REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pendiri Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny Januar Ali menuturkan cara untuk menilai kredibilitas lembaga survei dan konsultan politik adalah dengan melihat rekam jejak digitalnya. Menurutnya, melihat rekam jejak digital bisa dilakukan dengan sangat mudah.
“Lihat saja jejak digitalnya. Itulah cara yang paling mudah untuk menilai kredibilitas lembaga survei, juga konsultan politik,” tutur Denny JA dalam keterangan, Rabu (7/2/2024).
Denny yang juga pendiri lembaga survei LSI Denny JA ini menambahkan, selama ini, sebagian masyarakat juga belum mengerti lembaga survei dan lembaga konsultan politik berbeda. Denny menyebut, salah satu perbedaan lembaga survei dengan konsultan politik adalah lembaga survei hanya melaporkan opini publik. Sementara, konsultan politik bekerja menggunakan data lembaga survei untuk 'mengubah' opini publik melalui sejumlah program.
Denny menegaskan, lembaga survei dinilai berdasarkan akurasi data. Lembaga survei tidak menganggap penting siapa capres-cawapres yang menang atau kalah. "Yang penting datanya akurat. Akurasi menjadi sila pertama lembaga survei," tegasnya.
Sementara, konsultan politik dinilai kemampuannya untuk memenangkan klien. Menurutnya, hal ini hanya dimungkinkan jika data survei yang digunakan akurat. "Mustahil konsultan politik bisa memenangkan klien jika berbasiskan data yang tak akurat. Kata terindah bagi konsultan politik: menang!" ujar Denny JA.
Ia menyebut program lembaga survei berbeda dengan program konsultan politik. Kerja lembaga survei hanyalah riset baik melalui survei, Focus Group Discussion (FGD), media analisis, hingga indepth interview. Sedangkan program konsultan politik jauh lebih kompleks. Selain menghasilkan data elektabilitas secara berkala, konsultan politik harus membuat strategi pemenangan.
"Lembaga survei paling banyak mempekerjakan ratusan orang saja. Tapi kansultan politik untuk pilpres bisa mempekerjakan ribuan orang dari Aceh sampai Papua," tuturnya.