampaikan kehendak tertingginya. Ia ingin menyumbangkan 96 persen hartanya untuk kepentingan kemanusiaan. Ia meminta keluarganya ikhlas mendapatkan 4 persen saja.
Tapi bagaimana cara menggunakan 96 persen kekayaannya, yang bernilai sekitar 2 trilyun rupiah? Ia pun membuat wasiat. Ia ingin namanya dibersihkan. Namanya menjadi penghargaan untuk siapapun yang berjasa paling besar bagi kemanusiaan setiap tahun.
Tapi begitu banyak yang berjasa! Saat itu ia membatasi. Hadiah Nobel setiap tahun, bagi yang paling berjasa di bidang ilmu kimia, ilmu fisika, ilmu kesehatan, sastra dan perdamaian.
Dimulailah tradisi penghargaan nobel di tahun 1901. Hingga kini (2019) sudah diberikan 590 hadiah kepada 935 pemenang. Mulai tahun 1969, Nobel juga diberikan kepada pencapaian di bidang ekonomi.
Setelah lebih dari seratus tahun kematiannya, kata Nobel lebih cepat mengingatkan kita kepada hadiah yang teramat bergengsi, bukan kepada pedagang kematian.